****
Hanya butuh lima detik bagi Deya untuk menangkap segala maksud tersirat yang Tuan Dhante ucapkan. Gadis itu mendorong pria yang menghimpit tubuhnya dengan segala perasaan yang berkecamuk hebat.
"Cukup, Tuan! Kenapa kau memandangku dengan begitu rendah? Apa salahku? Sedari awal aku tidak mengerti apa maksudmu mengejar-ngejar diriku. Tuan, bisakah kau bersikap biasa saja padaku?" tegas Deya mengungkapkan perasaan kesal yang kini berkecamuk dalam d**a.
Bola mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Bagi gadis 17 tahun itu, peristiwa yang baru saja ia alami membuat mentalnya mendadak turun dan merasakan sakit yang paling dalam.
Dhante terbungkam, ia memundurkan tubuh dan kembali ke posisi duduknya. Ia menatap jalanan sepi di depan dengan tatapan gusar. Sialan! Makinya dalam hati.
Sepertinya Dhante Shie Widjaya terlalu terburu dalam meluapkan emosinya hingga dirinya lupa bahwa yang ia hadapi sekarang hanyalah bocah SMA yang sama persis dengan kekasihnya dulu.
"Tuan, bisakah kau bersikap biasa saja terhadapku? Sejak aku magang di caffe, terlebih aku bertemu denganmu, kau tidak pernah berhenti membuntutiku dan mencari seluk beluk tentang hidupku. Apa itu penting? Aku dan kau tidak memiliki hubungan apapun tapi kau—" Deya menghentikan ucapannya tatkala bayangan pria dewasa itu telah mencuri ciuman pertamanya dengan sangat kasar. Ada rasa sesak yang menghantam d**a, membuat Deya tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Deya menarik napas, air matanya mendadak berguguran. Entah kenapa ia bisa sesedih ini. Gadis itu memilih membuka pintu mobil lalu melarikan diri dari dalam mobil Dhante.
Pria berumur 37 tahun itu terkejut, ia ikut keluar dan memanggil nama Deya namun terlambat ketika sang gadis memilih menghentikan taksi yang lewat dan pergi bersamanya.
Dhante berkacak pinggang, hatinya berkecamuk karena telah salah melakukan perhitungan. Karena kerinduannya pada Davia, ia harus melukai hati kecil seorang gadis.
"Aaarrghh ...." Dhante merasa frustrasi. Pria itu menjambak rambutnya sendiri dengan kasar dan penuh emosi.
Kembali ke dalam mobil, Dhante memilih memutar arah mobilnya kembali ke caffe. Ya, Dorry harus menjelaskan semuanya dengan detail tanpa terlewat satu hal pun. Hanya dengan penjelasan Dorry saja, Dhante bisa memilih jalan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
****
"Kenapa kau harus memberinya ijin?" marah Dhante pada Dorry ketika pria berkaca mata nan kharismatik itu datang ke ruangan Dhante Shie Widjaya.
Dorry terdiam, ia belum sanggup menjawab apa yang ditanyakan Dhante. Pria itu tahu benar jika Dhante sedang dikuasai amarah, jadi sebenar apapun jawaban yang Dorry berikan maka akan terlihat salah dalam pandangan Dhante.
"Kau manager di sini, kau seharusnya lebih tahu peraturan mana yang boleh dilanggar atau tidak. Jika sudah seperti ini haruskah aku memecatmu?" Dhante kembali meraungkan kemarahan yang meledak dalam hatinya.
Bola mata tegas milik Dhante kini menghunjam Dorry. Ruangan yang semula hangat dan nyaman mendadak terasa seperti neraka yang sesak oleh bara api yang menjalar dari dalam tubuh Dhante.
"Deya memohon padaku untuk meminta jam tambahan. Dia membutuhkan banyak uang untuk neneknya. Awalnya aku menolak karena dia masih SMA dan tidak pantas bekerja di luar jam kerja tapi melihat keseriusannya, aku akhirnya meloloskan keinginannya dengan syarat hanya hari ini saja. Aku pun menempatkan dia di tempat yang tidak terlihat banyak orang, seperti dirimu akupun takut jika ada p****************g yang akan mengendus keberadaannya dan membawanya pergi. Maaf Tuan jika aku ceroboh kali ini. Aku wajib berterima kasih karena kau telah membuat gadis itu pulang sebelum jam kerja habis. Sebagai kompensasi, aku akan tetap membayar jam tambahannya secara penuh." Dorry berkata dengan datar, dia membungkukkan badan pada Dhante sebagai tanda permohonan maafnya.
Dhante terdiam, ia menarik napas dalam-dalam lalu berbalik badan. Karena kecerobohan inilah ia dan Deya terlibat salah paham yang akhirnya membuat Dhante tak bisa mengendalikan emosinya.
"Mulai besok, beri dia gaji lebih. Tugasnya adalah belajar dan bukan bekerja. Potong jam kerjanya dua jam, pukul 7 malam ia harus pulang dan menyelesaikan tugas sekolahnya." Dhante akhirnya angkat bicara, suaranya yang meledak-ledak kini perlahan memelan dan kembali tenang.
Dorry terdiam, ia merasa heran dengan sikap bosnya yang mendadak begitu baik pada Deya. Karena rasa penasarannya, Dorry tanpa sadar menatap Dhante penuh tanda tanya.
Dhante menoleh, ia merasa aneh ketika Dorry tak kunjung mengiyakan ucapannya. "Kenapa? Kau merasa heran aku berkata begitu?"
Dorry tersadar, ia lalu menggeleng dan menunduk. Tak sopan baginya untuk mengetahui privasi bosnya.
Dhante kembali menarik napas, ia mengamati jendela ruangan yang menampilkan pemandangan malam di sekitar caffe miliknya. "Ingat, jangan pernah menyusahkannya atau aku tidak akan mengampunimu lagi kali ini."
***
Deya tampak melamun, wajahnya terlihat kusut akibat menangis hampir semalaman. Lihatlah, kedua bola matanya sekarang memiliki kantung. Mendengkus, Deya beranjak dari depan meja rias dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit sekalian berangkat ke sekolah. Pagi itu masih gelap, Deya sengaja bangun terlalu pagi untuk bersiap ke rumah sakit terlebih dahulu sebelum akhirnya ia kembali ke bangku sekolahan.
Tadi malam, setelah peristiwa mengejutkan yang membuat ciuman pertamanya terenggut terjadi, Deya memilih pulang ke rumah dan menenangkan diri.
Deya berjalan keluar dari rumah, memakai jaket abu-abu bergambar mini mouse, gadis itu mencegat bis yang biasa lewat pada jam pagi.
Di dalam bus, bayangan Dhante yang menciumnya dengan kasar tak luput dari ingatan Deya. Gadis itu shock, selama ini ia jarang dekat dengan pria dan Dhante—pria itu malah membuatnya merasa trauma dan ketakutan.
Bus berhenti tepat di depan rumah sakit, menurunkan Deya yang sudah memakai seragam sekolahnya dan bersiap untuk menimba ilmu. Gadis itu tertegun di posisinya, ia menatap bangunan rumah sakit yang besar lagi mewah di hadapannya. Terbayang lagi bagaimana pesan singkat yang disampaikan perawat Allina padanya. Pagi ini ia akan menemui perawat itu dan mengatakan bahwa ia belum memiliki cukup uang untuk biaya operasi neneknya.
Dengan langkah gamang, Deya memasuki ruangan dimana neneknya dirawat. Gadis itu terkejut karena melihat ruangan dimana neneknya tinggal kini berganti orang. Deya mendadak panik, ia berlari ke resepsionis namun beruntung ia bertemu dengan perawat Allina.
"Perawat, nenek saya ada dimana?" tanya Deya pada perawat Allina yang kebetulan lewat menuju ke ruangan para dokter.
Melihat wajah Deya yang panik, Perawat Allina tersenyum tipis. "Nenekmu sedang dioperasi tiga puluh menit yang lalu. Tenanglah, semua pasti baik-baik saja."
Deya terbengong, ia tak percaya dengan apa yang didengarnya kali ini. "Ta-tapi, saya belum membayar biaya apapun."
Perawat Allina menepuk bahu Deya dengan lembut, "Seorang pria datang ke rumah sakit tadi malam. Ia membayar semua biaya rumah sakit dan biaya operasi nenekmu. Pria itu juga meminta pada pihak rumah sakit untuk memindahkan ruang nenekmu menjadi ruang VVIP. Dia meminta perawatan yang terbaik untuk nenekmu. Deya, kau beruntung memiliki paman sebaik itu. Baiklah, aku pergi dulu ya."
Perawat Allina melempar senyim lalu berbalik badna meninggalkan Deya dengan seribu pertanyaan yang tertanam dalam hati. Siapa pria itu? Jangan-jangan dia—Dhante?
Deya terhuyung mundur, ia tak habis pikir siasat apalagi yang dilakukan Dhante padanya. Apa? Siasat? Haruskah Deya menuduh kebaikan Dhante sebagai siasat? Sepertinya akan terasa begitu kejam jika Deya berpikiran seperti itu. Jika bukan karena Dhante, lalu pada siapa lagi ia akan berbagi beban kali ini. Deya hanyalah anak SMA yang sebentar lagi akan ujian dan lulus. Biaya sekolah pun ia mengandalkan bea siswa. Sungguh, hidup tanpa saudara itu sama sekali tidak enak.
Sadar akan lamunannya, Deya lantas membuka tas gendongnya dan mencari kartu nama yang Dhante berikan kala itu.
Deya terdiam ketika kartu nama itu terpampang di hadapannya. Haruskah ia berterima kasih pada orang yang sudah secara kasar menciumnya tadi malam?
Jika ingat kejadian itu, Deya merasa frustrasi dan muak. Ingin rasanya ia membunuh Dhante tapi—operasi neneknya kali ini berkat bantuan Dhante, sekarang harus bagaimanakah ia bersikap?
Menatap kartu nama itu, Deya melihat nomer ponsel Dhante. Ada niat untuk mengirim SMS sebagai tanda terima kasih tapi — ah, tidak, akan terasa tidak sopan jika mengucapkan terima kasih yang besar pada orang melalui SMS saja. Deya bingung dan akhirnya ia memberanikan diri untuk menelpon.
"Hallo," sapa dingin seorang pria dibalik ponsel yang kini digenggam di tangan kanan Deya. Gadis itu menelan ludah, ia bingung harus berkata apa.
"Hallo," sapa pria itu lagi. Kali ini lebih terdengar seperti menghardik.
"Te-terima kasih karena kau sudah membantu biaya operasi nenekku. Aku-aku tidak bisa membalasnya karena aku sadar, aku-aku terlalu miskin untuk mengembalikan uangnya jadi—"
"Bisakah kau membuatkan aku secangkir kopi Vanilla Latte seusai kau pulang sekolah nanti di caffe? Aku rasa secangkir kopi bisa membalas rasa terima kasihmu padaku. Baiklah, sampai jumpa nanti. Aku harus melanjutkan tidurku."
Suara panggilan terputus. Bahkan Dhante tidak mengijinkan Deya untuk mengucapkan beberapa kata lagi padanya. Deya terdiam, ia mengamati ponsel jadulnya tak mengerti.
Apa? Apa dia baru saja menelpon si tuan posesif, Dhante Shie Widjaya? Ia hanya mengucapkam terima kasih tapi pria itu malah menyuruhnya membuat kopi. Ah, sebenarnya yang tak tahu malu itu siapa? Dhante atau Deya?
Dhante yang pamrih dengan secangkir kopi atau Deya yang sama sekali tidak ingin berhubungan setelah kejadian tadi malam. Mendadak Deya merasa menyesal, kenapa ia harus cepat-cepat menelpon pria posesif itu?! Dan akhirnya, Deya kembali terjerat pada pria itu. Pria bernama Dhante, yang entah dari bumi belahan mana yang tiba-tiba mencuri ciuman pertamanya. Ah, lupakan!
*****
Jangan lupa tap love ya.
Bagi yang tap love aku doain semoga rejekinya lancar dan sehat selalu hehe...
Terima kasih.