Levi menggigit bibir bagian dalamnya. Ia benar-benar tengah menahan diri sekarang. Cowok dengan kening yang berkerut itu benar-benar menahan diri untuk melawan keinginannya memeluk Vinay. Levi tidak tahu dengan jelas mengapa Vinay bisa menangis hanya karena ditinggal naik gunung oleh pacarnya. Tapi sungguh, tiap lelehan air mata Vinay membuat Levi menimbun kebencian pada sosok pacar Vinay.
“Jangan nangis,” Levi menarik tangan Vinay yang berusaha menyembunyikan wajahnya. Ia menghela napas begitu pelan dengan harapan beban di dadanya kian menipis lalu hilang. Namun bukan hilang, beban yang mendesak dadanya kian memberat seringin tatapan wajahnya menelusuri wajah Vinay yang basah karena air mata.
“Kamu jelek kalau lagi nangis,” Levi bergumam. Ia lalu membuka kaitan slayer hitam di pergelangan tangan Vinay dengan begitu pelan, seolah meminta ijin pada sang empunya. Levi lalu melipat rapi slayer hitam itu dan mengusapkannya di pipi Vinay. Begitu lembut, hangat, dan nyaman.
Rasanya, Vinay pernah merasakan kenyaman yang hampir sama. Rasa yang sedikit mirip saat Mandala menyeka keringatnya. Ah, benar. Satu tahun yang lalu, kenangan terakhirnya bersama Mandala. Saat kekasihnya dengan senyuman seindah fajar mengusap pelipisnya yang basah. Ingatan itu kembali menyeruak tanpa terkendali. Menyentak kuat relung hati Vinay dan meluluh lantahkannya dalam sekejap.
Jangan menangis, jangan menangis!
Vinay merapal dalam hati. Ia memejamkan matanya sejenak, lalu membuka maniknya dan terbelalak saat senyuman Mandala semakin melekat dalam ingatannya. Wajah Levi bahkan sekilas terlihat seperti Mandala. “Sebelah sini,” gumam Vinay menunjuk pipi kanannya. Persis seperti apa yang ia lakukan satu tahun yang lalu.
“Usap sendiri dasar manja,” cibir Levi mendorong ringan wajah Vinay. Bukan marah, Vinay malah tersenyum begitu tipis.
Ternyata memang berbeda. Batin Vinay merasa lega. Cewek itu tahu betul bahwa lagi-lagi ia berilusi. Ingatan tentang Mandala begitu kuat hingga membuat dirinya seringkali bernostalgia tanpa tahu tempat dan waktu. Seperti saat ini. Jika bagi sebagian orang bernostalgia adalah hal yang positif dan menyenangkan, namun tidak baginya. Karena bagi Vinay Flinn Dirgantara, nostalgia semacam sebuah penyakit yang mengorek hatinya hingga lebur tak bersisa.
Saking tersiksanya, Vinay pernah sekali mencari cara menghentikan nostalgia di internet. Namun bukan pemecahan masalah, dirinya malah menemukan fakta yang memperkuat pemahamannya. Nostalgia berasal dari kata nostos dan algos. Nostos adalah seorang tentara yang bertugas jauh dan begitu merindukan rumahnya. Keinginannya untuk pulang terasa begitu menyiksa psikisnya. Dan Algos sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti rasa sakit. Tak salah jika Vinay mengartikan jika Nostalgia adalah penyakit. Penyakit yang menyerang Vinay, membuatnya merasakan hal yang pernah dirasakan Nostos.
Kerinduan menggebu akan sebuah kepulangan. Ia begitu merindukan rumah tempat hatinya bersinggah.
“Jangan pasang wajah kucel, nanti dikira anak-anak aku yang bikin kamu nangis lagi,” tutur Levi sembari memasangkan slayer hitam itu ketempat asalnya. Pergelangan tangan Vinay.
Vinay tak langsung menjawab. Ia menatap lama kearah pergelangan tangannya yang terasa hangat. Lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum masam. “Kucel banget ya?” tanya Vinay.
