LIMA: LANGKAH AWAL

1299 Kata
Wawancara yang sudah selesai lebih dari setengah jam yang lalu di ruangan ini tidak membawa 2 orang yang mewawancarai Gavin beranjak. Luisa menatap ke arah Haris dengan tatapan sinis. Haris secara teknis memang CFO di perusahaan itu, tapi pria itu juga kakak sepupunya secara garis keturunan keluarga. Ia tidak percaya semua usahanya untuk membawa Gavin masuk tidak membuahkan hasil karena penolakan sepupunya itu. Luisa menghela nafas panjangnya sambil menatap tajam ke arah Haris. “Aku gak ngerti sebenernya, ini apa masalahnya? Dia itu berkompeten kok! Dari hasil wawancara dan resume juga qualified. Kenapa mas Haris nggak acc aja?” Luisa berucap dengan nada kecewa. “Kalau menurutmu, kamu bisa merubah keputusan Karenina untuk tidak memilih kandidat pilihannya, Ya kamu pilih aja dia. Rasanya sia-sia juga melakukan semua wawancara kalau sudah tahu mana yang akan terpilih. Buang-buang waktu Lui. Harusnya kayak gini gak perlu lah!” “Terus, kenapa nggak langsung aja dikontrak! Mas pikir ini panti sosial!” Luisa membentak Haris dengan lantang. “Lalu kamu mau apa?! Kamu pikir kamu bukan hasil dari rekomendasi petinggi! Mengacalah Luisa Samudra! Sengotot itu kamu mau laki-laki itu masuk! Dia siapa kamu?!” Haris menatap tajam Luisa. CK! Sial! kamu pikir aku gak tau siapa yang kamu bawa, Mas haris! Batinnya. Luisa diam hanya mengamati laki-laki yang lebih tua 10 tahun darinya. Wajahnya masih menampilkan ketenangan yang dibenci Luisa. Terlihat begitu licik bagi Luisa. “Percayalah dengan Karenina. Dia sekarang yang mengelola perusahaan ini, lagipula dia kan keluarga dari nama belakangmu! Ini hanya masalah sepele Luisa,” Haris masih mengatakannya dengan tenang, dengan segera dia berdiri lalu berjalan meninggalkan ruangan. “Cih, lo pikir ngambinghitamin Kak Nina hal yang bener! Gue rekomendasi dia karena gue tau kalau lo gak tau siapa yang lo hadapi, Ris! Bodoh! Kalau dia gak bisa gue bawa dengan cara baik-baik. Lo siap-siap aja bakal gue bikin kacau karena gue bakal kenalin dia ke elo sebagai orang yang bakal terang-terangan buat ngerusak posisi lo! Gue gak main-main, Ris! Sial!” ucap Luisa lirih dengan menunduk sambil memijat keningnya yang terasa berat. Rasanya kepalanya akan meledak setelah Haris memberikan keputusan final siapa yang akan menempati posisi Manajer saat itu juga. -***- Gavin masih duduk di kursi lobby perusahaan tempat dia melakukan wawancara tadi. Ia sengaja menunggu Embun disana dan melihat apa Embun membawa kendara sendiri ataukah naik kendaraan umum. Dia tahu Embun belum pulang karena selesai wawancara tadi, dia sengaja untuk turun keruangan Embun yang hanya disekat kaca dari arah lift dan melihat dari jauh gadis yang mampu membuatnya jadi salah tingkah itu. Tidak berapa lama, muncul muka lelah Embun yang memakai Blouse putih dan Rok berwarna hitam. Ia menyeret langkahnya menuju mesin absensi yang dekat dengan lift. Setelah itu melangkah keluar melewati lobby dan tidak memperhatikan keberadaan Gavin. Ia terlalu letih untuk mengamati sekitarnya. Embun berhenti tepat di tangga menuju halaman kantor perusahaannya. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Saat akan mengalihkan pandangannya, Embun baru tersadar bahwa ada laki-laki disebelahnya dengan baju rapi, wangi musk dan senyuman manis yang menghiasi wajahnya. Jangan lupakan wajah tampannya dan mata yang selalu bisa mengunci pandangan Embun. “Ibu Embun ya? Mau pulang Bu?”Gavin tersenyum dan berusaha berbasa-basi agar dapat membuka topik obrolan. Yaelah, Gua kayak berasa ibu-ibu banget. Embun protes dalam hatinya. “Oh, pak Gavin? Apa baru selesai pak wawancaranya? Lumayan lama juga ya wawancaranya pak?” Embun melihat ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam dan laki-laki yang dijadwalkan wawancara jam empat sore itu masih berada di kantornya. Dahinya berkerut mengingat Luisa sudah kembali sejak pukul enam sore tadi. “Eng.. enggak kok. Udah daritadi. Tapi saya harus nunggu supir. Kayaknya dia kejebak macet.” Gavin bingung harus beralasan apa. “Oh gitu.. yasudah saya duluan ya pak. Semoga sukses buat interview bapak tadi.” “Embun!!” Gavin memanggil namanya dengan sedikit tergesa tanpa embel-embel Bu lagi. Pendekatan ini gak boleh berjalan formal bukan? Lagian ini diluar jam kantor. “Ya, Pak?” Embun mengkerutkan dahinya. “Pulang naik apa? Kalo kamu naik kendaraan umum, mending saya antar sudah agak malem juga. Rumah kamu dimana?” “Gak perlu Pak, rumah saya deket kok, ini juga baru jam 8. Saya permisi ya pak,” ujar Embun terburu-buru. Embun segera bergegas meninggalkan lobby kantornya dan mencari taksi konvensional. Sebenarnya di era yang serba canggih ini Embun bisa memesan lewat aplikasi online, tapi karena baterai telepon genggamnya habis dan ia lupa membawa charger telepon genggamnya, ia pun harus bersedia menunggu dipinggir jalan. Suasana kantor yang sudah sepi pun membuat Embun tidak dapat meminta tolong pada siapapun untuk memesankan ojek online. Belum lama ia berdiri di pinggir jalan, sebuah mobil Audi A6 berhenti di depannya. Seseorang menurunkan kaca mobilnya. “Masuk Mbun, saya anterin balik. Kayaknya kita searah. Kamu nungguin apa disini? gak ada taksi konvensional lewat lho daritadi,” Gavin mengucapkan sambil tersenyum ramah. “Apa nggak ngerepotin bapak?” “Gak kok, lagian mau naik apa dari sini.” Embun tersenyum dan menganggukkan kepalanya, bukan ia tidak malu utuk mengiyakan tawaran Gavin. Tapi sudah sangat jarang taksi konvensional yang lewat disekitar kantornya. Ia takut akan lama dan badannya sudah sangat pegal. Embun akan membuka kursi penumpang sebelah sopir Gavin, karena ia merasa tidak nyaman harus berada di kursi yang sama dengan Gavin. Memperhatikan tampilannya yang sederhana dan Gavin yang super mewah membuat ia sadar tidak mungkin Gavin mau duduk bersebelahan dengannya. “Kok duduk depan sih, Mbun? Kamu kayak sekretaris saya aja,” Gavin menatap Embun dengan menaikkan sebelah alisnya. “Maaf pak, Apa gak apa-apa saya duduk dibelakang?” “Gak apa-apa dong. Justru saya gimana-gimana kalo kamu duduk depan.” Embun hanya mengangguk sekali dan menutup kembali pintu depan mobil tersebut dan segera membuka pintu belakang mobil dan duduk disebelah Gavin dengan raut malu dan menunduk. “Makasih Pak untuk tumpangannya. Maaf saya jadi ngerepotin bapak.” “Gak perlu sungkan, Mbun. Sudah tugas saya bantu orang lain. Lagian kita searah kok kayaknya,” ucap Gavin sambil tersenyum kearah Embun. Setelah mengatakan tujuannya, mobil melaju menuju ke arah rumah Embun. Beberapa menit berada didalam mobil itu, suasana terasa canggung karena Gavin menutupi kegugupannya dengan bermain telepon genggamnya sedangkan Embun menikmati pemandangan Gavin dari pantulan kaca jendela mobil. Bagaimana bisa ada laki-laki yang begitu sempurna ini. Hidungnya yang mancung dan wajah dengan rahang yang tegas. Entah apa yang ada di pikiran Embun, wanita itu menyentuh pantulan Gavin di kaca jendela seolah sedang membelai wajah laki-laki itu. Saat tengah mengamati wajah itu, Embun tersentak saat tatapan mereka bertemu di pantulan kaca jendela mobil itu. Embun menggigit bibir bawahnya dan seketika itu juga ia mengalihkan pandangannya. “Gimana tadi wawancaranya pak? Lancar?” Embun mencoba membuka obrolan agar suasana tak terlalu canggung dan membuat yang memberikan tumpangan merasa diabaikan. “Masih manggil pak aja, panggil Gavin deh. Aku berasa tua banget kalo kamu manggilnya pak. oh iya, apa kamu keberatan kalau kita pake aku kamu?" Embun hanya mengangguk dengan senyuman menghiasi bibirnya. Untuk sesaat Gavin kembali terpesona dengan wanita mungil di sampingnya itu. "Oh iya, Kamu jangan panggil Pak, deh! Udah baca CV aku kan? Aku masih muda lho, belum ada 30 tahun juga. Lagian kan kalo aku keterima di perusahaan kamu, kita bisa jadi rekan kerja, kan? Dan lagi departemen kerja aku gak sama deh kayaknya sama departemen kamu, jadi gak bakal jadi atasan bawahan langsung kan? Gak usah formal-formal banget. Santai aja.” Gavin mengejutkan Embun dengan mode cerewetnya. "Panggil apa dong?" "Sayang juga boleh," ucap Gavin dengan muka jenakanya. Seketika pipi Embun memerah mendengar candaan Gavin, apalagi barusan ia sudah ketahuan mencuri pandang laki-laki itu tadi. "Eh, kok diem. Gavin aja ya. Kayaknya selisih umur kita gak jauh," usul Gavin. "Boleh?" Gavin mengangguk mantap untuk menjawab keraguan Embun. "Oke.." Embun menanggapinya dengan senyuman, lagipula ini juga diluar jam kantor, pikir Embun. -***-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN