Sementara Hyo Joo menelan ludah. Jae Kyung melihat jam yang menghiasi tangan kirinya.
"Sudah hampir 20 menit aku menghabiskan waktu denganmu," lanjut Jae kyung. Berdiri.
"Kau akan pergi? Bagaimana dengan makanannya?"
Jae Kyung menarik Dong Hoo dan memaksanya untuk duduk.
"Sekretaris Baek akan menemanimu. Jangan khawatir, dia akan membayar semua makananmu. Meskipun hanya sekretaris— tapi uang dan asetnya banyak. Kau akan suka," jelasnya dengan mengerutkan hidung. Berjalan pergi kemudian.
Hyo Joo hanya mampu mendesah kesal.
Jae Kyung selalu memberikan jawaban yang sama ketika ia bertemu wanita yang akan dipasangkan dengannya. Dia selalu menolak semua wanita yang akan mendekatinya. Dan selalu berperilaku buruk pada semua wanita itu.
Semuanya berawal ketika tunangannya menghilang 3 tahun lalu. Jae Kyung sangat mencintai tunangannya. Sampai saat ini pun, dia masih berharap wanita yang memenangkan hatinya itu untuk kembali meraih hatinya. Bahkan Jae Kyung masih mengenakan cincin pertunangannya. Setiap hari, selalu itu yang di pikirkan. Otaknya bekerja. Namun, jiwanya seakan terbang.
Dia menatap kalung dengan liontin berbentuk setengah hati saat ini. Di dalam mobil. Lamat-lamat memandangnya. Binaran sedih dari matanya, menggambarkan rasa rindu. Rasa kehilangan juga kesedihan yang sangat dalam.
Mengenang hal itu, tiba-tiba saja terbesit dalam ingatan, percakapannya bersama Hoon kemarin. Dia mengambil napas dalam-dalam dan kemudian membuang napas perlahan melalui mulut.
Sementara Hanna sedang menonton film di ruang keluarga, pada saat yang sama ponsel Hoon berdering. Namun di abaikan olehnya. Karena terlalu asik dengan film yang ia tonton. Hingga sekali lagi ponsel Hoon berdering. Hanna mendesah kesal. Mengerutkan kening. Meraih ponsel yang berada di meja kecil di samping sofa. Tertulis nama Ji Yin memanggil. Pada layar Hoon.
"Ji Yin? Siapa itu?" gumamnya. "Oppa,¹ siapa Ji Yin? Dia menelepon sejak tadi!" Teriak Hanna.
Hoon dan Ji Woon yang masih berada di dapur, saling memandang. Mata mereka kompak melebar.
"s**t! " Umpat Ji Woon.
Segera mereka berlari ke ruang tamu. Hoon segera mengambil cepat ponselnya. Gerakannya membuat Hanna terkejut. Juga merasa ada yang tidak beres. Intuisi seorang wanita selalu benar.
"Kenapa? Siapa dia?" tanya Hanna. Dengan nada kesal.
"I- itu," Hoon berakhir gugup.
"Kekasihmu yang lain?" cetus Hanna.
"Bukan seperti itu. Di-dia-" Hoon menyenggol Ji Woon. Meminta bantuan.
"Kenapa kau gugup? Sikapmu aneh sekali. Sebenarnya siapa dia?!" seru Hanna. Mulai emosi.
"Hanna, she's crazy woman!" Kata Ji Woon.
Hoon membenarkan kata Ji Woon. Mengangguk seperti orang bod*h.
"Apa maksudnya? Dia penggemarmu atau apa? Kenapa dia menelepon berulang kali?"
"I- itu- "
Hoon tidak pandai membuat alasan. Khususnya, di saat dia berada di posisi terpojok. Otaknya berhenti bekerja. Seolah-olah didalamnya, diselimuti kabut sangat tebal .
"Berikan ponselmu!" pinta Hanna, mengulurkan tangan.
Hoon hanya diam. Tetap menggenggam ponselnya.
"Tidak kau berikan? Baik. Kembalilah ke Korea!" lanjut Hanna melanjutkan. Kemudian berjalan pergi.
Hanna masuk ke dalam kamar. Membanting pintu. Dan menguncinya. Sedangkan Si pembuat masalah memejamkan mata kesal. Meremas rambutnya. Lalu, pergi menyusul Hanna. Sementara Ji Woon mendesah lemas.
"Sepertinya aku akan puasa hari ini. "
***
Hampir 1 jam Hanna mengunci diri di kamar. Sebanyak apapun Hoon merajuk— meminta maaf, namun tetap di abaikan oleh Hanna. Ia terus duduk di ranjang. Melipat kedua tangannya di d**a. Kesal terhadap sikap Hoon, yang seolah menutupi sesuatu.
"Hanna.. Dia bukan siapa-siapa. Percayalah," kata Hoon, dari luar kamar. Mengetuk pintu.
Hanna masih tidak merespon. Sementara, cacing di perutnya sekarang mulai bergerilya.
"Lapar sekali," gumamnya, mengusap perutnya.
Untuk sesaat ia memandang koper Hoon—yang isinya belum di bongkar olehnya. Ia mendekati dan membukanya kemudian. Hanna mengeluarkan beberapa pakaian Hoon. Berharap menemukan camilan.
"Ah! Tidak ada!" gerutunya.
Di sisi lain koper, sebelah peralatan mandi Hoon, ia melihat sebuah kotak hitam kecil. Keningnya berkerut kemudian. Membuka kotak. Dan, tersenyum melihat isinya.
"Cantiknya."
"Hanna! Ayam goreng datang!" Ji Woon berteriak.
Hanna lalu melirik pintu. Menghela napas. Tidak ingin keluar kamar. Sialnya, Sang perut tak bisa di ajak kompromi.
"Hanna.. Hanna," Ji Woon terus memanggil Hanna, sambil mengetuk pintu. Seperti anak kecil yang mengajak temannya bermain.
Hanna akhirnya menyerah. Membuka sedikit pintu. Mengintip ke luar.
"Kau membeli ayam goreng?
"Ya. Cepat keluar. Aku lapar," rajuk Ji Woon. Tersenyum. Menunjukkan sederet gigi rapinya.
Hanna keluar kamar kemudian. Ji Woon berjalan terlebih dahulu. Di meja depan tv, sudah tertata beberapa kotak ayam goreng dan beberapa kaleng soda. Hanna berdecak melihatnya.
"Pasti lezat."
Setelah mengatakan itu, ia mengedarkan pandangan. Mencari sesuatu. Hoon tiba-tiba datang dari belakang dan memeluk Hanna.
"Kau mencari ku?" bisik Hoon.
Hanna yang sedikit terkejut, tersenyum kecil.
"Tidak! Untuk apa aku mencari mu," dalih Hanna. Melepaskan tangan Hoon yang melingkar di perutnya.
Kemudian berjalan pergi. Hoon mendengus dan tersenyum. Menggelengkan kepala melihat perilaku Hanna.
Hanna duduk di samping Ji Woon yang sedang mempersiapkan piring. Membuka kotak yang berisi ayam goreng. Hoon duduk di samping Hanna.
" Oppa¹), kau membeli ini untukku?" tanya Hanna. Menunjukkan sebuah pita rambut hitam dihiasi dengan beberapa berlian yang melingkar pada satu titik.
Hoon menatapnya dan mengerutkan kening.
"Tidak. Darimana kau mendapatkan itu?"
"Dari koper mu," kata Hanna. Kemudian mendesis heran. "Aneh sekali. Lalu milik siapa ini?"
Ji Woon sekilas melirik Hanna dan melihat pita rambut itu. Untuk sesaat ia menghubungkan alisnya, kemudian matanya melebar. Ji Woon terkesiap.
"Hoon! Apakah kau lupa menyuruhku membelinya untuk Hanna?" pungkas Ji Woon. Tertawa canggung.
Hanna berpaling ke Ji Woon. Sementara Hoon bergeming. Menatap Ji Woon.
"Benar Oppa¹?" Hanna kembali menatap Hoon.
Ji Woon mengisyaratkan jika pita rambut itu milik Ji Yin.
"Kita akan mati! Tolong," Ji Woon memohon, tanpa suara.
"Ah, aku baru ingat! Ya. Aku membelinya, " Kata Hoon. Tertawa canggung.
"Cih. Kenapa kau menjadi pelupa?"
"Entahlah. Mungkin karena hanya kau yang aku pikirkan setiap hari," rayu Hoon.
Sementara Ji Woon mengusap dadanya. Bernapas lega.
"Terima kasih. Ini benar-benar cantik."
"Berikan padaku. Aku akan mengikatnya pada rambutmu."
"Apa kau bisa?"
"Akan aku coba."
Hoon mengikat rambut Hanna dengan pita rambut itu. Meskipun, agak berantakan, tapi setidaknya dia mencoba untuk membuat Hanna bahagia dengan melakukan hal-hal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Hanna.
Ini semua karena cinta. Kita mampu melakukan hal yang sangat sederhana sekalipun, jika itu mampu membuat pasangan kita bahagia. Begitu juga Hanna. Dia mengalahkan egonya, karena terlalu mencintai Hoon. Seperti itulah cinta. Bekerja seperti sihir.
¹) Oppa : Sebutan untuk kakak laki-laki/ kekasih.