Levi mengangkat jari telunjuknya dan mengusap ringan bawah mata Vinay. “Sebelah sini, kelihatan item dan sembab. Mungkin dibedakin dikit terus senyum nggak bakalan kelihatan,” jawab Levi.
Vinay dengan cepat mengeluarkan benda bulat kecil yang berisi bedak dengan tutup kaca. Lalu dengan ahli mengusapkan dibawah matanya. Benar kata Levi, ia benar-benar terlihat kucel!
“Kalau bang toyib kamu belum pulang dan kamu lagi pengen nangis, kamu bisa panggil aku,” gumam Levi tanpa menoleh kearah Vinay.
Vinay berdecih kesal, “Buat apaan? Aku nggak bakalan nangis lagi kok!”
“Kamu sendiri tadi yang bilang kalau kamu anaknya cengeng!”
“Meskipun nangis, aku nggak bakalan lagi nangis di depan kamu! Tadi kelepasan gara-gara udah lama nggak dihubungi sama pacar!” Vinay menjawab dengan menggebu-gebu. Tidak ingin cowok yang kini menatapnya dengan pandangan mengejek semakin memiliki banyak bahan untuk mengejeknya.
“Ya udah biasa aja! Aku kan cuma nawarin! Asal kamu tau ya, muka kamu tuh nggak banget waktu nangis! Ingus kamu kemana-mana terus mata kamu bengkak kayak marmut baru lahir! Aku udah baik nawarin biar orang lain nggak lihat wajah kucel kamu!” Levi berujar begitu lancar.
“Oke! Makasih udah perhatian sama ingus aku!” Vinay mengusap hidungnya dengan sebal.
“Makasih doang? Idih…” ejek Levi.
Vinay tak menajawab. Cewek imut itu menatap Levi dengan wajah ditekuk. Sejujurnya, dalam hati Vinay memang mengakui bahwa ia harus berterima kasih kepada Levi. Hatinya terasa lebih ringan karena telah bercerita dan menangis. Tangisan kali ini seakan melepas sebuah beban berat yang melingkupi hatinya.
“Traktir gitu kek! Kamu lupa kemarin abis ngabisin uang kembalianku buat beli jus melon?” Levi memelankan suaranya saat beberapa teman sekelasnya mulai berdatangan. Beberapa kali cowok itu membalas sapaan teman-teman yang mulai akrab dengannya.
“Yaudah, nanti aku traktir di kantin,” balas Vinay setengah tidak ikhlas.
“Jangan kantin dong, bosen. Nanti sore kamu ajak aku makan ya?” Levi memberikan opsi. Sejujurnya, selama ini Levi begitu bosan berada di rumah. Ia belum terlalu mengenal teman lain selain Vinay, Dika, dan Firman. Jika keluar bersama Dika dan Firman sudah pasti tujuannya adalah bermain game online di warnet. Dan Levi tidak terlalu menyukai situasi arnet dimana banyak anak kecil kebanyakan micim berteriak mengumpat saat kalah bermain game.
“Yaudah, sepulang sekolah kita langsung ke Ayam Cabe aja.”
“Jangan-jangan, kita pulang aja dulu. Nanti aku jemput, aku ogah keluyuran pakai baju seragam,” Levi menyahut dengan cepat.
“Kenapa?” tanya Vinay.
“Nggak suka aja, kadang orang-orang suka ngecibir anak SMA yang nggak langsung pulang ke rumah. Aku nggak suka kayak gitu, mending pulang ganti baju. Biar seger sekalian!” Levi menerangkan. Sesungguhnya, menjadi anak bontot di keluarganya membuat Levi enggan diperlakukan seperti anak kecil. Dan menurutnya, keluyuran di jalan dengan memakai seragam sekolah benar-benar terlihat seperti ia adalah anak ingusan yang labil.
“Terserah kamu deh…” pasrah Vinay.
“Ternyata bener kata kakakku, cewek itu sering ngomong terserah,” sahut Levi sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bodo amat curut…” balas Vinay yang kini meletakkan kepala di atas meja dengan malas. Mengabaikan Levi yang menekuk wajahnya masam, salah lagi kan dia.