Hanna memang hobi makan. Tapi ia tidak pandai memasak. Dan, ia tak pernah menyadari hal itu. Pernah suatu hari, Hoon minum kopi buatan Hanna. Dan, berakhir di rumah sakit. Karena diare berkepanjangan. Alasannya adalah Hanna tidak memberikan gula dalam kopinya, sebaliknya ia mencampurnya dengan garam yang dianggap sebagai gula.
"Ah, iya—Hoon, kau tidak ingin kunjungi perusahaan mu? Bukankah mereka membuka anak cabang di Indonesia? "
"Kata siapa aku memiliki perusahaan. Aku hanya atlet biasa," jawab Hoon. Mengisi panci dengan air.
"Aku dengar, mereka akan meluncurkan produk baru."
" Benarkah? Tidak ada urusan denganku."
Hoon telah memutuskan tali merah antara dirinya dan Dalmoon corp,. Alasannya sederhana, dia tidak ingin bertemu dengan Ibu tirinya. Selama hidup dengan Ibu tirinya, tidak pernah ada memori indah yang tercipta. Pernah beberapa kali Jae Kyung mencoba merayu Hoon untuk datang kembali dan memimpin perusahaan bersamanya. Tapi, kolotnya pemikiran Hoon— membuat keputusannya tegas. Dia takkan melibatkan diri pada perusahaan yang di dirikan oleh Sang Ayah. Lagi.
Seperti kata Ji Woon, Dalmoon corp,. sedang mempersiapkan untuk peluncuran produk baru. Adalah Parfum eksklusif.
Direktur Jae Kyung memimpin rapat di kantornya hari ini. Terlihat dari cara dia duduk saja nampak bermatabat. Semua tunduk padanya. Tak ada yang mampu membantah setiap kata yang sudah keluar dari mulutnya. Banyak yang kagum dengan dirinya. Tidak pernah mengecewakan karyawannya. Selalu membuat makmur semua yang bekerja untuknya.
"Mengapa target kita Negara Indonesia? Kenapa tidak di Negara kita terlebih dahulu?" Pria kepala botak di bagian depan, dengan syal kuning sebagai penghias setelan jas santainya, bertanya. Pemegang saham 15%.
"Persentase konsumsi parfum di Indonesia mencapai 85%. Hampir semua orang di Indonesia sangat menyukai parfum. Tentu, akan di luncurkan di sini terlebih dahulu. Karena itu akan menjadi daya tarik target pembeli kita. Setelah berhasil dipasarkan di Indonesia, maka aku yakin kita akan dengan mudah memasuki pasar Dunia di beberapa Negara," Jelas Jae Kyung.
"Tapi, apakah kau yakin kita akan berhasil di Indonesia?" wanita dengan potongan rambut bob— warna bibir yang selaras dengan warna jas serta roknya. Merah menyala. Pemegang saham 20%. Bertanya.
"Tentu. Sangat yakin."
"Tapi, kenapa diberi nama E.L? Apa artinya?" Pria dengan jenggot putih selaras dengan warna rambutnya. Mengenakan topi bundar. Kacamata kotak. Pemegang saham 15%.
Jae Kyung tersenyum sejenak.
"Everlasting Love," katanya. Aroma parfum yang menyengat di awal, dari waktu ke waktu akan menjadi lembut dan aroma tidak mudah hilang. Seperti kita mencintai seseorang. Satu. Selama-lamanya."
35 menit berlalu. Rekor rapat paling singkat. Biasanya, jika Jae Kyung sudah naik pitam karena kinerja para bawahannya, rapat akan selesai dalam waktu 2 jam. Itupun karena sekretarisnya yang menyela. Agar meredam amarahnya. Dan, menyudahi rapat tersebut. Jika tidak, bisa seharian mereka duduk di ruang rapat.
Jae Kyung kembali ke ruangannya. Duduk di kursi. Menyeruput kopi yang sudah dingin.
"Sekretaris Baek, apa kau sudah mempersiapkan tempat tinggal selama aku berada di Indonesia?"
"Ya. Saya sudah memesan kamar hotel untukmu."
Jae Kyung berpikir sejenak. Mengetuk jari telunjuknya pada meja. Berulang.
"Lebih baik kau membeli rumah atau villa untukku. Mendengar kata hotel, rasanya seperti penjara bagiku. Dan, tolong buat pemandangan rumahnya senyaman mungkin. Kau tahu, kan kesukaanku?"
"Siap. Saya akan mengaturnya."
"Terima kasih. Kau boleh pergi."
Dong Hoo berbalik. Diam sejenak. Kemudian kembali menghadap Jae Kyung. Bibirnya seolah akan mengatakan sesuatu. Tapi, takut mengucapkannya.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Jae Kyung, sembari menandatangani beberapa berkas.
"Itu.. Nyonya menghubungiku. Dia memberi perintah agar-"
" Mari kita pergi," Sela jae Kyung, bangkit dari kursinya.
"Maaf?"
"Ibu menyuruhku untuk pergi kencan buta lagi bukan?"
