ISTRI ORANG 3

980 Kata
Keempat mahasiswa yang lain berebut mencari kertas kecil yang dibuang asal-asalan oleh Gilbert. "Eh, gila! Nama siapa yang keluar?" tanya Ernest seraya celingukan mencari-cari, meraba-raba di atas meja, mengintip di kolongnya, di lantai. Astaga! Menyusahkan banget si Gilbert, mana ditanya nggak mau jawab. "Siapa sie, Bert?" tanya Udin mendadak deg-degan setengah mati, padahal tadi udah tenang. "Nggak mungkin nama gue kan, tante-tante mana ada yang mau sama gue, gue kurus kayak orang sakit tipes woey." Demi nggak terpilih Udin rela menjelek-jelekkan dirinya sendiri. Emang dasarnya jelek sie! "Aman bukan elu tapi .... " Gilbert usilnya makin menjadi, dia menatap satu per satu wajah tegang sahabat-sahabatnya, sedangkan kertas itu entah hilang ke mana. "Siapa?" tanya mereka berempat beriringan bak paduan suara. Kini Udin, Dion, Jovian dan Ernest berdiri berjajar-jajar seraya menatap serius ke arah Gilbert yang justru bersiul-siul girangnya nggak ketulungan. "Dion," ucap seorang gadis berambut panjang sebahu ketika ia mendapati kertas kecil yang tidak sengaja dia tendang menggunakan ujung sepatunya tersebut. Gadis itu berhenti di belakang jajaran benteng pertahanan, eh apaan pertahanan? Maksudnya dia berdiri di belakang deretan barisan yang dibuat oleh Udin, Dion, Jovian dan juga Ernest. Mendengar nama Dion disebut, tak hanya si empunya nama yang berbalik, memutar leher ke arah sumber suara, tapi juga yang lainnya. Kegaduhan terjadi karena lagi-lagi genk rewo-rewo berhasil membuat kekacauan untuk yang kesekian kalinya. Gadis bertinggi kurang lebih seratus lima puluh lima centimeter itu masih berdiri di tempatnya, tidak berani menoleh barang sedikit pun. Yang ia rasakan sekarang adalah bulu kuduknya yang mendadak berdiri bak di kelilingi oleh para makhluk astral di malam Jum'at Kliwon. Sial! Kenapa tadi pakai iseng ngejumput kertas kecil ini, pakai dibaca pula. Si gadis berumur sembilan belas tahun itu mengomeli kebodohannya sendiri. "Dek ... Sayang ... Darling ... tadi nyebut nama gue, ya?" tanya Dion sambil menowel-nowel lengan si gadis yang tubuhnya amat sangat mungil apabila bersanding dengan dirinya tersebut. Aduuh ... kata Abang kan di sini ada satu genk yang suka usil. Mungkin kah mereka? Terus aku harus gimana? Hadapi, Fanya! Nggak ada cara lain kan? Gadis itu dibuat gemeteran sekujur tubuhnya akibat mendengar suara Dion dan tepukan tangan Dion di lengannya. "Kayaknya belum pernah lihat bentukannya ni, Yon," celetuk Ernest memerhatikan penampilan si gadis asing itu sambil manggut-manggut. Genk Rewo-Rewo hapal semua cewek satu kampus ini dan yang kali ini beneran belum pernah melihat lihat. "Dek, woey!" Dion menepuk bahu gadis itu lagi. Si gadis akhirnya berbalik badan, meski dengan takut-takut. "Wow ... cantik!" Kata-kata tersebut lolos begitu saja dari mulut kelima sekawan tersebut ketika melihat paras ayu si adek kelas yang memenuhi kelopak mata mereka sekarang. "Ma-Maaf, Mas. A-aku .... " Tangan gadis yang belum mereka ketahui namanya tersebut gemeteran bukan main. Kertas kecil yang tadi disobek-sobek oleh Ernest dan dilinting menjadi kocokan arisan masih gadis itu pegang. "Aku cuma baca nama yang ada di kertas ini. Ma-Maaf ... permisi!" Gadis yang panik bak terjerembab