Di Cave Of Arc, Jack yang sedang merapikan kamar Valgar melihat jas yang tadi malam dikenakan Tuannya tergelatak begitu saja di lantai.
’Tumben sekali Tuan Muda dua kali datang dalam sehari. Pakaiannya juga tidak diletakkan di keranjang pakaian kotor seperti biasanya. Kaos kaki, handuk, bahkan sepatu tidak diletakkan pada tempatnya.’’ Jack keheranan.
Jika Valgar sedang dalam mood yang buruk, jangankan pakaian, rumah dan seisinya saja bisa dibuat hancur olehnya. Yang dilihat Jack hanyalah sebagian kecil dari sifat buruk Tuannya.
CEO Office.
13.15 p.m.
Di perusahaan Johnson, Valgar diminta untuk bertemu dengan ayahnya setelah jam makan siang.
Sebab itulah Valgar tidak bisa mengikuti Ambar terlalu lama, karena dia memiliki janji untuk menghadap CEO di tempat ia bekerja.
Saat melihat kedatangan Valgar, tadinya sekretaris ayahnya hendak menelepon untuk memberitahukan kedatangan Valgar. Namun ia mengurungkan niatnya saat Valgar memberi perintah untuk menghentikan apa yang ingin ia lakukan.
Begitu memasuki ruangan, Valgar langsung berdiri di hadapan Johnson seraya berkata. ‘’Selamat siang, Ayah.’’ ucap Valgar.
Johnson yang dari tadi sedang fokus membaca dokumen langsung menghentikan kegiatan yang sedang ia lakukan saat melihat putranya sudah berdiri di hadapannya.
‘’Selamat siang, Nak. Duduklah.’’
Valgar duduk di salah satu kursi yang berada di depan meja Johnson. ‘’Terimakasih.’’
Walau berbicara dengan ayahnya sendiri, Valgar tetap membedakan sikapnya saat ia berada di rumah dan sikapnya saat ia berada di kantor.
‘’Apa tugasmu sudah selesai?’’
‘’Waktuku tersisa empat hari lagi. Saat deadline itu berakhir, akan ku pastikan dokumen yang Ayah minta sudah berada di meja kerja ruangan ini.’’
‘’Baiklah’’ jawab Johnson.
‘’Boleh aku bertanya sesuatu?’’ tanya Valgar.
‘’Silakan.’’
‘’Mengapa Ayah menginginkan Orchard Park?’’
‘’Ada satu hal yang ingin Ayah bicarakan padamu, Nak. Namun saat ini belum saatnya.’’
‘’Baiklah. Apa ada yang ingin Ayah bicarakan lagi padaku?’’
‘’Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin ayah sampaikan,’’ Karena pembicaraan ini agak sedikit sensitive, Johnson bangkit dari kursinya dan mendekati Valgar. ‘’Ibumu meminta Ayah untuk menyampaikan pesan ini padamu. Tapi berjanjilah kau akan mendengarkannya hingga akhir.’’ Johnson menggoyangkan telunjuknya tanda memberi peringatan.
Valgar menarik napas. Sepertinya ia sudah tau arah pembicaraan ini. Walau terpaksa, ia rela masuk ke perangkap buatan ibunya. ‘’Aku berjanji.’’
Johnson kembali duduk ke kursinya. ‘’Kau tentu sudah mengenal Keluarga Davis bukan?’’
‘’Pemilik Orchard Park?’’
‘’Benar sekali. Wajar saja kau mempertanyakan mengapa Ayah menginginkan Orchard Park padahal pemilik apartemen itu adalah sahabat Ayah sendiri. Namun lagi-lagi Ayah ingatkan padamu bahwa pertanyaan itu belum saatnya untuk dijawab.
Kembali ke topik. Keluarga mereka memiliki seorang Putri yang kecantikannya menjadi buah bibir banyak orang. Tak hanya orang-orang yang tinggal di apartemennya, namun juga di kampusnya.’’
‘’Apa Ayah sudah selesai?’’
‘’Sudah.’’
‘’Boleh aku bicara?’’
‘’Silakan.’’
Begitu pembicaraan mengenai putri Keluarga Davis dimulai, Wajah Valgar seketika cemberut. Ia tidak bisa menyela karena sudah berjanji untuk mendengarkan apa yang ayahnya katakan sampai selesai.
Begitu mendapatkan kesempatan untuk bicara, Valgar mengeluarkan apa yang dari tadi tertahan di dalam benaknya.
‘’Aku tidak tau kalau standar untuk menjadi menantu keluarga kita adalah kecantikan.’’
‘’Dan dia juga sangat baik, Nak.’’
‘’Benarkah? Bandingkan dengan wanita pilihanku, maka Ayah dan Ibu akan menyesal karena telah memintaku untuk berkenalan dengannya,’’ Valgar menunjuk-nunjuk dirinya. ‘’Sekarang aku sudah selesai bicara. Bolehkah aku pergi?’’
‘’Silakan.’’
Padahal dia ingin menunjukkan gambar putri Keluarga Davis pada Valgar.
Namun melihat raut wajah putranya yang sangat kesal, Johnson tidak ingin menahannya lebih lama lagi.
‘’Aku permisi. Selamat siang, Ayah.’’ Valgar bangkit dari kursinya dan bergegas pergi meninggalkan Johnson sendirian.
Johnson membuka laci di mejanya. Mengambil ponsel yang di dalamnya terdapat foto istrinya dan Ambar yang tengah asik bercengkrama satu sama lain.
Adeline yang mendapat pesan mengenai penolakan itu tidak bisa berbuat apa-apa. Yang saat ini menjadi pertanyaan Johnson dan adeline Adalah? Siapa gadis yang dipilih Valgar?
Rose Boarding House.
13.30 p.m.
Rose yang baru saja selesai membersihkan diri tak sengaja menjatuhkan pizza keberuntungan yang diberikan Ambar tadi.
Ia cepat-cepat mengambilnya dan meletakkannya di meja. Dari cafe hingga ke kontrakkannya ia tempuh dengan berjalan kaki, tak heran jika ia sudah merasa lapar lagi. Ia pun mencicipi satu potong pizza.
‘’Lezat sekali.’’
Setelah menghabiskan satu potong pizza, Rose mengenakan pakaian yang lebih rapi lagi. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan lagi. Entah mendapat semangat dari mana, namun gadis itu sungguh tidak pantang menyerah.
Dalam perjalanannya menuju pusat kota, Rose melihat ke sekelilingnya.
Gedung-gedung pencakar langit yang berbaris rapi, kendaraan-kendaraan mewah yang lalu lalang di jalanan kota, pejalan kaki yang sibuk dengan urusan mereka sendiri, serta kendaraan umum yang berhenti di halte di dekatnya. Padahal dia memiliki uang untuk menaiki bis, namun dia lebih memilih untuk berjalan kaki.
Saat memasuki area pusat perbelanjaan, Rose memperhatikan gerai-gerai yang rencananya akan dia masuki. Ia melihat sebuah restoran yang ramai akan pengunjung, Rose pun segera melangkahkan kakinya ke situ. Baru beberapa langkah berjalan, ia melihat sebuah butik baju yang baru saja dibuka.
Seorang wanita dan pria yang tampaknya pemilik butik tersebut tampak kesusahan mengatur barang-barang yang akan dipajang.
Rose pun segera ke sana.
‘’Selamat sore, Tuan dan Nyonya. Perkenalkan namaku, Rose.’’ Rose mengulurkan tangannya.
Wanita itu menyambut uluran tangannya dengan ramah. ‘’Aku Marcella.’’
‘’Nyonya Marcella, apakah kau membuka lowongan pekerjaan?’’
‘’Benar.’’
‘’Jika diperbolehkan, aku ingin melamar pekerjaan di sini, Nyonya. Aku memang belum pernah memiliki pengalaman bekerja, namun aku seorang yang tekun dan ulet. Aku akan bekerja dengan sungguh-sungguh.’’
Suami Marcella yang berada di bagian sisi lain mendengar percakapan Rose dan Istrinya itu. Baru saja Marcella ingin menjawab, tiba-tiba saja suaminya berteriak. ‘’Terima, Ma. Aku benar-benar membutuhkan karyawan untuk membantuku.’’
Marcella tertawa.
Rose menyerahkan berkas yang baru saja diambilnya dari tas. ‘’Ini lamaranku, Nyonya.’’
‘’Tidak perlu. Mari kita bicarakan di dalam.’’
Hari itu Rose benar-benar beruntung. Tak hanya mendapatkan pekerjaan, sekarang ia juga memiliki seorang teman.
Ambar pergi ke Orchard Hill untuk menukar mobilnya. Hal itu ia lakukan karena Ayahnya memintanya untuk datang ke perusahaan.
Mengendari Ferrari LaFerrari putihnya, dalam waktu dua puluh menit Ambar sudah tiba di kantor ayahnya.
Davis Enterprise, Lantai 51.
15.00 p.m.
Kedatangannya saat itu bertepatan dengan jam pulang kantor. Walau Ambar menggunakan lift pribadi untuk sampai ke ruangan ayahnya, para pekerja yang sedang melewati lobi sempat melihat kedatangan Ambar. Lagi-lagi adik Ratva itu menjadi buah bibir karyawan perusahaan.
Bangunan Davis Enterprise memiliki ketinggian tiga ratus delapan puluh sembilan meter dan terdiri dari tujuh puluh enam lantai. Termasuk lima lantai bawah tanah.
Sejak awal dibangun, gedung milik Davis itu sudah dinobatkan menjadi gedung pencakar langit tertinggi di negeri tempat ia tinggal.
Lantai tujuan Ambar adalah lantai lima puluh satu, sebab di lantai itulah ruangan ayah dan kakaknya berada.
Sesampainya di sana, Ambar langsung di hadapkan dengan dua orang pengawal yang menjaga di depan pintu ruangan ayahnya.
‘’Selamat sore, Nona Muda Ambar.’’ Sapa salah seorang penjaga yang berjaga di depan pintu ruangan ayahnya.
‘’Selamat sore. Apa ayah ada di dalam?’’
‘’Ada. Tuan Besar sudah menunggu, Nona. Silakan masuk.’’
Untuk menuju ke ruangan Ayahnya, Ambar harus melewati tiga lapis pintu, yang mana setiap lapisnya masing-masing dijaga oleh dua orang pengawal. Tak hanya pengawal yang berada di pintu pertama saja yang menyapa Ambar, pintu kedua hingga pintu ketiga pun melakukan hal yang sama.
Begitu sampai di dalam ruangan, kali ini bukan pengawal yang menyapanya. Namun giliran Ambar yang menyapa ayahnya.
‘’Selamat sore, Ayah.’’
Davis yang dari tadi sudah menunggu kedatangan Ambar begitu senang melihat kemunculan putrinya. Ia menegakkan tubuhnya dan mempersilakan Ambar duduk.
‘’Selamat sore, Sayang. Silakan duduk.’’
‘’Terimakasih, Ayah.’’ Ambar pun duduk di hadapan Davis.
‘’Bagaimana kuliahmu?’’
‘’Mengesankan.’’
‘’Bukankah sebentar lagi kau akan memasuki libur semester?’’
‘’Benar, Ayah. Dua minggu lagi.’’
‘’Apa kau memiliki rencana untuk berlibur kemana?’’
‘’Tidak. Apakah Ayah merencanakan kita akan berlibur di mana?’’
‘’Sedang Ayah pikirkan.’’
Ambar tertawa. ‘’Apa ada yang ingin Ayah sampaikan padaku?’’
‘’Benar sekali. Ayah ingin meminta bantuanmu.’’
‘’Dengan senang hati akan ku lakukan.’’
‘’Besok adalah ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibumu. Ayah bingung ingin menghadiahkan apa. Karena hanya kau yang selalu menghabiskan waktu lebih banyak bersama Ibumu, jadi Ayah ingin bertanya padamu. Apakah Ibumu sedang menyukai sesuatu?’’
Ambar berpikir sejenak. ‘’Ayah telah memberikan satu set perhiasan berlian bukan?’’
‘’Benar. Lalu apa hubungannya?’’
‘’Menurutku, berlian di perhiasan itu tidak terlalu terlihat oleh kasat mata.’’
‘’Sayang, berlian yang kau maksud itu senilai US$20,1 juta (sekitar Rp 287 miliar) dan kau mengatakan perhiasan itu tak kasat mata?’’ Davis tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh putrinya.
Ambar tertawa. ‘’Ibu menyukai berbagai macam perhiasan, terlebih yang berukuran besar.’’
Ambar memiliki kebiasaan memegang kalungnya.
Rantai kalung yang terbuat dari mas putih itu, memiliki liontin permata putih kecil berbentuk oval serta liontin bulat pipih berwarna keemasan dengan inisial huruf D di depan liontin itu. Jika dilihat dari dekat, huruf D yang berarti Davis itu barulah terlihat.
Davis yang melihat putrinya memainkan kalungnya berkata. ‘’Kau masih mengenakannya?’’
‘’Tentu saja, Ayah. Ini kalung favoritku. Terlebih ini perhiasan keluarga kita.’’ ucap Ambar.
Keluarga Davis memiliki perhiasan yang masing-masing dikenakan oleh anggota keluarga mereka.
Davis dan Axiar mengenakan cincin, sedangkan Ambar dan Ratva menegenakan kalung. Perhiasan yang dikenakan mereka itu di design khusus oleh Axiar dan Davis sendiri.
Cincin Davis dan Axiar juga terbuat dari emas putih. Di design sangat simple dan polos begitu saja. Tentunya dipilih Davis. Sedangkan cincin Axiar memiliki permata putih yang mengelilinginya.
Di lingkar dalam cincin mereka terdapat inisial D yang menjadi penanda cincin itu hanya dimiliki oleh kelurga mereka.
Davis tersenyum. ‘’Jadi, bagaimana?’’
‘’Berikan sesuatu yang unik. Yang mana seumur hidupnya Ibu tidak pernah memilikinya.’’
‘’Sebenarnya apa yang ingin kau coba sampaikan?’’
Ambar menunjukkan sebuah gambar yang terdapat di ponselnya. ‘’Ini.’’
Davis sangat kaget melihat gambar yang ditunjukkan oleh putrinya.