Dong Hoo mengangguk gugup. Choon Hae. Nama Sang Ibu— sangat menyayangi Jae Kyung. Kesibukannya akhir-akhir ini adalah menjodohkan anak semata wayangnya dengan wanita yang memiliki derajat sama dengan dirinya. Choon Hee sangat pemilih dan angkuh. Apapun keputusannya, tidak ada orang yang berani menentangnya. Sama seperti Jae Kyung. Jika ada yang berani menghentikannya, bisa dikatakan dia sedang membuat jalan untuk pergi ke surga lebih awal.
"Kau akan di maki habis-habisan olehnya. Dan, gajimu akan di potong lagi. Aku tak mau itu semua terjadi."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Dong Hoo, melebarkan mata.
"Hei, aku ini bos yang perhatian. Kau tak tahu?"
Dong Hoo tersenyum singkat.
"Aku tidak apa-apa. Karena ini sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku."
"Hei, kau ini sekretarisku. Bukan sekretaris Ibu. Dia tak berhak melakukan itu padamu," pungkas Jae Kyung. "Kau terlalu banyak membantuku. Sekarang giliranku untuk menolongmu," lanjutnya. "Di restoran mana kali ini?"
Setelah percakapan singkat itu, keduanya berangkat ke tempat pertemuan yang sudah di atur oleh Choon Hee. Menghabiskan 45 menit perjalanan. Mobil Jae Kyung tiba di tempat tujuan. Restoran steak mewah. Jae Kyung segera keluar. Merapikan jas. Kemudian, mengitari mobil dan membuka pintu pengemudi.
"Kenapa membuka pintu saya?" tanya Dong Hoo. Sedikit menengadah. Menatap Jae Kyung.
Jae Kyung menekuk punggung. Kedua lengannya bertumpu pada sisi pintu. Kanan dan kiri.
"Cepat turun. Ikut denganku. "
" Tapi- "
"Ini titah Rajamu, anak muda," canda Jae Kyung. Yang akhirnya di turuti oleh Dong Hoo.
Keduanya masuk ke restoran. Jae Kyung mengedarkan pandangan segera. Seorang wanita mengenakan pakaian glamor dan seksi—melambai padanya. Jae Kyung mengangguk samar. Tersenyum pada wanita itu. Dan mendekatinya. Dong Hoo mengikuti dari belakang.
"Direktur Jae Kyung Choi?" Tanya wanita itu.
"Panggil saja Jae Kyung."
"Baiklah. Saya-"
"Hyo Joo Choi. Putri kedua dari pemilik grup perusahaan X. Kau baru saja menyelesaikan studi seni di luar Negeri. Golongan Darah O. Tinggi 158 cm. Berat badan 45 kilo."
Wanita itu terhenyak.
"Bagaimana kau tahu serinci itu tentangku?" Wanita itu tersenyum. Menopang dagunya dengan anggun.
"Bukan aku. Tapi dia," jawab Jae Kyung, menunjuk Dong Hoo yang berdiri di belakangnya.
"Ah, begitu. Tapi.. siapa dia?"
"Dia adalah Dong Hoo Baek. Sekretarisku. Dalam perjalanan kemari, dia menjelaskan semua itu kepadaku. Sepertinya, dia menghapalnya."
Hyo Joo mengangguk canggung.
"Boleh aku duduk?" Tanya Jae Kyung.
"Ya. Silakan. Tapi.. apakah ia harus berdiri di sana? Dia tidak menunggu di luar?"
Sementara Dong Hoo berdeham gugup. Dong Hoo memang tidak setampan Jae Kyung. Tapi dia sangat karismatik . Meskipun matanya tajam seperti elang dan wajahnya selalu dingin dan kaku— tapi dia memiliki hati yang hangat dan pribadi baik.
"Dia? Biarkan saja."
"Baiklah," kata Hyo Joo. "Ah, iya. Kau suka berolahraga?"
"Saya? Tidak juga. Tapi, Dong Hoo setiap hari Jumat pergi ke gym dan Sabtu ia selalu berenang. Meskipun dia tampak kurus. Tapi, tubuhnya sangat atletis. Lebih dariku."
Hyo Joo mengangguk. Tersenyum kikuk.
"Apakah kau suka dengan steak? Atau makanan apa yang paling kau sukai?"
"Tidak juga. Tapi, Dong Hoo sangat menyukai daging. Setiap makan dia- "
"Maaf. Mengapa kau selalu menjelaskan tentang dirinya? Bukankah Ini kencan kita? Kau harusnya menjelaskan tentang dirimu. "
Jae Kyung mendengus dan tersenyum di saat bersamaan.
"Itu hanya membuang-buang waktu. Saya yakin kau sudah tahu semua tentangku."
"Tapi, ceritakan tentang kau jauh lebih dalam. Bukankah kita harus saling mengenal? "
"Kau akan menyesal jika tahu tentangku."
"Hei, tidak mungkin. Katakan padaku."
Jae Kyung mengangguk pasti.
"Kau tahu, aku terlahir dengan nasib buruk," kata Jae Kyung.
Hyo Joo menautkan alisnya.
"Ayahku meninggal saat dalam perjalanan menjemputku ke sekolah. Kekasihku meninggal karena tersedak—saat makan malam denganku. Ayah tiriku meninggal karena keracunan. Dan terakhir.. Kau pasti sudah pernah mendengar tentang tunanganku. Bagaimana? Kau masih ingin bersamaku?" Jae Kyung tersenyum menggoda.