di sarang penyamun itu pun berlari cepat setelah menyerahkan kertas yang dia bawa di tangan Dion. Kelima pasang mata, bahkan mata-mata seluruh penduduk kantin itu pun tak lepas memandangi si gadis mungil itu berlari hingga gerakan kepalanya membuat rambut panjang hitam gadis itu bergoyang ke kanan kiri, atas bawah. Namun ... ada yang lebih penting dari gadis asing itu. "Busyet! Kenapa jadi nama gue yang keluar? Anyiiing!" Dion mendadak tersadar akan masalah besar yang akan dihadapinya. "Selamat, Bro. Wkwkwkwkwk .... " Selamat masuk ke dalam permainanan gila yang bisa membuat boomerang untuk dirimu dan masa depanmu. Kaki Dion melemas ... dia terduduk di bangku kayu sambil memanggku keningnya dengan telapak tangan. Ehm, tadi siapa yang ngucapin selamat terus ketawa kenceng banget? Dion ngerasa suara temannya mendadak seperti suara malaikat pencabut nyawa. Ngeri! "Ini pas sie menurut gue, di antara kita berlima cuma elu yang ganteng maksimal dengan perut kotak-kotak hasil dari fitnesan. Lu udah cocok buat ngejalanin misi kita ini," ujar Ernest. "Gila! Kalau ketahuan orang tua gue, mampus lah ini! Gue jadi sim-" Dion membungkam mulutnya ketika menyadari semua telinga kini menguntit apa yang akan dia bicarakan. "Kita obrolin lagi di kost an si Gilbert oke! Let's go!" Ernest memberi komando seraya mencangklongkan tas ranselnya ke pundak, diikuti dengan yang lainnya yang berjalan membuntutti ke mana langkah kaki si ketua genk menuju. ** "Lu nggak salah nulis kan? Jangan-jangan semua kertas isinya nama gue semua lagi," tuduh Dion. Berpikir buruk boleh dong, memang kenyataannya mereka suka saling mencurangi. "Mana ada, Nying? Tadi kan lu lihat sendiri gue nulis nama kalian satu-satu, nama gue juga gue tulis," kelit Ernest. Iya, bener juga sie. Dion juga lihat semua nama temannya tertulis di sana. Sudahlah! Memang lagi apesnya dia aja. Sudah nggak bisa ngelak juga selain menerima permainan gila ini dengan lapang d**a. "Tapi janji, ya. Setelah pulang dari Bali ide gila ini udahan!" kata Dion yang udah was-was duluan, takut kebablasan. "Iya-iya, cuma sampai kita dapatin dana buat pergi ke Bali. Setelah itu lu boleh hidup normal lagi," tegas Ernest. Padahal aslinya semua resiko ya ditanggung penumpang, yang lain cuma nyimak doang dan bantu ngedoain biar di-Ridloi Allah. Eh, mana ada hal begituan yang di-Ridloi Allah? "Aduuh ... gue takut njiir!" keluh Dion. "Jangan takut kan ada kita." Udin menepuk bahu Dion pelan. "Emang kalian berfungsi dengan baik? Nggak yakin gue," gerutu Dion. "Sekarang tinggal kita cari korbannya. Si tante-tante muda yang jangan ketuaan banget, yach ... empat puluh tahunan lah," gumam Ernest sambil membayangkan artis Five-V yang udah tante-tante, tapi masih menggoda. "Itu tua geblek! Kenapa nggak lima puluh tahun sekalian?" protes Dion kesel. Kan dia yang mau dijadiin kambing hitam, jadi dia yang berhak protes lebih kenceng dari yang lainnya. "Oke dech terserah kriteria lu, Yon. Besok kita ke mall buat nyari target yang sekiranya lu srek. Oke ya ... arisan istri orang dimulai dari sekarang!" seru Ernest semangatnya nggak ketulungan. Beda sama Dion yang udah ngeri duluan, gimana kalau ketahuan lakinya? Bisa habis gue. Pikir Dion ngeri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN