Vinay berangkat ke sekolah dengan mata sedikit sembab, hanya sedikit. Tadi pagi ia sudah mengkompres kedua matanya dengan es batu. Salah satu aktivitas yang sering Vinay lakukan di pagi hari. Ia berjalan dengan lesu kearah tempat duduknya. Ia langsung memasang earphone dan menelungkupkan kepala dalam lipatan tangan berharap tidak ada yang mengusik paginya.
Namun, belum sampai lima menit. Vinay harus menarik napas dalam dan menggumamkan kata sabar dalam hati saat seseorang menoel-noel lengannya sembari memanggil namanya pelan. Demi penguasa bumi dan surga! Kalau saja ia punya buku semacam death note pastilah nama pertama yang ia catat adalah si curut yang tak lain dan tak bukan adalah Levi Adinata Saputra!
“Jangan ganggu aku!” desis Vinay masih mempertahankan posisinya.
“Kamu kenapa Vin?” bisik Levi yang kini juga melipat kedua tangannya. Menatap kepala Vinay yang telungkup dengan penasaran.
“Diem curut, aku lagi badmood!” gumam Vinay. Masih pada posisi yang sama.
Levi diam sejenak, cowok itu lalu mengangkat kepalanya dan melihat kearah kelasnya yang masih kosong. Tentu saja ini masih kosong mengingat jam masih menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Levi berangkat pagi dengan niatan menghindari kecurangan kakaknya. Asal tahu saja, Levi dan kakaknya memiliki jadwal rutin untuk mengantarkan ibunya berangkat ke pasar pagi untuk belanja. Dan sudah sebulan kakaknya mangkir dari tugas, alhasil Levi-lah yang selalu mengantarkan ibunya dan berakhir di tangan Pak Wawan sang guru PKn.
“Badmood kenapa? Karena belum aku telepon?” goda Levi. Meskipun ia sudah mendapatkan nomor telepon Vinay beberapa hari yang lalu, Levi memang tidak menghubungi teman semejanya itu. Alasannya karena selama beberapa hari ini tidak ada guru yang memberikan tugas rumah.
Vinay menegakkan tubunya, lalu menatap Levi yang masih meletakkan kepala di atas meja dengan tajam. “Hari ini, jangan ngangkat topik tentang nomor, ponsel, rekening, atau apapun yang berhubungan dengan nomor!”
“Kalau angkat topik tentang nomor togel?” Levi berujar dengan nada menawar.
“Pokoknya jangan!”
“Gimana kalau ada guru yang ngomong nomor absen?”
Braaak!
“Gilak marmut! Gendang telingaku jebol nih!” pekik Levi yang mengusap gendang telinganya dengan brutal. Bagaimana tidak, beberapa saat lalu Levi tengah meletakkan kepalanya miring di atas meja, dan si marmut Vinay tanpa perasaan menggebrak meja dengan begitu keras.
Levi menatap kesal pada Vinay yang masih melotot kearahnya. Cowok itu lalu menyipitkan matanya. “Kamu abis nangis?” tanya Levi saat melihat mata Vinay yang sedikit sembab.
Vinay terdiam. Ia seolah kehabisan kata untuk menjawab pertanyaan Levi yang harusnya begitu mudah. Hal yang menjadikan ini sulit adalah, selama satu tahun penuh Levi adalah satu-satunya teman yang bertanya apakah ia menangis? Vinay tidak tahu pasti, apakah selama ini ia terlalu pintar menyembunyikan mata sembabnya. Apakah selama ini temannya tidak ada yang benar-benar memperhatikannya. Mungkin juga karena mereka terlalu riskan untuk bertanya. Dan Levi adalah satu-satunya cowok aneh yang tidak tahu apa-apa juga terlalu peka dan kadang asal bicara.
Apakah ia menangis? Ya, setiap saat.
Ia selalu menangis tiap kali mengingat nama Mandala. Ia menangis tiap kali melihat seseorang yang dalam sekali pandang seperti Mandala, namun saat ia kembali berpaling. Wajah itu hanya ilusinya. Kenapa semua orang terlihat seperti Mandala. Kenapa ia tak bisa berhenti mencari Mandala diantara wajah semua orang yang dilihatnya. Kenapa wajah itu begitu melekat tak hanya dalam ingatannya. Rasa sesaknya masih sama. Sakitnya masih sama. Ia menangis dalam kegilaannya tentang Mandala.
Kekasihnya. Hatinya. Napasnya. Bahkan, kali saja jantung yang berdetak juga menyerukan nama yang sama. Mandala.
“Ya, semalam aku nangis,” Vinay menjawab sembari menunduk. Menatap kearah pergelangan tangannya yang terlilit slayer hitam milik Mandala.
“Kenapa?” Levi tak bisa berhenti bertanya. Cowok itu sudah diliputi oleh segala rasa ingin tahunya tentang Vinay Flinn Dirgantara.
Vinay mengangkat wajahnya, memandang Levi dan menjawab. “Karena rasanya sakit. Rasanya sakit banget sampai nggak bisa napas. Dan tiap kali aku ambil napas, seakan ada benang yang menggores tajam. Aku pikir, sakitnya cuma datang waktu nangis, tapi sakitnya tetep ada bahkan waktu bangun tidur.”
Tanpa sadar, Vinay meracau tentang seberapa sakitnya ia. Vinay terlalu lama memendam segala rasa sakitnya dengan mengulas senyum baik-baik saja. Ia terlalu lama memakai topeng tegar tanpa ada yang tahu hatinya sudah pecah belah.
“Sekarang masih sakit?” Levi bertanya hampir seperti gumamam. Cowok itu menunduk untuk mencari manik mata Vinay yang terlihat tak fokus.
Vinay mengangguk. Tanpa perlu penjelasan apapun, Levi sudah bisa melihat betapa tersiksanya gadis itu. Manik mata sayu yang gelap. Wajah yang biasanya penuh senyum itu terlihat menyimpan beribu kesedihan. Mungkin, ini salah satu alasan mengapa Levi bertahan memaksa berada di dekat Vinay meski cewek itu jelas-jelas merasa terusik. Sejak pertemuan pertama mereka, Levi sudah merasakan kesedihan yang terlipat rapi dalam hati gadis itu.
Levi selalu tahu segala hal yang disembunyikan oleh kebanyakan orang hanya dengan melihat gerak-gerik mereka. Orang yang tidak benar mengenal Levi akan berpikir bahwa cowok itu adalah orang yang tidak pernah benar-benar peduli dan tidak pernah merasa penasaran. Kenyataannya, semua itu salah besar. Levi tidak pernah memaksa seseorang untuk bercerita, karena ia hampir tahu dengan pasti apa yang mereka sembunyikan hanya melalui sebuah cerita yang terpotong.
“Ini tentang keluarga atau pacar?” Levi berusaha menebak. Baginya, segala hal tentang Vinay terlalu pekat hingga tak bisa tebak sama sekali. Gadis itu terlalu gelap untuk ia selami. Yang bisa ia lakukan adalah menyinari sedikit demi sedikit segala hal yang gadis itu sembunyikan.
Seakan tersadar, Vinay langsung membuang mukanya. Menghindari tatapan Levi yang berusaha mengoreknya. “Kepo,” gumam Vinay seperti biasa.
Levi benar-benar menahan diri untuk tidak menjitak cewek imut itu. Rasanya, tiap kali Vinay berucap kepo, segala rasa keingintahuan Levi langsung musnah dan berganti dengan kata bodo amat! Levi mencoba menenangkan dirinya, cowok itu menghela napas dengan perlahan. “Kamu bisa curhat ke aku, kali aja kamu butuh pendapat cowok,” Levi melirik kearah Vinay yang masih menutup mulutnya rapat. “Kadang, curhat sama temen cowok lebih bikin nyaman daripada curhat sama temen cewek,” Levi menambahkan. Ia terlihat menahan senyum saat melihat Vinay mulai sedikit gelisah.
Vinay lalu berdecak dan kembali menghadap kearah Levi. Dari wajahnya sudah terlihat jika Vinay sedang bimbang antara ingin curhat atau tidak. “Gimana cara agar berhenti merasa rindu sama seseorang?” tanya Vinay dengan cepat.
“Ketemu,” jawab Levi dengan spontan.
Vinay terdiam, lalu beberapa detik kemudian ia membuka suara lagi. “Kalau nggak bisa?” gumamnya begitu pelan.
“Telepon.”
“Kalau nggak bisa?”
“Sms?” Levi menjawab dengan tidak yakin.
Vinay menutup mulutnya rapat. Lalu tersenyum pedih. Nggak bisa, jawabnya dalam hati.
“Nggak bisa sms ya,” gumam Levi langsung mengerti. “Pacar kamu lagi dimana sih? Lagi wajib militer di Korea? Atau lagi bertapa di gunung kidul?”
“Pacarku lagi mendaki gunung,” jawab Vinay sembari menunduk. Lagi-lagi menatap slayer hitam yang melingkar manis di tangan kirinya. “Gunung yang tinggi banget, gunung yang bersahabat dekat dengan langit.”
Levi mengangguk, “Pantesan nggak bisa telepon sama sms. Kalau cowok kamu suka naik gunung, yang bisa kamu lakuin cuma satu. Sabar nungguin dia pulang.”
Vinay mengangguk. Itulah yang ia lakukan selama satu tahun ini. Sabar. Tapi, Vinay tidak bisa menunggu. Karena pada kenyataannya Mandala sudah pulang. Dan percayalah, hal itu lebih menyakitkan dari apapun. Kisah cinta yang ia jalin indah harus diputus dengan paksa. Ia ingin marah, namun pada siapa?
“Nama pacar kamu siapa?” Levi menyandarkan kepalanya pada lipatan lengan di atas meja. Kepalanya kini miring menatap kearah Vinay yang tersentak dari lamunanya.
“Mandala Zeonard,” Vinay tersenyum kecil. Meskipun terasa sakit, namun disela rasa itu masih ada sedikit rasa bahagia yang tersisa tiap ia menyebut nama kekasihnya.
“Zeonard? Pantesan waktu pertama kenal bilang nama kamu Vinay Zeonard. Dasar alay!” Levi berucap kesal.
“Tapi cocok kan?!” Vinay bertanya dengan mata yang berbinar senang. Hal itu tak bisa luput dari pengamatan Levi yang jeli.
“Lebih cocok Vinay Flinn Saputra,” canda Levi. Cowok itu langsung melotot saat Vinay melakukan gesture orang yang hendak muntah. “Kurang ajar banget nih marmut,” kesalnya.
Vinay tertawa geli, dan itu adalah tawa pertamanya pagi ini. Rasanya senang bisa melihat cewek itu tersenyum dan melupakan alasan mengapa matanya sembab pagi ini. Itulah yang Levi pikirkan saat ini.
“Pacar kamu bule ya? Nama belakangnya Zeonard gitu,” tanya Levi kembali membuka pertanyaan.
Vinay mengangguk dengan semangat. “Dia blesteran, ganteng banget tau! Meskipun sering tambah item gara-gara suka naik gunung, tapi dia tetep kelihatan ganteng. Dia paling ganteng waktu bangun tidur, matanya masih setengah merem tapi ngotot ngajak keluar tenda buat lihat matahari terbit. Terus wajahnya yang lagi senyum kena sinar matahari dari samping, mata coklatnya jadi jernih banget! Aku masih inget, suaranya saat bilang selamat pagi—” Vinay terdiam saat Levi mengusap pipinya dengan wajah terkejut.
Bersamaan dengan itu pula Vinay menyadari bahwa pipinya basah karena air mata. Air mata miliknya yang berkhianat. Vinay cepat-cepat mengusap pipinya, tangannya gemetaran karena rasa sesak dan malu. Cewek itu lalu terkekeh kecil, menertawai kebodohannya masih dengan mengusap pipinya sedikit brutal. “Aku emang cengeng banget,” jelasnya pada Levi yang masih terdiam.