Chapter 3

1220 Kata
Sapa tidak ya... David bergumam dalam hati. Saat ini lelaki itu masih berada dalam ruang kantornya. Menyangga dagu sembari sesekali melirik ponselnya. David mengacak rambutnya, kenapa ia harus pusing seperti ini hanya untuk mengucapkan terima kasih. Mungkin benar kata Senna, David hanya perlu berterima kasih dengan sopan, untuk masalah uang bisa ia pikirkan belakangan. Ya, yang paling penting adalah David harus berkenalan dengan Zealisa langsung. Mungkin lebih baik jika perempuan itu mengenalnya sebagai David lebih dulu sebelum mengenalnya sebagai atasan di tempat kerja. Jika Zea mengenalnya sebagai boss lebih dulu, dapat ditebak bahwa perempuan itu akan sangat canggung. David menepuk tangannya. Kebiasaan saat menemukan jalan keluar dari permasalahannya. "Oke... sekarang adalah hari yang tepat untuk mengucapkan hai." David berdiri dari duduknya dan sengaja melepas jas yang melekat di tubuhnya hingga menyisakan kemeja yang tidak terlalu mencolok. Lelaki itu keluar dari ruangan dengan sedikit mengendap. David tidak tahu alasan mengapa dia mengendap seperti ini, namun David tetap melakukannya. Ruangan kantor di perusahaan David memiliki jendela besar setengah badan yang bisa membuat semua orang melihat isi ruangan dari luar. Hal itu memang sengaja David lakukan agar ia bisa memantau hanya dengan sekali jalan. David tidak bisa terus-menerus berada di kantor karena pekerjaannya sebagai aktor. Untung saja David memiliki tangan kanan yang bisa diandalkan. David sudah mondar-mandir tiga kali di depan ruangan staff keuangan. Namun lelaki itu belum juga mendapati Zea di sana. Rasanya David gatal ingin bertanya, namun ia tidak ingin menimbulkan gosip di kalangan pekerjanya. "Kemana perempuan itu," gerutu David. Ia merasa kecewa lantaran sudah menyiapkan jiwa dan raga, tetapi orang yang ia cari tidak ada. Bukankah seharusnya perempuan itu ada di ruanganya. David kemudian terdiam dan membelalakkan matanya saat melihat orang yang ia cari tengah berjalan dengan dua kotak kopi di tangan kanan dan kirinya. David diam dan mengamati Zea. Jantungnya berdetak lebih cepat saat perempuan itu melewatinya. Rasa heran langsung menghampiri David. Bagaimana bisa Zea melewatinya tanpa menoleh sedikitpun. Apakah saat ini David berubah menjadi transparan? "Hei!" panggil David tanpa pikir panjang. Zea nampak terkejut dan membalik matanya. Perempuan itu lantas menatap sekeliling, untuk memastikan apakah benar dirinya yang dipanggil lelaki dalam jarak beberapa meter darinya itu. "Aku?" tanyanya dengan suara pelan dan penuh keraguan. David mengernyit. "Ya, kau... Hai..." David mengangkat tangannya dengan canggung. Ia kemudian menarik senyum untuk menampilkan wajah paling tampannya. Namun, tak ada perubahan di wajah Zea. Perempuan manis itu masih menatapnya bingung dengan sedikit... takut? David hendak melangkahkan kakinya mendekat, namun terhenti saat Zea lebih dulu memundurkan tubuhnya dengan gelagat yang membuat David seperti jelmaan monster. "Kenapa?" tanya David secara spontan. Zea mengerjapkan matanya dan menggeleng dengan cepat. David memutuskan untuk melangkah dan kali ini ia lebih tercecang lagi. Zealisa Gerwyn lari. Benar-benar lari menjauhinya. David membuka mulutnya lebar, tidak percaya dengan apa yang ia alami saat ini. "Ini adalah perkenalan paling buruk dalam sejarah hidupku," ucap David merutuki nasibnya. Lelaki itu lantas setengah berlari memasuki toilet di sana. Menatap cermin besar hanya untuk memastikan sekiranya apa yang membuat Zea lari darinya. Tak ada yang aneh dalam diri David. Ia masih tampan meskipun dalam pencahayaan remang-remang. Dalam tubuhnya juga tidak ada zat hitam yang bisa merubahkan menjadi monster. Lantas, apa yang membuat Zea lari darinya? *** "Kapan kau akan masuk kantor? Ellard bilang jadwalmu tidak terlalu padat." David menarik napas dalam ketika mendapat panggilan dari Joe, tangan kanannya di perusahaan. Lelaki itu terus-terusan mengomel karena David tidak datang ke kantor lebih dari satu minggu. David bahkan melewatkan acara penyambutan pegawai baru. "Aku akan datang jika aku sudah selesai menyelesaikan masalahku," David menjawab dengan setengah hati. "Kau ada masalah apa? Yuri lagi?" David berdecak saat tiba-tiba Joe menyebut nama mantan kekasihnya. "Kenapa kau berpikir ini tentang Yuri?!" kesalnya. "Dulu waktu patah hati kau tiba-tiba menghilang dari peradaban. Sekarang juga begitu. Kupikir kau patah hati lagi." "Aku tidak patah hati!" David berucap setengah berteriak. "Biasa saja, kenapa marah-marah." "Aku tidak marah!" "Oke terserah kau saja. Bagaimanapun juga lusa kita ada pertemuan dengan klien. Jika kau tidak datang, ucapkan selamat tinggal pada tender. Ingat, perusahaanmu ini masih tergolong baru. Masih mudah goyah." "Iya, iya. Maafkan aku. Aku hanya sedikit frustasi. Aku akan datang besok." David berujar dengan sedikit rasa bersalah. Ia kemudian menutup teleopnnya. David sadar bahwa ia mengabaikan pekerjaan kantornya. Kejadian satu minggu yang lalu masih mengganggu David. Dan karena alasan itu, satu minggu ini ia benar-benar menjadi stalker. David tidak memasuki kantor tetapi ia selalu membuntuti Zea sepulang kerja. "Dia masih menyapa semua orang dengan senyuman. Kenapa dia takut padaku," gerutunya lagi. "Penjual daging itu bahkan lebih terlihat menyeramkan dariku." Lelaki yang tengah bersembunyi di belakang pohon seberang jalan raya dengan masker dan topi itu mengamati bagaimana interaksi Zea dengan sang penjual daging. Mereka berbincang dengan akrab dan Zea tersenyum hingga kelopak matanya menyipit. David juga ingin mendapatkan senyum itu. Bukan tatapan takut dengan kening berkerut. David mencoba berpikir. Ia adalah lelaki cerdas dengan IQ diatas 140. Ia bisa membuat perusahan pakaian di negara besar seperti London. "Berpikir David... Kau akan mati penasaran jika membiarkan hal ini..." bisik David pada dirinya sendiri. Lelaki itu lalu bertepuk tangan satu kali saat menemukan ide cermelang. "Benar... aku harus melakukan cara itu!" *** Hari ini udara cukup dingin. Musim semi sudah tidak tetapi hawa musim dingin masih tertinggal. Zea mengambil jaketnya yang paling tebal, menatap adik perempuannya yang sibuk belajar. "Ren, aku mau keluar. Mau sesuatu?" tanya Zea yang membuat adiknya mengangkat kepalanya. Ren nampak berpikir, lalu sedetik kemudian ia menggeleng. "Mau kemana?" tanyanya penasaran. "Tadi sore Bibi Michael membuat kue, ia menyuruhku datang saat malam untuk mencicipinya. Aku akan membawakannya untukmu," ujar Zea pada adiknya. "Kau jangan terlalu banyak belajar," Zea menatap adiknya dengan cemas. "Aku harus mendapatkan beasiswa untuk kuliah," jawabnya. Zea menarik napas dan memasuki dapur. Zea kemudian kembali kearah Ren dengan teh hangat di tangannya. "Kau jangan terlalu cemas. Meskipun kau tidak mendapatkan beasiswa, aku masih bisa membayar uang kuliahmu. Aku sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus." "Aku harus membantumu. Terima kasih tehnya," ujar Ren. Zea menghela napas berat. "Bermainlah dengan teman-temanmu. Dan juga carilah kekasih, kau harus memanfaatkan masa mudamu dengan baik." Ren tersenyum mengejek. "Kau juga harus melakukan hal yang sama, Nona..." "Aku pergi!" gerutu Zea berjalan menuju pintu. "Jangan berbincang dengan orang asing! Apalagi gelandangan!" seru Ren mengingatkan kakaknya. Perempuan satu itu punya kebiasaan yang sangat mencemaskan. *** Zea berjalan dengan pandangan yang mengedar menatap kesibukan kota London pada malam hari. Malam ini dingin dan udara terasa lembab. Zea tersentak saat mendengar suara batuk yang keras. Perempuan itu menoleh kearah samping untuk menemukan seorang gelandangan dengan jenggot panjang dan rambut awut-awutan hampir menutupi seluruh wajahnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Zea mendekati gelandangan itu dengan langkah perlahan. Gelandangan itu kembali terbatuk dan membuat Zea cemas. "Apa kau sakit?" tanyanya lagi. Gelandangan itu menggelengkan kepalanya. "Haus," ucapnya dengan suara serak. "Oh! Kau haus? Aku akan membelikan minuman. Kau tunggu disini ya, mister..." ucap Zea yang kemudian segera berdiri dari duduknya. Meninggalkan gelandangan yang kini tersenyum senang. "Ternyata cara ini benar-benar efektif," ucap gelandangan itu. Manik mata cokelatnya memandang kearah Zea yang berjalan setengah berlari memasuki sebuah toko. "Dengan gelandanan saja ia tidak takut, kenapa ia justru takut padaku? Haiiss... aku tidak menyangka benar-benar melakukan ini!" gumamnya dengan kesal. Sekarang kita tahu siapa gelandangan itu kan? *** Vote dan komennya ditunggu wahai anak cucu Reynand!!!                      Kenalan sama Alan yuk!! EXO aja udah punya banyak! wkwkwk
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN