DEEP TALK

1622 Kata
Davis mengernyitkan keningnya. ‘’Sayang, bukankah ini …’’ ‘’The Rose Light.’’ Gambar yang ditunjukkan Ambar adalah The Rose Light. Sebuah berlian yang sebelumnya dikenal dengan nama Flower Pink tersebut memiliki peringkat warna fancy vivid pink. Berbentuk oval dengan berat 60,6 karat senilai US$71,2 juta (sekitar Rp 1,044 triliun) ‘’No. Ayah tau berapa harga berlian ini.’’ Davis menggelengkan kepalanya. ‘’Ayah, berlian ini hanya ada satu di dunia.’’ ‘’Sebab itulah harganya sangat fantastic.’’ ‘’Bukankah itu sebanding?’’ ‘’Sayang. Apa kau tau koleksi perhiasan Ibumu sebanyak apa?’’ Kotak perhiasan yang ditunjukkan oleh ibunya ketika di ruang tamu itu hanya sebagian kecilnya saja. Karena pada kenyataannya Axiar memiliki ruang pribadi berukuran enam kali tiga meter di balik lemari kamarnya yang di isi dengan berbagai macam perhiasan. Sebab itulah Davis berpikir ulang untuk memberikan istrinya sebuah cincin berlian. ‘’Jika Ayah memberikan cincin berlian ini, berarti Ayah memberikan apa yang ibu sukai. Lalu Ibu akan menempatkannya di hidden room miliknya. Bukankah Ayah sendiri yang bertanya padaku, Apakah ibu sedang menyukai sesuatu? Ibu menyukai The Rose Ligh ini, Ayah,’’ Menunjuk gambar yang berada di ponselnya. ‘’Dari pada Ayah memberikan sesuatu yang tidak Ibu sukai dan akhirnya hanya akan berakhir di tempat sampah. Lebih baik mana?’’ Dalam satu detik saja Davis dapat menghasilkan jutaan dollar dari berbagai bisnisnya, jika dibandingkan dengan satu cincin berlian yang dimaksud putrinya ini sebenarnya tidaklah seberapa. Apalagi Axiar adalah orang yang mendukungnya dalam membangun Davis Enterprise mulai dari nol hingga sukses seperti sekarang ini. Setelah lama mempertimbangkan, akhirnya Davis berkata.  ‘’Ayo kita berburu berlian, Nak.’’ Ambar yang berpikir ayahnya tidak ingin mendengar penjelasannya lagi seketika tersenyum mendengar ajakan itu. Johnson Residence, Living Room. 16.00 p.m. Valgar yang baru saja tiba di rumah langsung disambut senyum hangat ibunya yang sedari tadi sudah menunggunya di ruang tamu.  ‘’Selamat sore, Sayang. Kemarilah.’’ Dengan langkah gontai ia menghampiri ibunya. Biasanya ia selalu duduk di samping Adeline, namun kali ini ia lebih memilih untuk duduk berjauhan. Adeline sangat paham mengapa putranya bersikap demikian. Ia pun memutuskan untuk pindah di samping Valgar. Duduk menyamping dengan menaikkan kedua kaki ke atas sofa, seraya menopang sisi kiri kepalanya sambil terus memperhatikan putranya. Adeline berusaha melihat wajah Valgar yang terus menunduk. ‘’Apa kau marah pada Ibu?’’ Valgar sama sekali tidak menjawab. ‘’Maafkan ibu, Nak.’’ Saat Adeline menyampaikan permintaan maafnya, barulah Valgar mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Adeline. ‘’Kenapa Ibu melakukan ini padaku?’’ ‘’Karena dia gadis yang baik, Sayang.’’ Valgar mengernyitkan keningnya. ‘’Jika hanya sekedar baik, perampok yang mengambil harta seseorang untuk memberi makan anak-anaknya pun juga bisa dikatakan baik, Bu.’’ ‘’Itu dua hal yang berbeda.’’ Mengelus kepala putranya. Dengan tatapan tajam Valgar membalas ucapan ibunya. ‘’Bukankah biasanya Ibu dan Ayah selalu membantuku untuk menghindari perjodohan yang datang?’’ ‘’Benar. Sampai saat ini.’’ Jawab Adeline lembut. ‘’Lalu mengapa hal ini bisa terjadi, Bu? Aku tidak tau apa yang orang tua gadis itu katakan hingga orang tuaku sendiri mengkhianatiku seperti ini.’’ Wajah Valgar mulai memerah. Ia benar-benar berusaha keras untuk tidak mengeluarkan semua amarahnya di depan wanita yang sangat dicintainya. Sebab itulah wajahnya kian memerah sepanjang percakapan. ‘’Sayang, orang tua gadis itu bahkan tidak datang kepada Ibu atau Ayah untuk menjodohkan putrinya seperti orang-orang yang mendatangi kami sebelumnya.’’ dalihnya. ‘’Jangan membohongiku, Bu!’’ ‘’Sungguh! Ibu tidak pernah berbohong padamu. Kau tau itu kan?’’ ‘’Hanya karena keluarga mereka memiliki derajat yang sama dengan keluarga kita, apakah itu yang menjadi alasan utamanya?’’ ‘’Jika gadis yang kau cintai bahkan berasal dari bawah jembatan sekalipun, Ayah dan Ibu benar-benar tidak mempermasalahkannya,’’ Menggoyangkan dagu Valgar dengan tangan kanannya. ‘’Yang penting Putra Ibu ini bahagia.’’ Seketika ekpresi Valgar berubah. ‘’Benarkah, Bu?’’ Adeline menganggukkan kepalanya. ‘’Tentu saja.’’ Valgar menganggap pernyataan ibunya itu hanyalah kata-kata manis semata. Emosi yang sempat mereda itu pun kembali berapi-api. ‘’Aku tidak percaya.’’ Jawabnya ketus seraya memalingkan wajahnya. ‘’Apa kau tidak mempercayai kata-kata Ibumu sendiri?‘’ ‘’Aku percaya,’’ Menoleh ke arah Adeline. ‘’Tolong jangan memanfaatkan kecintaanku padamu, Bu. Hanya karena aku selalu mematuhi perintah Ibu, bukan berarti aku tidak bisa menolaknya. Apakah ini keinginan Ayah?’’ ‘’Bukan hanya keinginan Ayahmu saja, tapi juga keinginan ibu.’’ ‘’Bu, aku bukanlah tipekal orang yang mudah memberikan hatiku begitu saja.’’ ‘’Sebab itulah Ibu ingin mengenalkannya padamu terlebih dahulu. Tidak perlu terburu-buru.’’ ‘’Tidak.’’ ‘’Mau sampai kapan kau bertahan dalam kesendirianmu?’’ ‘’Waktu bukanlah masalah. Jika memang dia diciptakan untukku, sampai dunia ini terbalik pun dia tidak akan pernah jadi kepunyaan orang lain, Bu.’’ ‘’Ayahmu menyampaikan kepada Ibu bahwa kau sudah memiliki pilihan. Apa dia itu yang kau maksud sebagai pilihanmu?’’ ‘’Benar.’’ ‘’Bawalah gadis pilihanmu itu kehadapan Ayah dan Ibu, dengan tangan terbuka kami akan menyambutnya. Ibu sangat penasaran seperi apa dia. Ini perintah.’’  ‘’Baiklah. Jika sudah tiba saatnya.’’ Adeline tersenyum. ‘’Tenang saja. Ibu akan tetap menolak perjodohan yang datang.’’ ‘’Terutama gadis itu, Bu.’’ ‘’Sebenarnya itu bukan perjodohan, Nak.’’ ‘’Maksudnya?’’ ‘’Hanya perkenalan saja. Ibu hanya ingin kalian saling mengenal. Itu saja.’’ Valgar baru mengerti maksud ‘’perkenalan’’ yang sejak awal sudah disampaikan oleh ayahnya. Karena sudah terlanjur marah-marah, ia akan sangat malu jika pemicu amarahnya tersebut ternyata hanyalah salah paham semata.  ‘’A… aku tetap tidak menginginkannya. Aku tau apa maksud Ibu. Jadi berhentilah membahasnya lagi.’’ Valgar berusaha menyembunyikan rasa malunya. ‘’Ibu tau apa yang kau pikirkan. Kau takut jika suatu saat Ibu menyetujui perjodohanmu dengan seseorang bukan?’’ ‘’Benar. Bom waktu yang diciptakan oleh Orang Tuaku.’’ Jawabnya dengan wajah kesal.  ‘’Baiklah. Ibu tidak akan pernah menjodohkanmu dengan siapapun lagi.’’ ‘’Lagi? Sebelumnya dengan siapa aku dijodohkan?’’ ‘’Seseorang di masa kecilmu.’’ ‘’Tapi perjodohan itu sudah tidak berlaku bukan? Ibu yang mengatakannya sendiri.’’ ‘’Kau bisa mempercayai kata-kata Ibu.’’ ‘’Benarkah? Termasuk gadis dari Keluarga Davis?’’ Kali ini wajah Valgar benar-benar berubah 180 derajat. ‘’Iya. Termasuk dia.’’ Valgar tertawa senang. ‘’Terimakasih, Bu.’’ ‘’Sebagai gantinya, ayo ceritakan mengenai Gadismu itu’’ Wajah Valgar yang dari tadi terlihat kesal berangsur-angsur mulai ceria kembali. Ia pun beranjak dari sofa dan mondar-mandir di hadapan ibunya. Tangan kiri dimasukkan ke saku celananya, sedangkan tangan kanannya begerak ke sana kemari. Valgar seperti sedang mempresentasikan gadisnya di hadapan client. ‘’Dia … ‘’ ‘’Ayo teruskan.’’ Adeline tidak sabar mendengar cerita Valgar. ‘’Dia memiliki senyum yang sangat manis. Mata yang indah, hidung yang mancung, rambut hitam lurus sepunggung dan kulit putihnya bagaikan salju di bulan desember.’’ Valgar tersenyum kala mengingatnya. Sedangkan yang ada di bayangan Adeline adalah Ambar. Ciri-ciri gadis yang diceritakan Valgar hampir mirip dengan putri Keluarga Davis. Karena ia sudah berjanji kepada Valgar, Adeline tidak ingin membahasnya. Lagipula gadis yang mirip seperti penjelasan Valgar bukan hanya Ambar seorang. ‘’Lalu?’’ ‘’Dia suka membantu orang-orang di sekitarnya. Dia bahkan tidak sungkan untuk duduk dan makan bersama dengan seorang gelandangan. Kepribadiannya sangat baik Bu. Sangat baik.’’ Melihat putranya yang begitu senang menceritakan gadisnya, Adeline dapat merasakan betapa putranya sangat mencintai gadis itu. ‘’Dia tidak suka minum alkohol. Minuman yang disukainya adalah s**u coklat.’’ Valgar tertawa. ‘’Bagaimana kau tau?’’ ‘’Aku melihatnya. Saat seorang pelayan datang menawarinya minuman beralkohol, ia malah bertanya, apakah pelayan itu memiliki s**u coklat?’’ Sontak Adeline tertawa, begitu pula Valgar. ‘’Apa yang membuatmu menyukainya?’’ Valgar berusaha mengingat wajah polos itu. ‘’Entah. Begitu melihatnya, aku tiba-tiba jatuh cinta, Bu.’’ ‘’Hanya itu?’’ ‘’Aku mencintainya tanpa alasan. Tanpa siapa, tanpa tetapi dan tanpa pertanyaan lainnya.’’ ‘’Itulah ketulusan Nak. Lalu?’’ ‘’Pelayan itu memberikannya s**u coklat.’’ Mereka tertawa lagi. ‘’Lalu, apa kau sudah bertemu dengan Orang Tuanya? Bawalah dia kemari.’’ ‘’Di sanalah masalahnya, Bu. Aku sendiri belum bisa mengatasinya.’’ ‘’Maksudmu?’’ ‘’Dia bahkan tidak mengetahui bahwa aku yang selalu memikirkannya ini ada,’’ Adeline tampak bingung. ‘’Dia seseorang yang ku cintai dari kejauhan yang berkuliah di Universitas Hamburg.’’ Adeline terpaku sebentar. Banyak sekali kesamaan antara Gadis Valgar dan Ambar yang juga berkuliah di sana. ‘’Maksudmu, kau bahkan belum berkenalan dengannya?’’ ‘’Benar. Ketika aku mencoba untuk menghampirinya, dia selalu sibuk. Apa yang harus kulakukan, Bu? Bagaimana cara agar aku dapat membawanya bertemu Ibu, sedangkan berusaha untuk mendekatinya saja aku selalu kesulitan.’’  ‘’Apa kau selalu menaklukkan tebing di Cave Of Arc setiap minggu?’’ ‘’Benar.’’ ‘’Apa kau pernah gagal sebelumnya?’’ ‘’Hanya sekali.’’ ‘’Lalu apa masalahnya?’’ ‘’Bu. Dia bukanlah tipekal orang yang sangat mudah untuk ditemui.’’ ‘’Apakah Ibu harus tangan untuk membantumu?’’  ‘’Tentu saja tidak. Aku bisa mengatasinya.’’ ‘’Baiklah. Demi Gadismu, Ibu rela kau tidak menuruti permintaan Ibu kali ini.’’ Valgar mencium pipi Adeline. ‘’Aku sangat menghargai keputusanmu, Bu. Terimakasih.’’ Saat Adeline dan Valgar sudah selesai mengobrol, Agzek datang menghampiri Tuannya dan memberikan dua amplop coklat kepada Valgar. ‘’Apa itu, Sayang?’’ ‘’Hanya dokumen yang harus ku periksa, Bu.’’ Valgar cepat-cepat meninggalkan Adeline dan segera pergi ke kamarnya. Di atas meja kerjanya ia membuka amplop pemberian Agzek tersebut. Satu berisi dokumen dan yang satunya lagi berisi potret gadisnya. Rupanya saat Valgar dan Agzek menunggu kedatangan Ambar di parkiran, Agzek memotret gadis itu secara diam-diam. Ambar yang mengenakan jumpsuit denim itu sedang tersenyum menatap dua orang yang membelakangi mereka. Bahkan saat dia menuruni tangga, menuju sebuah gerai dan berjalan ke mobilnya, semua aktivitasnya di potret oleh Agzek. ‘’Cantik sekali.’’ Ucapnya ketika melihat salah satu potret gadisnya. Ia pun menyelipkan salah satu foto Ambar di tengah-tengah buku yang terletak di atas meja kerjanya. Saat ia melihat sebuah dokumen yang terletak di bawah dokumen bersampul merah, yang kebetulan bersisian dengan tumpukan gambar gadisnya, raut wajah Valgar seketika berubah. Ia bergegas mengirim sebuah pesan kepada Agzek. Tak butuh waktu lama, pengawalnya itu dengan cepat sudah berada di hadapannya. ‘’Ada yang ingin ku tanyakan padamu?’’            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN