Istri Orang 4

3153 Kata
** Zayn Dion Krismeinda menjuluki dirinya sebagai 'The most unlucky man in the whole world' alias pria yang paling tidak beruntung di seluruh dunia. Sudah jatuh miskin, pakai acara harus ngejalanin misi yang nggak banget, yang bisa saja membuat nama baiknya tercoreng karena bermain-main dengan istri orang. Hm ... demi sebuah rencana untuk plesiran mewah di Bali bersama kawan-kawannya. "Memang pada nggak ada akhlak! Duit pada banyak, anak orang kaya juga, masih aja mikir buat nyari graitsan," gerutu Dion sambil berbaring di kursi panjang butut yang ada di depan rumah peninggalan kakeknya. Parahnya dialah yang jadi tumbal keisengan mereka. Coba kalau temannya yang lain, mungkin Dion mau-mau aja dapat gretongan. "Gue juga heran kenapa toko-toko mebel Bapak sama Emak bisa mendadak bangkrut gini sie," imbuhnya sambil mengubah posisinya yang tadi rebahan kini miring ke kiri. "Maksud gue kalau orang mau miskin kenapa nggak pelan-pelan dulu gitu. Kalau begini kan gue kaget banget njiiir," omel Dion seperti orang gila yang bicara sendirian. "Tiin ... tiin ...." Suara klakson mobil terdengar dan sorot lampunya membuat Dion memicingkan matanya. "Yon ... ngelamun mulu! Kesambet gue syukurin!" ledek Zain, kakak kandung Dion. Dion beranjak dan duduk di atas kursi butut yang kala dia bergerak pasti akan menimbulkan suara seperti hendak rubuh karena memang usianya sudah tua. Dion menatap ke arah mobil merah yang ditumpangi abangnya. "Ck ... ck ... ck ... habis ngerampok mobil siapa lu, Bro?" tanya Dion dengan suara yang kencang sambil senyam senyum memperhatikan mobil mahal yang dibawa oleh abangnya. Zain keluar dari dalam mobil dengan kaca mata hitam yang bertengger nyaman di hidungnya. Lelaki itu bersiul-siul sambil memutar-mutarkan gantungan kunci mobil yang dia pegang. "Keren nggak, Yok?" tanya Zain lalu membuka kaca matanya. Ekspresinya tengil banget sambil sesekali menaik-naikkan alisnya ke atas dan senyum setan yang membingkai bibirnya yang tebal. "Keren sie, tapi ini mobil lu ngerampok dari mana?" selidik Dion. Dia tanya begitu karena dia yakin abangnya belum mampu untuk membeli barang semahal itu kalau tanpa duit dari orang tua mereka yang sekarang udah jatuh bangkrut. Mobil Dion aja udah dijual dan ganti motor matic bermerk pakrio 125cc. Motor yang sekarang dibuat ngojek sama Dion, lumayan buat nyambung jajan. "Gila! Mana ada gue ngerampok?! Ini punya pacar gue. Oke banget kan?" jawab Zain, membuat Dion ngiler banget pingin juga punya cewek tajir melintir kaya pacarnya Zain. "Wow ... nemu di mana lu pacar sekaya itu? Gue mau dah, masih ada yang available gak?" Mendadak Dion satu misi sama kakaknya pingin punya cewek sultan. "Cari sendiri dah! Ngapain minta tolong gue?" sungut Zain. Mm ... lihat aja ntar, Zain! Kalaau gue udah nemu istri orang yang kaya raya, gue porotin hartanya, gue tandingi harta cewek elu. Batin Dion yang malah jadi bersemanga untuk nyaingi kakaknya. "Ehem ... mobil baru ni ye?" terus apa kabar utang emak bapak lu?" tanya Ibu Zubaedah, tetangga depan rumah yang suka orang tua mereka mintain utangan kalau lagi kepepet nggak ada duit. "Eh, Bu Zub .... " sahut Dion dan Zain berbarengan sambil menggaruk-garuk tengkuk mereka. Cengiran pun tercipta di bibir mereka, hingga gigi-gigi putih mereka terpampang jelas di mata Bu Zubaedah. "Memang berapa, Bu?" tanya Zain sambil merogoh saku belakang celananya untuk mengambil dompet. "Tunggu! Aku lihat dulu catatannya, ya," jawab Bu Zubaedah. Nggak ada niat buat nagih utang sie, tapi kalau lihat anak yang suka utang ke dia bawa mobil mahal, tapi utang belum kebayar kan jadinya jiwa julid meronta. "Sialan! Lagi tongpes gue belum gajian, pinjemin duit lu dong, Yon," cetus Zain sambil memperlihat isi dompetnya yang hanya tinggal selembar uang seratus ribuan. "Anjaii, minta pacar lu dong! Lagian lu kan kerja di bank, nah gue masih gentayangan nggak jelas, nggak malu sama gue lu?" cibir Dion yang memilih masuk ke dalam rumah untuk melarikan diri dari kejaran Bu Zubaedah. "Yon ...! Woey! Kampret lu, ya!" pekik Zain kesal karena adiknya yang kabur meninggalkan dirinya. "Ini totalnya seratus lima puluh lima ribu," kata Bu Zubaedah sambil membawa buku notes kecil yang berisi catatan utang-utang para tetangga bukan hanya orang tua Dion saja. "Astaghfirullah, banyak juga, ya," gumam Zain sambil menarik uang selembar yang menjadi penghuni dompetnya. "Tapi aku cuma punya cepek doang, Bu. Belum gajian ini, aku bayar lima puluh ribu dulu boleh kagak sie?" Zain menawar. "Ya kali masa mobilnya bagus duit nggak ada," cibir Ibu Zubaedah. "Ya kan ini mobil orang, Bu. Mobil pelanggan gitu, minta di test drive, ck ...." Zain nyari-nyari alasan. "Kamu kan kerja di Bank bukan di bengkel, pakai tes drep segala," cemooh Ibu Zubaedah. ** "Plaak !" Zain menimpuk kepala adiknya kesal. "Apaan sie lu? Orang nggak salah apa-apa ditimpuk," oceh Dion sembari meninju lengan abangnya. "Lu udah melarikan diri, sialan banget! Nggak mau ikut tanggung jawab, bangke emang!" omel Zain marah besar karena adiknya ini memilih untuk lari dari pada menemaninya menghadapi Bu Zubaedah. "Lha kan yang bawa mobil elu, ya jadinya elu yang kudu bayar, kenapa jadi gue?" omel balik Dion. Dia emang nggak ada takut-takutnya sama sekali sama abangnya. Yang ada abangnya nyembur dia ikutan nyembur, bikin emak sama bapak pusing kepala. "Ini kalian kenapa lagi sie? Ribut mulu dech udah kayak petasan," tegur Ibu Astri ibu kandung Dion dan juga Zain. Hari ini beliau lagi sehat, asmanya nggak kumat-kumatan lagi seperti biasanya. "Ini ni, Mak. Si Zain ditagih utang sama Bu Zubaedah," lapor Dion sambil menunjuk hidung abangnya. "Alhamdulilah, jadi utang mamak udah kamu bayar ya, Zain?" tanya Ibu Zubaedah dengan mata berbinar-binar. "Ya kalau aku udah gajian kan mesti aku bayar, Bu. Tapi ini masalahnya lagi tongpes," jawab Zain dengan nada tinggi. Memang Zain anak yang baik, dia nggak pernah lupa untuk menyenangkan orang tua saat dia dapat uang beda sama Dion yang bisanya jadi beban negara alias tukang minta doang, tapi nggak ada usaha. Namun, masalahnya ini Zain emang lagi bokek. Salah dia juga sie yang pakai bawa pulang mobil orang ke rumah, jadi disangkanya lagi punya duit. Memang orang kalau punya utang sama orang lain pun harus tahu diri, jangan sampai kitanya udah bergaya, hedoon mulu, tapi cicilan lupa dicicil. "Terus gimana?" tanya Ibu Astria. "Ya aku bayar separuh dulu, Mak," jawab Zian sambil mengerucutkan bibirnya. "Kasian anak mamak," ucap Ibu Astria lalu mengelus-elus pucuk kepala anak sulungnya. "Kasian anak mamak," gerutu Dion mengikuti ucapan ibunya sambil memerat-merotkan bibirnya ke kanan kiri. "Lagian aku heran, kenapa bisa mendadak kita jadi melarat begini sie, Mak? Bapak pasti kebanyakan main ama PK ini mah," tuduh Dion. Padahal Bapaknya sejak tadi diam asyik nonton bola di tivi, eh kena sasaran kejulidan anaknya. "PK apaan juga? Bapak nggak paham," sahut Bapak Devan santai. Sudah biasa juga jadi bahan kejulidan anak-anaknya. "PK itu parem kocok, Pak," sambung Zian ngasal. "Elu itu hobi banget ngocok," ledek Dion. "Bangcaaat! Mak ... masukin lagi Dion ke dalam perut! Mending aku nggak punya adik, Mak," gerutu Zain kesal. "Ciyusan ini aku nanya, kenapa tetiba kita jadi bangkrut? Mana mamak terus kena asma, itu penyakit datangnya dari mana sie, Mak? Berasa aneh aja gue ...." oceh Dion. Dion ngerasanya memang aneh banget, nggak ada tanda-tanda akan kesulitan uang bahkan jatuh miskin, eh nggak tahunya pas pulang dari kampus, Bapak sama Emaknya ngasih tahu .... "Yon, kita bangkrut, toko mebel kita tutup semua. Bapak kena tipu dan rumah ini juga bakalan disita Bank. Kita balik ke kampung, ya. Di sana kan masih ada sawah sama rumah peninggalan simbah kamu," ujar Bapak Devan dua bulan yang lalu. Dion langsung lemes, kayak yang habis kena diare ditambah pakai muntah, kekurangan cairan. Lelaki berumur dua puluh satu tahun yang mendekati masa-masa akhir semester kuliah itu pun terduduk di sofa sambil memegang kepalanya dengan ke dua tangan. Bengong bak sapi ompong. "Jadi sekarang kamu nggak bisa lagi minta ini itu sama emak bapak. Usaha sendiri ya, Yon," sambung Ibu Astria, lesu. "Mobil kamu juga bakalan disita sama Bank soalnya udah bapak gadaiin juga, Yon." "Oh My Ghost," decak Dion serasa ingin pingsan. "Bapak sama mamak bercandanya nggak lucu, deh!" tegur Dion dengan keringat dingin yang mengucur di sekujur tubuhnya. "Bapak sama mamak nggak bercanda, Yon," tegas Bapak dan Emak berbarengan bak paduan suara. "Ayo, Mak! Kita balik ke desa!" Zain muncul dari atas dengan membawa koper dan juga barang-barangnya. "Ambil dulu baju-baju lu, Yon! Nggak usah bengong gitu! Lu kan yang biasanya jadi beban negara sekarang harus mandiri," tutur Zain. "Plaak ... plak ... plak ...!" Dion menampar pipinya sendiri beberapa kali untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. "Sini gue bantu ngegampar muka lu, Yon," celetuk Zain, dia yang akan maju nomor satu kalau soal menganiaya adiknya. "Gue nggak bisa hidup susah, Zain! Gue udah biasa hidup enak sejak kecil, apa-apa tinggal minta ... dan sekarang gue harus tinggal di rumah simbah yang paling malas banget gue datangin karena jelek banget," omel Dion dengan wajah yang merah padam. "Tapi ini kenyataannya, Yon. Lu harus kuliah sambil kerja! Lu nggak bisa manja lagi!" sahut Zain menasehati adiknya. Maka sejak saat itulah, Dion harus terpekur meratapi nasib perekonomian keluarganya yang meleset turun bak jatuh dari lantai dua puluh satu. Sakiiit banget oey! Biasanya yang bisa have fun tanpa mikir isi dompet, sekarang boro-boro. Itulah hidup yang macam roaller coaster ada fase naik turun yang kadang nggak nunggu kita sampai siap dulu. ** Keesokan harinya, karena sekarang Dion tinggal di daerah yang jauh dari peradaban. Maka, dia berangkat kuliah pagi-pagi banget, karena sambil narik ojek online juga. Lumayan dapat lima puluh ribu bisa buat tambah-tambahan. Emak tadi ngasih dia lima puluh ribu, setiap hari jatahnya Dion emang segitu sekarang. Padahal dulu dia ditransfer lima puluh juta setiap bulannya. Hm ... anjloknya kebangetan banget kan, ya. Makanya Dion bengek banget ngejalanin hidupnya sekarang. Untuk sementara ini Bapak kerja jadi buruh tani, punya sawah sendiri juga sih, tapi karena belum pintar bertani jadinya belum tahu celahnya. Itu semua hasil warisan dari simbah yang sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Sawahnya selama ini sih disewain ke orang gitu .... "Memang beneran udah nggak ada sisa uang kita, Mak?" tanya Dion semalam saat dia meminta uang jajannya ditambah. "Semua harta benda kan udah buat bayar utang, Yon. Nggak ada sisa lagi," jawab Emak. "Ya udah deh, yang penting emak jangan kumat aja asmanya," gumam Dion. Memang kayaknya gue mesti ikhlas. Nggak ada pilihan lagi selain berjuang buat bertahan hidup meski pun semuanya terasa begitu abot, kucoba untuk tetap rak popo. Batin Dion yang berujung malah nyanyi. "Yoon ...!" Teriakan beberapa orang lelaki membuyarkan lamunan Dion yang lagi sok-sokan menyendiri di kantin kampusnya. "Bengong aja lu!" tegur Ernest sambil menarik bangku kosong yang ada di sebelah Dion. "Ngeteh doang nggak ngebakso lu?" tanya Udin. "Lagi tongpes dia," ledek Gilbert. "Anjiir, kalau cuma bakso gue masih sanggup nraktir elu," sungut Dion nyolot. "Santai, Bro! Nggak usah ngegas gitu udah kayak RX-King aja, hahahaha ...." Jovian nyahut. "Sini gue bayarin kalian semua, tapi ... suruh nyatet dulu ntar kalau gue udah kaya gue bayar, hahahaha ...." canda Dion. Dia anaknya nggak tersinggungan, cuma kadang suka hipertensi ... eh sama aja, ya? Wkwkwkwk ... "Jadinya kita mau ke mana habis ini?" tanya Jovian. Anak-anak nakal ini pesan bakso sama es teh, Dion juga dipesenin sekalian, padahal Dion nggak pesen bukan karena nggak ada duit, tapi emang harus ngirit. Sialan, itu sama aja konsepnya! "Kita ke mall aja dulu, nyari tante-tante bening yang tajir," jawab Ernest. Mengingat rencana gila mereka bulu kuduk Dion jadi berdiri. Merinding di sekujur tubuh. "Emang nggak bisa dibatalin apa, ya? Kalian kan pada tajir, pakai duit sendiri kenapa? Nggak usah pada gila, dech!" decak Dion lalu menyeruput es tehnya yang tinggal sedikit. "Haus banget lu, Nyet? Mau pesen lagi?" Udin meledek plus merhatiin sahabatnya. "Iya, gue haus banget, pesenin lagi!" jawab Dion dengan nada memerintah. "Jangan takut gitu dong, Yon! Siapa tahu setelah permainan ini kamu jadi kaya lagi, ya nggak coey?" ucap Ernest. Ini kan ide gila dia, jadinya dia yang paling kekeh agar rencana ini tetap dilanjutkan. Dion jadi teringat sama abangnya yang punya cewek tajir sampai bisa ngebawa pulang mobil. Dari sini Dion jadi punya tekad buat ngedapatin harta dari wanita dewasa incarannya buat nyaingin abangnya itu. Pokoknya Dion nggak mau dianggap beban negara, ya meskipun yang dia lakuin ini salah besar. "Oke, habis ini kita nyari target. Tapi ingat! Pokoknya keputusan ada di gue, kalau gue nggak srek sama tante-tante yang kalian pilihin, gue nggak mau dipaksa-paksa," tegas Dion memberi keputusan. "Siap, Deh," sahut mereka serempak. ** Ke lima mahasiswa yang terkenal nakal ini pun cabut dari kelas. Maklum mereka nggak suka sama dosennya yang killer. Mending kabur, urusan nanti nilai jeblok bisa dibicarakan musyawarah mufakat. "Jadi kita ke mall mana dulu ini?" tanya Udin yang memegang kendali sebagai sopir. Mereka pergi naik mobilnya si Albert. Motor Pakrio punya Dion ditinggal di parkiran kampus dan kendaraan yang lainnya juga dibiarkan di sana. Aman kok nggak