Setelah hari sabtu dan minggu yang tidak berjalan seperti dengan bayangannya. Embun masuk kerja dengan suasana hati yang kurang baik dan wajah yang kurang bersahabat. Mukanya terlihat angker dilihat dari sisi manapun.
“Kenapa deh lo, Mbun? Pagi-pagi gini udah kusut aja sih?” tanya Dea yang menyadari raut muka Embun yang kurang bersahabat.
“Lo kemana sih mbak dua hari ini? tumben banget lo gak ada ngajak gue jalan. Bosen banget tau!” ucap Embun dengan nada tak santai.
Dea terkekeh, “lo ngapa gak ikut bokap nyokap lo nongkrong di Amigos. Gue ketemu sama mereka malam minggu kemarin. Sumpah, lama gak ketemu makin kece mereka!” Dea berkata dengan tatapan kagum ke arah Embun.
“Gak pengen ganggu aja gue! Lagian masa nongkrong sama bokap nyokap sih. Dirumah ketemu, nongkrong ketemu. Kesannya cupu banget gue. Mana suntuk banget lagi akhir minggu kemarin!” Embun berkata sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa nyeri mengingat kejadian akhir pekan lalu.
Dea tertawa keras melihat reaksi Embun yang seolah kesal, tapi makin terlihat menggemaskan.
“Duh emang yang kemarin jumat antar jemput lo, gak ngehubungin lo lagi pas libur? Gue pikir lo gak ngebuntutin nyokap bokap lo karena ada agenda sendiri.”
“Tau! Pacaran kali sama bos lo!” ucap Embun sambil mencebik.
“Hah? Siapa? Bu Luisa?” Dea kaget mendengar pernyataan Embun.
“Kok tau mbak? Lo juga udah tau mereka pacaran?” Embun kembali bertanya dengan nada yang berapi-api.
“Sok tau banget lo! Tau darimana coba mereka pacaran? Apa buktinya?” Dea kembali tidak bisa menahan tawanya melihat ekspresi Embun.
“Gue liat mereka di tempat sushi, di Mall biasanya. Pegangan tangan! Mana mesra lagi! Bentar deh, mbak kok bisa nebak sih?”
“Oh, kalo gue sih liat Gavin di Amigos kemarin sabtu. Sama cewek kalo dari belakang ceweknya persis banget sama lo kalo kuncir kuda. Eh tapi pas gue mau balik, gue liat dia masuk ke mobil mirip banget sama punya Bu Luisa. Makanya waktu lu dateng muka lo kusut, gue menyimpulkan jangan-jangan lu berebut sama Bu Luisa disana,” jelas Dea panjang lebar dan terkekeh di akhir kalimatnya.
“Ngapain coba gue berebut. Gue pas tau dia lagi keliatan mesra aja, gue tinggal. Males banget!”
“Ya kalo lo gak mau berebut, santai dong sayang. Gak usah kusut sampai nge-gas gitu.” Dea terkekeh melihat Embun.
Embun mengabaikan sahabatnya itu. Ia duduk sambil memegangi kepalanya dan segera beralih menatap komputernya. Tiba-tiba interkomnya berbunyi dan Embun segera mengangkat telepon didepannya.
“Iya dengan Embun, HR”
“...”
“Suruh nunggu 10 menit ya, gue janjian juga jam 9 ini masih jam 8.15, gue perlu urus dokumen. Makasih.”
“...”
Embun segera mencetak offering letter dan berlalu ke ruangan Luisa setelah selesai mencetak dokumen. Ia mengatur pernafasannya sebelum masuk kedalam ruangan Luisa. Dia harus bersikap biasa saja dan tidak ada yang terjadi karena sebenarnya juga tidak ada alasan baginya untuk marah pada atasannya apalagi cemburu. Posisinya saat ini bukan siapa-siapa Gavin, sehingga tidak ada yang bisa dia lakukan.
Ia melangkahkan kakinya masuk setelah dipersilahkan oleh Luisa.
“Permisi bu, untuk offering letter Tiara Asti sudah siap. Dia juga sudah menunggu di lobby.”
“Minta gaji berapa dia buat awal gabung?” Luisa bertanya tanpa memperhatikan Embun dan masih fokus mengetik di komputernya.
“Kisaran sepuluh juta, Bu.”
“Okay, kamu yang temuin dia ya! Saya mau ada presentasi di jam sepuluh. Jelasin aja yang seperti biasanya. Antar ke GMnya supaya bisa berkenalan dengan rekan yang lainnya hari ini.” Luisa berujar datar sambil tetap menatap lurus ke arah komputernya dan tidak memperhatikan Embun.
“Baik, bu. Saya permisi,” Embun berlalu dengan muka datar.
Ia segera menelpon bagian front office untuk mempersilahkan calon karyawan menuju ke ruangan HRD. Embun akan menunggu calon karyawan itu di depan lift sebelum masuk ke ruang pertemuan untuk menandatangani kontrak kerja.
Ting!
Pintu lift terbuka, membuat Embun mengalihkan pandangannya ke dalam lift yang terbuka. Embun agak terkejut saat yang terlihat adalah laki-laki yang tidak ingin ditemuinya. Mereka saling pandang untuk beberapa saat sebelum akhirnya Embun memutuskan pandangan itu dengan memainkan ponselnya. Laki-laki itu melangkahkan kaki keluar dari lift. Belum sempat satu katapun keluar dari mulutnya, tiba-tiba lift kembali berbunyi dan menampilkan seorang wanita menggunakan mini skirt dengan motif chevron zigzag dengan kemeja putih berbelahan rendah.
Pakaian wanita itu sukses membuat Embun mengalihkan pikirannya terhadap laki-laki di sebelahnya, Gavin.
Anjirlah nih cewek, dia pikir ini holyholy! Embun menyebutkan salah satu tempat bar yang cukup ramai dikalangan anak muda. Embun mencoba menormalkan ekspresinya dan berusaha tidak tertarik dengan penampilan wanita itu. Meskipun jujur saya sebagai HRD ia merasa jiwa untuk menegurnya sedang meronta.
“Tiara, apa anda mengingat saya?” Tiara mengulurkan tangannya dan tersenyum manis pada Embun.
Embun menyambut uluran tangannya dan mencoba berekspresi senormal mungkin walaupun hatinya sudah dipenuhi dengan ketidaksukaan. Ya kenal dong, sukijah.. kan aku yang menghubungimu selama ini untuk keperluan interview! ucap Embun dalam hati.
“Mari ikut saya,” Embun berucap datar sambil berlalu dan mengangguk pelan sebagai bentuk kesopanan saat melewati Gavin dengan muka datarnya.
Sedangkan Tiara melewati Gavin dengan memandang matanya sambil tersenyum lalu mengedipkan matanya.
Gavin tidak menanggapi Tiara. Ia mengalihkan pandangannya untuk menatap punggung Embun dengan sendu. Ia sebenarnya bingung kenapa Embun sama sekali tidak mau membalas pesannya. Bahkan hari ini perempuan itu terlihat menghindarinya.
Setelah Embun tidak lagi terlihat dari pandangan matanya, Gavin tersadar bahwa ia harus bergegas untuk menemui Luisa karena ada sesuatu yang penting untuk diselesaikan. Ia akhirnya beranjak dari posisinya.
-***-
“Sesuai dengan yang saya jelaskan tadi apa ada pertanyaan Bu Tiara?” ucap Embun berusaha tersenyum ramah.
“Mas Haris bilang gak ada yang namanya probation! Aku bakal langsung diterima tanpa kontrak gini!” Tiara bertanya dengan dahi berkerut.
Embun mencoba mendatarkan ekspresinya setelah Tiara menyebut nama CFOnya dengan sebutan Mas Haris seperti Luisa biasanya menyapa CFO tersebut.
Pantes attitude gini keterima! Siapanya nih! Ck! Embun berkata dalam hati sambil menggeleng pelan.
“Aturan kami masih tetap sama dan tidak ada arahan khusus bu, jika ibu bersedia, ibu bisa menandatangani kontraknya dan hari ini saya akan perkenalkan dengan rekan-rekan ibu di unit departemen ibu yang bar,” Embun mencoba untuk tetap bersikap ramah kepada calon rekan kerjanya itu.
“Saya mau kenalan dulu sama mereka, mau ke ruangan Mas Haris dulu! Nanti sebelum saya balik, saya serahkan kontraknya.” Tiara berkata dengan nada datar dan senyum yang memudar.
“Baik, akan saya antar anda keruangan Bapak Haris,” ucap Embun dengan datar.
Embun beranjak lebih dulu dan diikuti oleh Tiara ke arah lift. Setelah memencet angka 20 pada lift, Embun menatap lurus ke depan. Sebenarnya ekor matanya menangkap bahwa Tiara yang berdiri di belakangnya sedang mengamati tubuhnya dari atas dan bawah. Sangat risih untuk Embun ditatap seperti itu oleh Tiara. Untung saja lantai HRD dengan jajaran Direksi hanya selisih 3 lantai sehingga tidak terlalu lama.
Saat lift terbuka, Tiara beranjak keluar dan mendahului Embun. Ia sampai di Meja sekretaris direksi dimana ada ketiga sekretaris untuk masing-masing Direksi yang ada disana.
“Tasya, Mas Haris ada?” Tiara bertanya dengan muka datarnya yang menyeramkan.
“Ada Mbak Tiara, saya hub…”
“Oke!” Tiara berlalu walaupun sekretaris CFO belum selesai menjawab.
Embun hanya terdiam dan menatap sekretaris CFO yang bernama tasya dengan terkejut. Tasya yang ditatap hanya nyengir merasa akan diadili oleh Embun.Gadis itu berjalan dengan santai menghampiri Tasya.
“Dia siapa, Sya? Kok bisa kenal lo?” Embun berkata dengan muka sebalnya.
Tasya terdiam dan melirik teman-teman sekretarisnya yang lain dan mereka saling pandang.
-***-