KEHANCURAN KERAJAAN SALOKA
Gelombang api pemberontakan yang dilakukan oleh Suro Omkara membumbung tinggi, menghanguskan sebagian rumah rakyat di depan istana Saloka.
Jeritan histeris rakyat terdengar pilu dan menyayat hati. Begitu juga dengan teriakan kencang para prajurit yang menghalau para pemberontak.
Seorang lelaki, berparas tampan, walau usianya tak muda lagi, memandang dengan sorot mata hampa. Manik matanya terlihat berkaca-kaca, menyaksikan negerinya dalam peperangan.
Prabu Baga Sadendra, tampak nanar. Sorot mata nyalang, memandang dari puncak menara istana. Melihat kepulan asap hitam yang membumbung tinggi. Membakar desa-desa yang berada di wilayah kerajaannya.
Sejenak perasaan sang Prabu bergetar hebat, hingga kedua tangan mengepal erat. Dirinya bisa merasakan, bahwa kerajaan Saloka akan hancur oleh serangan musuh.
“b*****h kau Suro Omkara. Beraninya di tengah kesepakatan berdamai yang sudah kita tanda tangani, kau khianati! Aku akan membalas semua pengkhianatanmu ini. Jika sampai aku mati, maka Nawasena Sadendra akan membalaskan semua kepahitan ini!!!” Suara sang Prabu Baga Sadendra, menggelegar, diiringi oleh petir yang terus menyambar.
“Saksikan wahai para Dewa! Kerajaan Saloka, sampai kapan pun akan tetap ada. Jika hancur hari ini, maka di kemudian hari akan menjadi kerajaan yang disegani dimana pun! Aku tidak akan pernah memaafkan dirimu, bahkan sampai aku mati sekali pun!”
Sesaat, sang Prabu Baga Sadendra tertunduk dalam, dengan hati yang tidak tenang. Beriring detak jantung yang berdegup kencang. Membuat dadanya semakin berdebar hingga dia kesulitan untuk bernapas.
Tak mampu lagi dia tahan air mata yang hendak luruh. Namun, segera sang prabu sembunyikan, saat Pangeran Nawasena Sadendra datang.
Tak jauh dari sang raja berdiri. Pangeran Nawasena terus memperhatikan sang ayahanda yang terlihat gelisah. Walau pun dia diam. Namun lelaki muda dan tampan itu, bisa merasakan kegelisahan yang terpancar dari raut sang prabu.
Pangeran Nawasena berjalan mendekat. “Ayahanda, keadaan kerajaan kita semakin genting. Tidakkah sebaiknya Ayahanda segera meninggalkan istana ini?” Suara sang pangeran bergetar dan parau. Dia sangat berharap bahwa sang ayah, mau mnegikuti apa yang dikatakan olehnya.
Prabu Baga Sadendra, menoleh ke arah sang pangeran, menatapnya beberapa saat. Lalu, mengalihkan kembali pandangannya lurus ke depan. Menembus angkasa yang masih terlihat mendung.
“Aku akan tetap bertahan di sini, Pangeran! Tak pernah sekali pun, aku akan meninggalkan istana dan rakyatku. Lebih baik aku mati berkalang debu. Dari pada harus melarikan diri!”
“Ta-tapi—“ Pangeran Nawasena tak menyelesaikan kalimatnya. Saat melihat tangan sang ayahanda, bergerak ke arahnya. Memberi tanda agar dirinya diam.
“Jangan pernah bujuk aku, untuk pergi dari istanaku sendiri, Pangeran Nawasena!”
“Hamba hanya ingin Paduka Prabu selamat. Hamba tak ingin ada seorang pun yang menyakiti Sang Paduka. Hamba mohon, Yang Mulia.”
Sang Raja Agung Baga Sadendra tersenyum lebar mendengar perkataan dari sang pangeran. Dia merasa haru dan bangga atas perhatian yang diberikan. Namun, prinsip seorang Baga Sadendra tak akan pernah luntur. Apa pun yang terjadi, dia akan tetap berada di istananya.
“Pergilah, Pangeran Nawasena! Temui Ibunda dan adikmu Ratna di kamar utama. Katakan pada mereka untuk bersiap-siap pergi. Karena aku akan tetap di kerajaan ini!”
“Apa maksud Ayahanda? Menyuruh kami pergi dan Ayahanda tetap bertahan di sini?”
“Jangan melanggar apa yang aku ucapkan Anak Muda! Setiap kalimat yang meluncur dari bibirku, adalah titah Raja! Jangan pernah kamu membangkang, Pangeran!”
“Jika Sang Paduka, memilih untuk tinggal dengan titik darah terakhir di istana ini. Maka, hamba Pangeran Nawasena Sadendra akan mengikuti ke mana pun Baginda Prabu pergi.”
“Jangan pernah sekali saja kau membangkang perintahku, Pangeran! Ini titah Raja yang harus kau jalankan segera!”
Nawasena hanya bisa mengepalkan kedua tangan. Hingga melukai telapak tangannya sendiri, sampai mengucur darah segar.
“Pergilah sekarang!” bentak Sang Raja Baga Sadendra.
Tak ada yang bisa dilakukannya, selain mematuhi perintah ayahnya. Sebelum Pangeran Nawasena berniat pergi. Terdengar derap langkah seseorang yang sedang menaiki anak tangga.
Tak lama kemudian. Tampak seorang prajurit pasukan elit kerajaan sudah menghadap raja. Napasnya masih terengah-engah, prajurit itu pun langsung bersimpuh. Dengan kedua tangan mengepal di depan d**a.
“Mohon ampun, Baginda Raja Agung Baga Sadendra. Hamba sangat lancang naik kemari. Panglima memerintahkan agar Paduka beserta keluarga kerajaan yang lain, segera meninggalkan istana ini.”
Sang baginda Raja Agung Baga Sadendra, terlihat sangat tenang. Pandangan matanya masih mengarah pada langit. Sejenak dia terdiam. Lalu membalikkan tubuhnya. Dia pun menuruni anak tangga dengan cepat. Diikuti oleh Pangeran Nawasena Sadendra beserta prajurit.
Saat berada di ujung tangga. Sengaja Pangeran memperlambat langkahnya. Tanpa ada yang tahu, Nawasena menyelinap keluar. Dia ingin tahu apa yang tengah terjadi. Langkahnya terus berlari kencang, melewati lorong istana menuju arah halaman.
Suara denting pedang yang saling beradu kian terdengar kencang. Begitu juga suara teriakan dan erangan kesakitan. Membuat Nawasena langsung mencabut pedangnya.
Betapa terkejutnya Nawasena, begitu melihat keadaan di luar istana. Banyak prajurit kerajaan Saloka yang terluka dan mati, dengan pedang musuh yang menembus tubuh mereka. Ada juga yang mati berkalang anak panah yang tajam.
Tubuh Nawasena gemetaran, bukan karena takut. Akan tetapi, amarahnya meledak. Melihat banyak kematian dari pasukan Saloka. Manik matanya pun ikut bergetar dan panas. Menyaksikan kematian dan darah berceceran di mana-mana.
“Tak mungkin aku akan tinggal diam, dan pergi dari istana. Melihat mereka berjuang mempertaruhkan nyawa. Ayahanda, maafkan ananda yang akan ikut berperang melawan musuh!”
Dari jauh dia melihat sang panglima dengan gagah berani, menghalau pasukan musuh.
“Apakah ini tanda berakhirnya kerajaan Saloka?” tanya Nawasena lirih.
Tiba-tiba ….
Terdengar suara teriakan yang sangat keras ke arahnya. Walau pun tak terlalu jelas.
“Pangeran! Untuk apa Pangeran di sini?!”
Sesaat Nawasena menoleh. Tapi dia tak menghiraukan panggilan salah seorang pasukan elit kerajaan padanya. Nawasena semakin berlari kencang dan menjauh, memasuki medan peperangan. Bergegas langkahnya menghampiri Sang Panglima.
“Panglima aku akan membantu-mu!”
Suara keras Pangeran Nawasena, membuat sang panglima terbelalak. Dia tak menyangka, jika putra makota akan ikut bertarung. Apalagi kemampuan olah kanuragan yang dimiliki sang pangeran, masih belum seberapa mumpuni.
Sebelumnya, dia sangat terkenal pemalas, untuk belajar olah kanuragan. Pangeran Nawasena lebih menyukai mempelajari kitab strategi perang dan kepemimpinan. Dia menyukai membaca dan melukis. Modal yang dia miliki saat ini, hanya kenekadan dan keberanian.
“Prajurit!!! Bawa masuk kembali Sang Pangeran!” teriak panglima geram.
“Baik, Panglima!”
Dua orang prajurit menarik lengannya secara paksa. Namun, Sang Pangeran terus memberontak dan meronta.
“Tunggu dulu, Panglima! Aku ingin membantu kaliaaan …!” teriaknya nyaring. "Biarkan aku ikut berperang bersama kaliaaaan!!!"