Tidak ada satupun dari mereka yang menyelamatkannya.
Pandora harus mengencangkan pikirannya dari gagasan Alaric atau siapa pun bergegas membantunya pergi dari kekacauan. Dirinya benar-benar kaku, canggung dan ingin mati karena baru saja membuat keributan. Bangsawan berkalung mutiara itu tidak pernah berhenti menghardik. Membawa kasta mereka yang berbeda dan bagaimana Pandora akan kesulitan jika terus memantapkan tujuan menikahi seorang pangeran. Hidupnya akan terus menderita. Dan mungkin akan berlangsung selamanya.
Ini bukan negeri dongeng! Perempuan itu lantas mencela lagi sebelum mundur, pergi dengan dagu terangkat. Seolah puas baru saja melontarkan cacian pada dirinya yang kerdil.
Bisik-bisik menggema. Sementara Pandora baru bisa memandang para tetua yang bertubuh pendek dan tidak perlu memasang wajah ramah sedikitpun. Mereka menatapnya sinis. Pandora bagaikan benda asing yang patut dicurigai muncul dari planet lain.
"Ow, aku tidak melihatmu. Apa kau baru saja menumpahkan isi anggur ke gaun Nyonya Whitney? Astaga. Aku sangat malu melihatnya mengomel."
Pandora berpaling. Melihat perempuan seusianya menyunggingkan senyum puas yang kentara. Matanya mengerjap basah. Mencoba mengusir rasa malu ini dengan menaruh gelas, dan berharap musik segera bermain atau dirinya terus terkurung dalam suasana tegang.
"Tidak apa. Para bangsawan memang suka bermain-main. Begitu, kan?"
Ia harap sarkasme itu cukup bagus untuk membungkam mulut semua orang terhadapnya. Pandora tidak punya kekuatan untuk melihat keluarga Alaric. Karena secara tidak langsung, dia membuat mereka malu.
Pandora pergi melintasi aula dan melepas kedua heels menyebalkan untuk berlari. Menyeka air mata yang terlanjur menumpuk di sudut dan bergegas mencari gudang untuk menangis.
"Pandora?"
Suara Ellie bergema. Dan Pandora sama sekali tidak ingin berhenti. Dia tidak mau membuat Ellie cemas. "Pandora, berhenti. Kau mau ke mana?"
"Oh?"
Penata rias baik hati itu terkejut melihat sekelebat bayangan Pandora melintasi lorong. Dia dengan cepat bangun, melirik dan benar-benar melihat Pandora kabur dari pesta seperti Cinderella yang terluka.
"Apa yang terjadi?" tanyanya pada Ellie yang gelisah.
"Bangsawan mengacau. Mempermalukannya di depan umum. Aku sangat kesal. Pandora terluka dan tidak ada yang menolongnya."
"Tuhan, hancurkan saja rumah mereka yang berlaku semena-mena."
Ellie mencoba mengejar dan wanita itu menarik tangannya. "Biar aku yang urus. Aku senggang sekarang. Pergilah untuk tuntaskan pekerjaanmu."
"Kau bisa?"
"Hanya berharap bisa membantunya membebaskan diri dari rasa bersalah. Untuk sementara." Wanita itu memakai sepatunya dan menyusul Pandora pergi.
"Oh, ya Tuhan. Serius? Kau menangis di gudang sempit ini?"
Setelah mencari dan mengikuti insting lalu mendengar suara isakan, Pandora bersembunyi di antara barang-barang yang tidak terpakai dan terbungkus plastik. Menekuk lutut dan membiarkan sepatu cantiknya tergeletak di atas lantai. Menangis dengan isakan lemah karena tidak lagi sanggup.
"Aku malu sekali. Air mata ini seharusnya tidak ada. Tapi aku ingin menangis." Pandora menyeka hidung. Mencoba mengusap air mata dengan telapak tangannya sendiri. "Mereka menontonku. Tidak segan melemparkan tatapan mencela. Apa aku sehina itu?"
"Aku belum memperkenalkan diri," wanita itu bicara setelah ikut duduk di sebelah Pandora. "Nakia namaku. Aku berasal dari ras kulit hitam pedalaman Afrika. Ibuku menikahi seorang bule berkulit putih yang terperangkap di sebuah pulau."
"Ibumu nelayan?"
"Ya." Nakia meringis. "Nelayan ikan. Aku tidak pernah percaya cinta selain yang hadir dari kedua orangtuaku. Mereka sangat manis dan serasi. Sangat acuh pada hinaan dunia."
Pandora mendapati dirinya sedikit terhibur.
"Ayahku asli dari Damais. Dia keturunan murni. Kakekku seorang penjahit dan nenekku pedagang buah. Tetapi kehidupan mereka makmur karena sukses."
"Mereka mencelamu?"
"Tidak sama sekali. Mereka mencintai perbedaan. Ibuku bahagia. Dan, yah, orang-orang di sekitar menganggap keluarga ayahku menyimpan aib. Kau tahu, sistem rasisme masih terbalut kental."
Nakia mendengus. "Bukan hal baru kalau kerajaan sangat sensitif dengan kedudukan dan ras."
"Aku seorang kurator buku," kata Pandora. "Aku belajar banyak hal tentang kerajaan ini. Dan banyak kerajaan lain yang menyimpan aturan sama. Pernikahan setara sangat diperlukan untuk tidak melenyapkan keturunan murni."
"Oh, itu menyebalkan." Bola mata cokelat Nakia berputar bosan. "Aku bekerja keras sampai bisa menempati posisi baik ini. Ayahku sangat bangga. Dan aku anak tunggal."
Pandora tersenyum. "Orangtuaku pergi karena kecelakaan pesawat saat usiaku lima tahun. Aku diurus ayah baptisku dan dia seorang pedagang."
"Kau punya ayah baptis?"
"Ya, kerabat dekat." Pandora meringis. "Tidak lama pergi dan aku diurus adiknya. Paman Laito seperti keluarga bagiku."
Nakia memberi senyum. "Aku suka mendengar kehidupan orang lain yang bahagia. Perbedaan pada dasarnya tidak menyurutkan harapan orang lain. Mereka punya hak. Tapi mungkin tidak terlalu berlaku untuk kerajaan."
"Apa mereka juga mencacimu?"
"Sebagian besar, ya. Kecuali Putri Laura. Aku bisa melihat asistennya tidak suka padaku."
"Ilama?"
"Aku tidak terlalu peduli. Yang membayarku calon ratu, bukan pembantu itu." Nakia mendesis dan Pandora tersenyum.
"Aku menumpahkan gelas minuman. Seseorang mendorongku dari belakang dan aku lengah. Kemudian semua terjadi begitu saja. Bangsawan itu histeris dan semua orang diam. Memandang ke arahku."
"Itu konspirasi yang sudah mereka rencanakan," kata Nakia datar. "Terutama karena tahu kau bukan dari golongan atas. Mereka akan mencari cara untuk mempermalukanmu."
"Pangeran juga sama sekali tidak membantu."
Bibir Nakia terkatup. "Aku turut berduka. Mungkin kalian sama-sama syok dan tidak bisa menyangka kejadian ini akan terjadi secara cepat."
"Yah, aku sudah menangis. Perasaanku sudah sedikit lega." Pandora meluruskan kaki, menarik napas dan membuangnya kasar. "Aku harus belajar menguatkan diri mulai dari sekarang."
"Masuk ke golongan mereka tidak mudah. Tetapi kalau kau berhasil, kedua jempol kuberikan untukmu. Kau akan menjadi sangat luar biasa."
Pandora tertawa lemah. "Aku berharap tidak memberi inspirasi pada siapa pun. Dongeng itu hanya untuk cerita pengantar tidur, bukan realita."
"Pahit." Nakia mendesis dan keduanya sama-sama tertawa.
"Gaun ini sangat cantik. Aku minta maaf karena mengacau."
"Tidak, buatmu saja." Nakia bangun, membantu Pandora untuk bangkit. "Aku punya model serupa. Tidak sulit mencari gaun sekarang karena Putri Laura punya koneksi. Santai saja."
"Kau serius?"
"Seratus persen. Simpan ini untukmu sendiri," tukas Nakia ramah. Menghela Pandora untuk memperbaiki gaunnya meski tidak ada keinginan untuk kembali ke pesta.
Pandora melangkah. Menunduk menatap kakinya yang terbuka. "Aku akan menghapus riasan. Sepertinya tidur adalah jawaban. Omong-omong, sepatunya sangat cantik."
"Kau mau?"
Rautnya menampilkan ekspresi meringis. "Tidak. Aku bisa saja jatuh karena terlalu tinggi. Tapi ini luar biasa. Aku sangat berterima kasih padamu."
"Sama-sama. Senang mengenalmu, Yang Mulia."
"Oh, astaga." Pandora tertawa. Terkesan dengan candaan Nakia dan berharap bisa bertemu wanita itu di masa depan.
Sementara Ellie masih menanti dengan cemas. Suasana sudah berubah secepat itu ketika Pandora memilih pergi. Seolah tidak ada yang terjadi di aula besar tadi sebelumnya.
"Pangeran? Anda perlu sesuatu?"
"Ellie," ucapnya dengan desahan panjang. "Tidak ada. Apa Pandora baik-baik saja?"
"Ya, kurasa. Dia butuh tidur."
"Oh, bagus. Dia harus istirahat. Lanjutkan pekerjaanmu, Ellie."
Kepala Ellie terangguk. Bergeser untuk memberi ruang agar Pangeran Dimitri bisa melintasi koridor dan kembali ke pesta secepatnya.
***
"Pangeran Alaric menemuimu?"
"Tidak."
Ellie mengangkat alis. "Kau yakin? Siapa yang menemuimu?"
"Tidak ada. Untuk merasa simpati atau apa?" Pandora mendongak, menatap Ellie datar. "Tidak ada satupun. Aku juga tidak terlalu peduli. Lagi pula, harga diri mereka terlalu tinggi. Aku bukan yang sepadan."
Ellie menghela napas. Memandang Pandora yang sibuk membaca di tengah kesibukannya belajar dasar-dasar untuk menjadi seorang Duchess. "Kau akrab dengan Nakia?"
"Dia orang baik. Orang-orang melihatnya seperti aib hanya karena bukan dari tempat yang sama dengan kita." Pandora menengadah, mencari buku lain dari rak dan kembali duduk. "Yah, tidak kaget. Semua orang juga bersikap sama hanya karena kasta berbeda. Orang miskin akan selamanya dianggap sebagai benalu."
Lidah Ellie terasa kaku. Pandora bicara kebenaran. Mereka mungkin terlahir sama dengan mereka di sini. Hanya saja kasta yang membedakan. Meski ini zaman modern, kasta masih sangat diagungkan. Ajaran leluhur tidak akan mudah dihapuskan begitu saja. Perlu pertimbangan panjang.
"Madam Ellie?"
"Ya?"
"Kepala koki mencari Anda."
"Oh, ya Tuhan. Aku hampir lupa." Ellie melambai pada Pandora dan bergegas pergi. Membawa dirinya berlari bersama anak buahnya pergi ke dapur secepatnya.
"Terus-menerus memasang senyum di depan kamera?" Pandora mendesis. "Mereka pikir aku robot atau boneka barbie?"
Kemudian menemukan tulisan di alinea keempat. Lagi-lagi membuat matanya memutar bosan. "Tidak boleh memberi tanda tangan sesukanya. Karena mencegah hal-hal yang tidak sepatutnya. Anggota kerajaan rawan penyalahgunaan tanda tangan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab."
"Kau sibuk?"
"Ya." Pandora tidak perlu mendongak untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara sekarang. "Ada apa?"
"Apa begini sambutanmu?"