akan digondol maling juga, kan ada security. "Tanya Dion dah," jawab Gilbert. "Huum kan dia yang mau milih barang," sambung Ernest. "Sialan! Lu pikir mau beli mobil pake milih?" gerutu Dion. "Ini lebih berharga dari mobil, Sob," decak Ernest. "Ya udah kita ke Mall Blok Z aja," jawab Dion, karena mall tersebut yang paling besar dan terkenal di kota mereka. Pasti banyak juga dong ya cewek berduit yang akan mereka incar. "Siap laksanakan!" sahut Udin yang segera memutar arah karena tadinya dia pikir mau ke mall yang dekat kampus aja. Setengah jam perjalanan akhirnya mereka sampai juga di tempat yang mereka tuju. Suasana nggak terlalu ramai mengingat ini masih dalam waktu jam kerja dan jam sekolah, jadinya belum ada yang keliaran di kampus. Masih juga jam sepuluh pagi. "Aduuh ... kok aku kebelet sie, tunggu, ya! Mau buang hajat dulu," pamit Dion lalu berlari sambil mengapit anunya. "Belum-belum udah kepingin pipis mulu dia," ledek Ernest. "Pipis enak coey, hahahaha," sambung Gilbert. "Ya udah kita tunggu Dion di sini dulu! Sambil inspeksi siapa tahu ada tante bahenol dan kaya yang lewat," perintah Ernest. Mereka bergerombol di depan mobil Gilbert. Untung di basemant jadi nggak panas nunggunya. Sambil ngoceh mata mereka jelalatan menatap orang-orang yang sesekali terlihat berlalu lalang. "Njiir ... cleaning service aja cakep woey," seru Udin heboh sendiri melihat petugas kebersihan berseragam biru tua yang berjalan melintasi mereka sambil membawa ember dan kain pel yang tongkatnya panjang menjulang. Emang cantik sie, bersih kulitnya, cocok juga jadi pegawai bank. "Keren udah cantik nggak malu kerja apapun," gumam Udin lagi masih memperhatikan si mbak-mbak yang udah berlalu dan masuk ke dalam lift. "Sama Siti cantikan mana?" tanya Jovian. "Cantikan dia, kalau Siti itu manis," jawab Udin. "Jadi beda manis sama cantik?" tanya lagi Jovian. "Bedalah, kalau cantik itu biasanya bosenin kalau manis biasanya long last," papar Udin. "Iya long last, tapi gak gerak-gerak, bisanya cuma ngiler dari kejauhan nggak brani nembak," ledek Ernest. "Ntar habis dari Bali langsung aku tembak ... cuss ...." kata Udin penuh percaya diri. Si Udin sudah dari lama naksir Siti dari semester awal sampai sekarang sudah semester akhir belum dapat-dapat juga. Bentar lagi sudah mau good bye dari kampus ini, tapi hubungan mereka nggak ada peningkatan yang signifikan. Cuma say hello doang, senyum sedikit kalau ketemu, sudah itu saja tiap hari, jadi anak-anak yang lain pada curiga ini Si Udin sebenarnya gerak apa enggak buat deketin Si Siti atau cuma berani mencintai dalam diam kayak judul novel online? "Beneran ya, gue tunggu pembuktian omongan lu! Awas kalau sampai lu nggak nembak dia juga di depan kita-kita, adik kecil lu yang emang udah kecil dari lahir itu bakalan kita sunat dua kali," ancam Ernest sambil menunjuk wajah Udin yang paling polos dari ke lima anggota genk yang lainnya. "Astagfirullah!" sebut Udin sembari mengelus dadanya sendiri. Iyalah masa dadanya orang lain? "Aaaarkkh ... panas ... panas ...." Gilbert mulai ngedrama. "Hahahaha ... yang begini ini kalau pas lahir nggak diadzani sama bapaknya malah didengerin musik metal, jadinya kalau denger orang istighfar kepanasan," ledek Ernest. "Kurangasem lu, Nest!" Jovian menggeplak kepala Ernest menggunakan buku yang dibawanya. "Eh, kok lama banget sih Si Dion?" tanya Gilbert. Mereka baru sadar kalau sudah sepuluh menit, tapi Dion nggak nongol-nongol juga. "Iya, lama amat, curiga ngocok dulu dia," gumam Ernest. "Di kamar mandi belah mana sie?" tanya Udin sambil menyisirkan pandangan matanya di sekitaran basemant tempat mereka nongol sekarang. "Cuma di- ... nah itu dia nongol orangnya." Jovian menunjuk ke arah Dion yang berjalan ke arah mereka sembari menyisir rambutnya menggunakan sela-sela jarinya. "Memang pas banget kalau dia yang akhirnya ngewakilin kita buat nguras harta tante-tante. Dia paling ganteng dan semlohai dari kita semua," ucap Ernest. Kenapa bisa begitu? Dilihat dari segi fisik nih, ya. 1. Ernest, umurnya juga mau tembus dua puluh satu tahun kayak Dion, ukuran tinggi badan seratus tujuh puluh lima centimeter, kulitnya putih, mata sipit dengan lesung pipi di sebelah kanan doang. Badannya kurang proposional, karena sedikit kurus dari berat idel yang seharusnya. Dia cowok yang pintar, slengekan, kocak banget dan absurd kadang, tapi sebagai ketua genk dia bisa mengayomi kawan-kawannya. 2. Jovian, umur ke lima mahasiswi jurusan ilmu komputer ini rata-rata sama sie, mau tembus dua puluh satu tahun dan mau ke tahap akhir semester, sama halnya dengan Jovian yang bakal ulang tahun satu bulan lagi. Dia berada di tengah-tengah, nggak cakep-cakep amat dan nggak jelek-jelek amat, nggak malu-maluin juga buat diajak jalan. Tinggi badannya cuma seratus enam puluh centimeter, tapi dia jago main basket dari pada teman-temannya yang lain. Meski dibilang pinter enggak, bodo juga enggak, tapi soal cinta dia lumayanlah, nggak playboy, tapi awet juga kalau sekalinya pacaran bisa tahun-tahunan, tapi kali ini dia jomblo karena pingin sepenanggungan kayak teman-teman satu genknya. Terakhir pacaran enam bulan lalu dan putus karena sudah nggak satu misi katanya. 3. Udin, bisa dibilang dia yang paling standart kegantengannya. Lelaki paling alim dari ke lima anggota genk huru-hara yang kerap bikin onar di kampus. Wajahnya hampir mirip kayak masa mudanya Almarhum Kasino hanya saja dia lebih berisi. Dalam hal agama Si Udin lebih jago, dia sudah khatam Al-Quran dua kali, beda sama Dion yang baru sampai jilid enam udah bubar jalan. Namun, dia yang paling malu-malu soal cinta apalagi mendekati wanita, terbukti sampai sekarang hubungannya sama Siti masih stagnan alias nggak gerak padahal sudah pedekate dari lama. Sad banget kan ya? 4. Gilbert, lelaki keturunan Chiness, Betawi ini wajahnya hampir mirip dengan Chef Arnold hanya saja tubuhnya tidak segagah artis terkenal tersebut. Dia lelaki yang jarang bercanda dulunya, tapi setelah bergabung dengan genk huru-hara dia malah lebih gila dari teman-temannya. 5. Dion, Inilah lelaki yang menurut survey penduduk kampus yang memiliki paras paling mempesona di antara keempat kawan-kawannya. Dion mirip banget sama artis Iko Uwais yang jago bela diri, apalagi (dulu) lelaki ini memiliki tunggangan yang lebih keren juga dari kawan-kawannya, karena dia juga yang paling tajir. Dalam setahun dia bisa ganti-ganti cewek sampai lima hingga enam kali. Dan ini masa jomblonya yang paling lama yaitu tiga bulan setelah dia dihajar babak belur oleh Farish karena cewek yang dia pacari ternyata sudah tiga bulan pacaran sama Farish. Jadilah Dion agak trauma karena hal tersebut. Katanya jago bela diri? Tapinya Farish lebih jago dari dia ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN