Setelah melihat gambar yang terdapat di ponsel pengawalnya, Valgar membawa Agzek keluar rumah. ‘’Apa kau melihat seseorang di sana?’’
‘’Tidak sama sekali, Tuan. Tempat itu masih berupa bangunan kosong yang terbengkalai. Dan sama sekali tidak ada aktivitas apapun baik itu di dalam maupun di luar bangunannya.’’
‘’Hubungi Mark. Minta dia untuk memeriksa lebih detail lagi.’’ titahnya.
‘’Baik, Tuan Muda. Aku permisi.’’
‘’Agzek,’’ Baru saja berjalan sejauh lima langkah, namun Valgar membuatnya menghentikan langkahnya. ‘’Kabari aku besok pagi. Aku ingin beristirahat.’’
‘’Baik, Tuan.’’ Agzek menganggukkan kepalanya.
Valgar pun segera kembali ke kamarnya.
Saat ia berbaring di tempat tidurnya yang empuk itu, ia menatap langit-langit kamar. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Entah kenapa ucapan pemilik Lekra Company seketika terngiang-ngiang di telinganya.
Kala itu di ruang sidang.
Keputusan hakim yang memenangkan pihak Johnson Corporation membuat terdakwa marah.
‘’Aku akan membalaskan dendamku padamu. Jika bukan aku, maka anak dan cucuku. Lihat saja, perusahaanmu itu akan hancur.’’ Teriaknya sambil menunjuk-nunjuk Valgar.
Agzek yang tidak terima Tuannya diteriaki seperti itu bergegas untuk menutup mulut pria berusia enam puluh tahun tersebut.
Namun langkahnya itu dengan cepat dihentikan oleh Valgar.
Tak lama setelah ia mengeluarkan unek-unek di hatinya, pria itu terkena serangan jantung. Pihak keluarga yang menemaninya saat itu berlarian untuk menolong dan melihat Valgar dengan sinis.
Pengacara perusahaan mengatakan bahwa mereka akan membayar denda yang sangat besar, dengan begitu perkara ini sudah selesai.
Setelah mendengar itu, dengan gagah Valgar keluar dari ruang sidang.
Ia tidak ingin mengingat kenangan itu terlalu lama, dengan cepat ia segera menyingkirkannya.
Valgar mematikan lampu yang berada di sebelahnya dan dan bergegas untuk tidur.
Lt. 59 Orchard Park, Davis Penthouse.
18.42 p.m.
Pemilik Davis Enterprise itu sedang menunggu istri dan putrinya di ruang tamu. Lima berlas menit berlalu, akhirnya salah satu dari dua wanita yang ditunggu-tunggunya muncul juga.
Saat ia menoleh kebelakang, dilihatnya seorang wanita mengenakan white evening dresses long formal dengan rambut di sanggul kebelakang. Axiar terlihat sangat menawan di usianya yang menginjak empat puluh lima tahun.
Davis mengulurkan kedua tangannya dan disambut oleh Axiar. Ia mencium tangan itu dan berkata.
‘’Cantik sekali, Istriku.’’ ucapnya.
Axiar tersipu malu. ‘’Terimakasih, Sayang.’’
Davis menurunkan kedua tangan yang dipegangnya tadi dan melepas tangan kanan Axiar dan hanya menggenggam tangan kiri istrinya itu. Momen romantis itu tak berlangsung lama saat suara heels Ambar mengalihkan perhatian mereka. Axiar berpindah posisi ke samping kiri Davis dan berbalik melihat kedatangan putrinya.
Tuan dan Nyonya Davis itu melihat kehadiran putrinya yang tengah menuruni tangga dengan mengenakan white cross over halter neck dress serta heels dan anting berwarna silver.
Tatanan rambut dengan model di belah samping dan curly pada ujungnya tersebut, ditambah short dress yang mengikuti lekuk tubuh Ambar membuatnya terlihat sangat sexy dan cantik.
‘’Wow … apakah dia Putri kita?’’ tanya Davis.
‘’Sepertinya bukan.’’ bisiknya.
Ambar yang saat ini sudah berada di hadapan mereka menyapa kedua orang tuanya. ‘’Ayah, Ibu. Mengapa kalian menatapku seperti itu?’’
Mereka tersenyum. Davis mengulurkan tangannya kepada Ambar dan disambut oleh putrinya. ‘’Tidak apa-apa. Ayah hanya tidak menyangka bahwa kami memiliki seorang Putri yang sangat cantik.’’ Mencium kening Ambar.
‘’Terimakasih, Ayah.’’ Ucapnya setelah Davis mencium keningnya.
‘’Kau terlihat sangat sexy.’’ Axiar mengedipkan salah satu matanya.
Ambar hanya membalas ucapan Axiar dengan tersenyum.
Dari salah satu sudut ruangan, Rena dan Nata memperhatikan keluarga kecil itu dari kejauhan.
‘’Nona Muda cantik sekali.’’
‘’Iya, Nyonya Besar juga.’’
Ambar dan ibunya mengenakan dress dengan warna senada. Sedangkan Davis mengenakan setelan jas hitam dengan dasi kupu-kupu.
‘’Bisa kita pergi sekarang?’’ tanya Davis.
‘’Tapi, Kakak belum datang?’’
‘’Dia kan akan menemui kita di sana, Sayang. Bukankah Ibu sudah memberitahukannya padamu?’’
Ambar menyeringai.
Ratva sedang meminta izin kepada kedua orang tua Rana untuk membawanya ke acara anniversary pernikahan kedua orang tuanya.
‘’Tuan, Nyonya. Aku meminta izin untuk membawa Rana menemui Orang Tuaku.’’
‘’Silakan … silakan. Titipkan salam kami untuk Kedua Orang Tuamu dan tolong sampaikan selamat atas ulang tahun pernikahan mereka .’’ ucap Ayah Rana.
‘’Baik. Ayah dan Ibu akan sangat senang jika Calon Mertuaku juga ikut hadir di sana.’’
‘’Maafkan kami, Nak.’’
‘’Baiklah. Aku permisi.’’ Ratva menganggukkan kepalanya.
Melihat Ratva yang membukakan pintu mobil untuk Rana benar-benar membuat Orang Tuanya senang karena putri mereka diperlakukan layaknya seperti Ratu.
‘’Sepertinya kita sudah menemukan menantu yang tepat untuk Putri kita.’’ Ayah Rana tersenyum menatap istrinya yang dari tadi berada di pelukannya itu.
Ambar mengikuti mobil ayahnya dari belakang dengan Ferrari LaFerrari miliknya.
Di kamarnya yang dimasuki cahaya rembulan, Valgar melihat seorang wanita yang sedang berdiri di dekat jendela.
Ia berdiri mematung di depan tempat tidurnya tanpa mengenakan baju dan terus memperhatikan wanita tersebut.
Wanita yang tak terlihat wajahnya itu perlahan-lahan melangkah mendekatinya.
Ambar di klakson oleh mobil lain yang terletak di belakangnya. Karena ia tidak tau apa kesalahannya, Ambar membanting setirnya ke kiri agar mobil itu dapat mendahuluinya.
Saat ini Valgar dan wanita itu hanya berjarak lima langkah.
Namun mobil itu sama sekali tidak mau menyusul Ambar dan tetap berada di belakangnya.
Jika wanita itu berada selangkah di depannya. Maka Valgar dapat melihat wanita itu dengan jelas.
Ambar mengembalikan posisinya lagi dan mulai membalas klakson.
Tiga langkah mendekat.
Saat Ambar melihat dari kaca spion, mobil yang berada di belakangnya menyusul dan berada di sampingnya. Ketika sudah bersisian, Ambar seperti mengenali mobil tersebut. Ia pun menurunkan kaca dan melihat siapa yang dari tadi berbuat iseng padanya itu.
Dua langkah.
Mobil itu juga menurunkan jendela kaca yang terletak di kursi belakang. Ternyata itu adalah kakaknya. Ratva tersenyum ke arahnya.
Satu langkah. Wajah wanita itu dapat dilihatnya dengan jelas lantaran seberkas sinar rembulan menyinari tubuhnya.
Itu adalah gadisnya.
Valgar melihat wajah yang sedang tersenyum kepadanya itu dengan tatapan tak percaya.
Gadis yang susah payah untuk ia temui, saat ini berada di hadapannya.
‘’Hai.’’ Ucap Ambar seraya tersenyum.
Mendengar apa yang diucapkan oleh gadisnya, ia sama sekali tidak menjawabnya. Dengan napas yang terengah-engah dan mata terpejam ia langsung memeluk Ambar.
Mengenakan white dress yang sama saat pertama kali mereka bertemu, membuat Valgar teringat akan kenangan itu.
‘’Aku berharap ini bukanlah mimpi.’’ Ucapnya yang sudah bernapas dengan lebih baik.
‘’Hanya jika kau terbangun.’’ jawab Ambar.
Perlahan-lahan Valgar melepaskan dekapannya dan berkata. ‘’Ada banyak hal yang ingin ku sampaikan padamu.’’
‘’Aku tau.’’
Ia menggandeng tangan Ambar menuju tempat tidurnya.
Sesampainya Ambar di lokasi tujuan.
Ia melihat ayahnya sedang memasuki restoran sambil menggandeng tangan ibunya. Ia tersenyum bahagia walau tidak memiliki seseorang untuk berjalan di sampingnya.
Saat ia ingin melangkahkan kaki untuk menyusul orang tuanya, tiba-tiba seseorang menghampirinya.
‘’Hai, Cantik. Maukah kau mendampingiku?’’ Ratva menyodorkan lengan kirinya, karena lengan kanannya sudah di gandeng oleh Rana.
‘’Terimakasih, Kakakku yang tampan.’’ Ambar menyambut ajakan itu.
Ratva di apit oleh dua bidadari cantik yang sama-sama mengenakan short dress berwarna putih.
‘’Katakan saja. Aku tidak punya banyak waktu.’’ ucap Ambar.
‘’Kau akan pergi?’’
‘’Karena aku belum menjadi milikmu.’’
Valgar kaget mendengar pernyataan tersebut. ‘’Tunggulah dalam beberapa minggu.’’
Ambar tersenyum. ‘’Jangan terlalu lama membuatku menunggu.’’ Ia berlarian menuju jendela.
‘’Tunggu.,’’ Valgar refleks ingin memegang tangan halus itu. Namun ia tidak bisa menggapainya. ‘’Tunggu.’’
Dengan cepat sosok Ambar menghilang di jendela yang terbuka.
Saat ia berteriak meminta Ambar menghentikan langkahnya, ia terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah.
Di meja bulat yang terletak di ruang vip terdapat anniversary cake berwarna putih dengan lilin di atasnya.
Ratva memberikan sepatah kata setelah Axiar dan Davis selesai meniup lilin.
‘’Aku tidak bisa menjelaskan betapa bersyukurnya aku dan Adikku memiliki Orang Tua yang sangat hebat seperti ayah dan ibu. Semoga keluarga kita selalu bahagia seperti setiap harinya. Selamat ulang tahun pernikahan untuk dua orang yang sangat aku cintai.’’
Axiar dan Davis tersenyum mendengar ucapan putranya itu. Sedangkan Rana dan Ambar bertepuk tangan begitu Ratva menyelesaikan kalimatnya.
‘’Mari bersulang untuk hari yang sangat bahagia ini.’’
Mereka mengangkat gelas wine yang berada di hadapan masing-masing. Namun gelas milik Ambar lagi-lagi berisi s**u coklat. Walau demikian, ia tetap mengangkatnya.
Semua anggota Keluarga Davis dan juga Rana sudah mengetahui bahwasannya Ambar tidak menyukai minuman beralkohol.
‘’Untuk hari bahagia.’’
Saat mereka kembali duduk, Davis mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik jasnya. ‘’Ini untukmu, Bu.’’
Dengan wajah pura-pura tidak enak Axiar menerima pemberian suaminya itu. ‘’Ayah. Kau tidak perlu repot-repot seperti ini.’’
Saat dibukanya kotak hitam berukuran kecil tersebut, tiba-tiba saja Axiar mematung. ‘’Bukankah ini …’’
‘’The Rose Light.’’ Jawab Davis sambil tertawa kecil.
Axiar menatap Ambar seolah tak percaya.
Ia teringat akan putrinya yang menunjukkan gambar berlian ini pada sebuah majalah. Namun yang sangat membuatnya shock adalah berlian itu kini sudah berada di depan mata kepalanya.
‘’Apa Ibu tidak menyukainya?’’ tanyanya.
‘’Sangat,’’ Jawab Axiar singkat. Lalu ia berteriak kegirangan. ‘’Aaaahhh … Ayah. Ini kan sangat mahal. Bukan hanya suka, tapi aku memang sangat menginginkannya.’’
Davis memakaikan cincin berlian itu ke jari tengah Axiar. ‘’Pas sekali.’’
Axiar mencium Davis dan berkata. ‘’Sayang. Terimakasih untuk hadiah ini,’’ melihat cincin cantik yang sudah terpasang di jarinya. ‘’Kau benar-benar sangat tau apa yang ku inginkan.’’ Ia lantas memeluk suaminya dengan erat.
‘’Aku mencintaimu, Bu.’’
‘’Aku lebih mencintaimu, Yah.’’
Tiga orang anak muda yang berada di meja yang sama tersenyum lebar melihat adegan romantis itu.
Davis mengedipkan salah satu matanya kepada Ambar lantaran idenya itu berhasil membuat ibunya senang.
Ambar membalasnya dengan tersenyum.
Ratva pura-pura batuk agar orang tuanya menyudahi pelukan itu.
Adeline dan Johnson yang mendengar teriakan putranya dari ruang tamu itu bergegas memasuki kamar Valgar.
Johnson segera menghidupkan lampu kamar. Sedangkan Adeline menghampiri Valgar yang berada di tempat tidur. Dalam kondisi duduk dengan napas yang terengah-engah serta tubuh yang dipenuhi keringat, Adeline memeriksa keadaan putranya.
‘’Ada apa, Sayang?’’ tanya Adeline.
‘’Apa kau baik-baik saja, Nak?’’ Johnson penasaran.
Namun Valgar tidak menjawab pertanyaan orang tuanya sama sekali dan malah melihat ke arah jendela yang terbuka itu.