Gadis itu menarik napas. Gagasan ingin mendorong pria itu pergi dari perpustakaan ada. Sayangnya, dia merasa bukan siapa-siapa bersama posisi yang selalu dielu-elukan keluarga berdarah biru lain. "Anda perlu sesuatu, Yang Mulia?"
"Kau melarikan diri dari pesta semalam."
Gerakan tangan Pandora berhenti pada secarik kertas. Kedua matanya memicing, menatap kancing kemeja bawah milik Alaric dalam diam.
"Aku tidak tahu kalau kau benar-benar mengecewakan. Kupikir kau bisa menghadapi mereka dengan tangan terbuka."
"Anda mengharapkan keributan seperti di ring tinju?" Sarkasme tidak lagi bisa terpendam lama. Pandora mendengus, memainkan kaki di bawah meja karena jengkel. "Aku tidak merasa itu perlu. Biar saja."
"Mereka tentu membicarakanmu. Itu hal biasa yang terjadi di antara kami. Kalangan atas gemar bergosip. Sama seperti kalangan kalian."
"Aku tidak," tukas gadis itu dingin. "Pengecualiannya adalah aku."
"Aku datang untuk bicara sesuatu."
"Oh, aku lupa mencari referensi kesimpulan ini. Sebentar." Pandora bangun dari kursinya, menahan agar pangeran bungsu itu tidak bicara sampai dirinya menyelesaikan pekerjaan. Lalu melesat pergi. Mencari buku yang ia cari dan kembali ke tempat duduk. "Anda ingin bicara apa?"
"Lupakan."
Kerutan samar muncul di keningnya. "Oke, kalau begitu."
Pangeran Alaric berbalik pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Yang membuat Pandora penasaran. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Karena setelah melihat sosok mengintimidasi itu pergi, dirinya kembali larut dalam pekerjaan. Tidak lagi memedulikan sekitar.
***
Laito mengurut pelipisnya. Tiba-tiba berdenyut semakin keras saat melihat Pandora, keponakan yang ia sayangi berubah muram. Pandora semakin kurus atau ini hanya perasaannya saja. Ditemani Ellie yang bisa menjaga Pandora selagi dirinya tidak ada. Laito dilanda cemas. Bagaimana Pandora di Cornelia nanti?
"Aku baik-baik saja, paman." Pandora mengembuskan napas. Menjahit piyamanya yang sobek. "Tidak ada sesuatu yang perlu kau cemaskan untuk saat ini."
"Ellie bercerita padaku. Bangsawan itu menghinamu." Laito mendengus kesal. "Apa begitu cara mereka menerimamu?"
"Mereka tidak akan pernah menerima kita," aku Pandora getir. Jarum hampir menusuk kulitnya. "Lagi pula, kasta terbawah seperti kita tidak akan memberi efek apa-apa pada mereka."
"Tapi sikap mereka benar-benar tidak termaafkan," bibir Laito terkatup. Melirik Ellie yang merapatkan pakaian tidurnya dan menghela napas. "Itu tidak sopan. Mereka melukaimu."
"Seakan kau pantas saja. Padahal tidak." Ellie menyambar kesampatan untuk menambah kalimat. Dia juga cukup kesal saat itu. Terlebih tidak ada satupun dari anggota kerajaan inti yang berniat membantu Pandora keluar dari permasalahan. Membiarkan bangsawan lain menginjak-injak harga diri gadis itu sampai tidak bersisa.
"Aku tidak apa. Kenapa paman datang? Seharusnya paman tidur, istirahat."
"Aku bermimpi buruk. Seolah arwah kakak datang dan menghantuiku. Dia menuntut jawaban padaku. Apa aku menjagamu dengan baik atau tidak," timpal Laito cemas. "Dan ternyata benar. Pernikahan ini adalah ide buruk."
"Kau bisa bicara pada Pangeran Alaric besok," usul Ellie tanpa berpikir. "Kita bisa menyelamatkan Pandora."
"Meski berita telah tersebar?" Pandora menimpali pahit. "Aku sendiri yang mengiakan kesempatan itu di depan calon raja. Aku siap menerima konsekuensinya. Lagi pula, hanya satu tahun. Itu tidak akan lama."
"Satu tahun tidak sebentar. Mereka mencelamu hanya kurang dari lima menit. Apa yang bisa kau lakukan nantinya?" Ellie mendengus pahit. Pandora minim pengalaman soal asmara. Meski dia pernah menyukai seseorang, menurut Ellie gadis itu tidak pernah berkencan. Pandora hanya membayangkan kencan dengan duduk minum kopi bersama dari sebuah novel. Karangan penulis lama yang bukunya menjadi New York Best Seller.
"Duke di cerita novel sangat mengesankan dan berwibawa. Aku jatuh cinta pada karakternya. Sementara di realita? Sangat memuakkan."
Menggunting sisa benang dan menyusunnya kembali ke wadah. Tidak ada jejak air mata yang tertinggal sehingga Paman Laito tidak perlu cemas. Pandora memeluk pamannya dengan senyum. Meninggalkan mereka berdua tanpa kata untuk kembali ke kamar.
"Kau yakin dia melihat kejadian tidak bermoral pangeran? Apa tidak dijebak? Keponakanku?"
Ellie menggeleng. "Kalau istana memutuskan begitu, mereka punya bukti. Aku juga bertanya-tanya sekarang. Mengapa harus Pandora? Dari segala kemungkinan yang ada, mengapa harus gadis itu?"
"Ini aneh." Laito bergumam rendah. "Aku merasa Pandora dijebak seseorang. Tapi untuk apa? Keponakanku tidak pernah mengacau, bukan?"
"Sama sekali tidak. Orang melihatnya saja enggan. Pandora terlalu menutup diri terutama gaya berpakaiannya yang sedikit norak," ujar Ellie masam. "Dia tidak pantas mendapat perlakuan tajam seperti ini. Terutama dari bangsawan yang terus-menerus akan menggerusnya dari dalam."
"Ya Tuhan, aku akan lebih sering ke gereja mulai sekarang. Semoga Tuhan membantu keponakanku dalam segala hal. Dia pantas bahagia."
Ellie mengangguk setuju. "Aku juga berharap hal yang sama."
***
Alaric memasuki ruang makan dengan penampilan santai sehabis mandi. Melihat meja makan tersaji hidangan cukup banyak, lantas membuat alisnya menyatu. "Ada keluarga kerajaan yang hadir sekarang?"
"Tidak ada. Aku mengundang Pandora."
"Ah, dan dia tidak datang." Laura menimpali datar. Memotong daging domba di atas piring. "Gadis itu menolak undangan kami dengan sopan."
Alaric berjalan masuk. Mendengus keras sebagai reaksi. Pandora dan dia tidak perlu terkejut seharusnya. Gadis itu selalu punya alasan untuk menghindari pertemuan sepenting ini.
"Dia mungkin saja trauma karena pesta itu." Dimitri bergumam rendah. "Madam Whitney membahas soal dirinya dan mempermalukan Pandora seolah dia pencuri. Hanya karena permasalahan sepele."
"Biarkan saja. Dia perlu beradaptasi."
Laura melirik adik iparnya dalam diam. Matanya menangkap arah pandang sang suami. Dan mereka saling melempar bahu satu sama lain. "Apa begitu responmu?"
"Apa aku harus bersikap pahlawan? Untuk apa?"
"Apa ayah mengajarimu tanpa hati?"
Alaric menurunkan gelas dan garpu makannya secara bersamaan. Menelan sisa daging di dalam mulutnya dan menatap Dimitri sinis. "Apa ayah mengajarimu mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain? Kita impas sekarang."
"Peduli pada gadis itu bukan kesalahan," kata Laura melerai mereka berdua. "Pandora tidak berbuat salah kemarin malam. Kecelakaan kecil itu hanya diperbesar."
"Lantas, kau juga diam. Seharusnya kalian berdua bertindak sebagai pahlawan."
Dimitri mengembuskan napas berat. Menunduk untuk mengusap dahinya yang berkerut. Alaric terkenal keras kepala untuk beberapa hal. Contohnya ini. "Laura benar. Tidak ada salahnya berbuat baik di depan calon istrimu sendiri."
"Aku bukan pahlawan."
"Kita sebaiknya makan dulu," timpal Laura membubarkan percakapan. Mereka sibuk sarapan bersama dan menutup topik obrolan sampai semua selesai dan hidangan penutup hadir.
"Kau masih bisa menarik pengumuman itu."
"Tidak."
Alaric mendesis lebih keras. "Kau tidak berpikir perasaanku!"
"Kau tidak berpikir masa depanmu saat melakukannya!" Dimitri balas marah, menuding sang adik dengan sorot tajam. "Kalau kau berpikir soal tindakan yang merusak nama baik keluargamu selama bertahun-tahun, kau tidak akan melakukannya."
"Aku memang tidak melakukannya!" Alaric membalas getir. "Aku tidak punya hubungan berbalut asmara apa pun dengan orang lain."
"Lantas, ada rahasia lain yang coba kau sembunyikan dariku?"
Bibirnya langsung terkatup. Suasana tegang mengudara. Dimitri tidak segan mengumpan balik serangannya secepat itu. "Tidak ada. Aku tidak menyimpan kebohongan apa pun."
"Rahasia akan selamanya menjadi rahasia. Benar, bukan?"
Laura menghela napas getir. Tidak punya hak untuk ikut campur saat ini semua membahas berita yang sama. Ia mengenal Alaric benar. Dan kalau ini bicara skandal, Laura sama saja menyerahkan diri untuk mati.
"Ini demi kebaikanmu, Alaric. Tinggal di Cornelia dan pikirkan masa depanmu sendiri. Kita terbiasa hidup sesuai aturan, seharusnya kau tidak lagi terkejut dengan semua ini."
Adiknya membalas dengan cemoohan kental. "Aku akan pergi setelah penobatanmu selesai. Sabarlah sedikit. Kita sama-sama tahu, kalau kehadiranku diperlukan di sana. Aku mendukungmu sebagai raja di masa depan."
"Aku tidak bisa menghukummu. Keluarga bangsawan inti kebal hukum. Dan menurutku, ini sepadan. Kau bisa menjalani ikatan selama satu tahun penuh. Begitu pula meluruskan reputasimu. Kalau kau melakukannya dengan benar, semua akan kembali membaik. Dan sekali lagi kau membuat kesalahan, aku tidak segan membuangmu dari kerajaan."
Dimitri melesat pergi dari ruang makan dengan geraman. Membiarkan sang adik sendiri, bersama istrinya yang sama-sama bungkam. Sebelum pertahanan Laura goyah, dia harus pergi. Melangkah menjauhi meja makan dan meninggalkan Alaric sendiri berteman bersama sepi.
***
Pandora menutup bukunya dengan napas memburu. Kedua matanya berkilat cemas. Melebar penuh antisipasi. Debaran dadanya menggila. Tergerus karena detak yang berdebar terlalu keras.
"Ya Tuhan. Semoga ini semua tidak nyata."
Terus bergumam dalam hati. Mencoba menguatkan diri dengan mengendalikan perasaannya yang terlanjur terombang-ambing.
"Pandora?"
"Nakia?" Melihat penata rias pribadi Putri Laura mampir ke perpustakaan untuk membaca biografi Queen Elizabeth I.
"Membaca. Aku ingin sekali tenggelam dalam buku sama sepertimu," kata Nakia ramah. "Yah, sebelum kembali pulang. Apa yang kau baca? Oh, buku ini tentang apa?"
"Sesuatu seperti ramalan," bisik Pandora pelan. Belum berhasil menyingkirkan debar pada dadanya pergi. "Ini buku kuno. Dari peramal terkemuka di Parvitz yang hidup sekitar dua ratus tahun lalu."
"Dan kau percaya ramalan itu?"
"Sedikit? Tapi menjurus ke beberapa sebagai kebenaran." Pandora membalas getir. "Kenapa memangnya?"
"Tidak ada. Bagiku, ahli nujum hanya bicara omong kosong. Dulu saat ibuku kecil, peramal bicara tentang dirinya yang mandul dan tidak bisa punya anak. Itu kebohongan. Ibuku mengandung dua bulan setelah pesta pernikahan."
Pandora mendesah berat. "Aku lega mendengarnya."
Nakia tertawa. "Santai saja. Kau tidak perlu ambil pusing. Apa yang tertulis di dalam sana?"
"Cukup banyak."
"Apa ada yang membahas lengsernya Pangeran Dimitri di masa depan?"
Pucat tiba-tiba menjalar sampai belakang telinga. "Kau menebaknya?"
"Kebanyakan memang begitu. Tapi aku tidak terkejut. Setiap pemimpin memiliki musuhnya sendiri. Mereka yang haus kekuasaan akan melakukan segala cara untuk mendapat hal tersebut. Walau dengan cara kotor sekalipun."
Pandora tiba-tiba diam. Mendadak berpikir keras saat dirinya menutup buku bersama catatannya. "Yah, di sini juga tertulis kalau istri dari pangeran kedua akan meninggal karena melahirkan."
"Apa mereka Tuhan?" Nakia mencela tidak percaya. Gagasan percaya pada paranormal membuat kepalanya sakit bukan main. "Tapi beberapa orang masih percaya hal mistis seperti ini. Terutama bangsawan. Mereka percaya pada tradisi leluhur mereka. Aku rasa kau harus berhati-hati mulai dari sekarang. Jangan sembarangan bicara."
"Aku akan melakukannya," kata Pandora serius. Membawa bukunya pergi dan berpamitan pada Nakia. Dia belum makan siang dan perutnya memberontak untuk diisi secepatnya. Atau Ellie akan mencari dan menyeretnya pergi ke dapur untuk makan.
Pandora melintasi koridor yang sepi. Bertemu beberapa pelayan yang tidak mau menyapanya. Dia juga akan melakukan hal yang sama. Tidak akan menyapa mereka dan bersikap cuek. Sampai pada lorong yang menghubungkan antara kastil utama dan belakang. Semua terlihat sepi karena jalur ini sangat jarang dilewati. Kecuali Pandora, tentu saja.
"Alaric!"
Nyaris saja buku catatan dan tempat pensilnya berhamburan jatuh ke atas lantai saat mendengar desahan singkat itu bergema lirih dari sebuah ruangan.
Sayup-sayup berbentuk bisikan yang mengundang. Pandora membeku. Air mukanya berubah lebih tegang serta pucat.
Suara itu semakin membuatnya kesulitan bernapas. Dengan mengambil ancang-ancang bersiap pergi, Pandora mencoba menahan alas sepatunya agar tidak menimbulkan gesekan apa pun pada permukaan lantai.
Dan malah bertemu Madam Ilama di ujung koridor. Yang menatapnya tajam, dingin, tanpa belas iba. Sorot mata itu seolah siap memangsanya hidup-hidup. Ellie pernah memperingati Pandora saat pertama kali datang ke istana untuk berhati-hati dengan senior satu itu.
"Selamat siang, Madam Ilama."
Ilama hanya mengangguk. Menyembunyikan kedua tangannya dengan angkuh di belakang punggung. Menatap penampilan Pandora dan mencemooh secara terbuka. "Sudah, pergi sana. Mengapa kau melamun melihatku?"
Pandora menggeleng kecil. Membungkuk sopan sekali lagi sebelum mengambil langkah lebar untuk pergi secepatnya. Berusaha mengendalikan diri untuk tidak melihat Madam Ilama sekali lagi dan bertanya dalam hati.
Mau apa dia di sana?
Atau menyingkirkan lirihan yang membuat bulu kuduk Pandora merinding bukan main.
Alaric, pria itu.