3. Mencari Uang Tambahan

1647 Kata
*** Sulit bagi Deya untuk menentukan pilihan. Setelah ditimang-timang dengan pemikiran masak, gadis berambut sebahu itu memilih untuk tidak menghubungi Dhante bahkan mengemis pekerjaan padanya. Bagi Deya, jika ia menghubungi Dhante maka pria itu akan semakin memojokkannya dan semakin getol dalam menindasnya. Ya, walau gaji yang ia tawarkan kali ini sungguh sangat fantastis tapi gadis yang masih duduk di bangku SMA itu memilih menahan diri dan mencari uang dengan jalan pilihannya sendiri. Seusai belajar di sekolah, seperti biasa Deya akan langsung magang di caffe yang biasa ia tempati hingga jam 9 malam. Melelahkan memang tapi Deya harus mengumpulkan banyak uang untuk operasi neneknya. Setengah berlari, Deya mencegat bus dan menaikinya sampai di depan caffe 'Davinci'. Caffe itu sangat mewah, buka hampir 24 jam dan menyediakan berbagai menu minuman dan makanan kecil terlengkap. Biasanya jika jam sore telah tiba, banyak tamu yang datang walau sekadar nongkrong, memesan makanan atau minuman, dan mendengarkan musik kesayangan. Deya mulai terbiasa dengan lingkungan caffe, teman kerja yang begitu ramah, dan tentunya Tuan Dorry yang baik hati. Memasuki caffe dengan napas terengah akibat berlari, orang pertama yang ia cari adalah Tuan Dorry. Ya, pria berkaca mata itu terlalu baik di mata Deya hingga ia tidak sadar jika pria berparas tampan itu adalah salah satu anak buah dari Si Boss posesif, Dhante Shie Widjaya. Deya memasuki ruangan, mengedarkan pandang mencari sosok Tuan Dorry. Senyumnya mengembang ketika bola matanya mendapati Tuan Dorry tengah mengecek beberapa stock barang di loker kecil miliknya di sudut ruangan. "Tuan Dorry," sapa Deya lantas masuk mendekat ke arah Dorry Arisman. Tuan Dorry menoleh, ia menatap dengan heran ke arah Deya. "Deya, ada apa? Kenapa tak langsung bekerja?" "Ada sesuatu yang ingin aku katajan padamu. Hal ini sangat penting bagiku," ucap Deya dengan mimik wajah terlihat serius. Tuan Dorry terdiam sejenak, ia menutup lokernya lalu membetulkan letak kaca matanya perlahan. "Ada apa? Katakanlah!" Deya menghela napas, ia tertunduk sejenak lalu menatap tuan Dory sekali lagi. "Bolehkah aku menambah jam magang di sini hingga jam 12 malam?" Tuan Dorry terpaku, bola matanya membelalak ketika tahu hal penting apa yang ingin disampaikan gadis itu padanya hingga ia harus menemuinya terlebih dahulu ketimbang langsung berganti pakaian kerja. "Kenapa harus meminta jam tambahan? Kau tahu, anak magang hanya boleh bekerja hingga jam 9. Kau tidak bisa menambah jam kerja lagi terlebih kamu masih anak SMA," jelas Dorry dengan keberatan. "Tapi Tuan, aku membutuhkan banyak uang bulan ini. Jika aku tak meminta tambahan jam kerja, aku tidak bisa hidup bulan ini. Nenekku sakit, beliau butuh uang operasi. Bagiku yang tidak memiliki siapa-siapa, pada siapa aku harus mengadukan bebanku. Tuan Dorry, aku mohon kebijaksanaanmu," mohon Deya dengan wajah memelas, menatap Tuan Dory dengan tatapan tak kalah menyedihkan. Dory terdiam sejenak, ia mengamati Deya dengan tatapan menelisik. Ia takut jika gadis itu berpura-pura hanya demi beberapa lembar uang berwarna merah. "Baiklah, hanya malam ini saja. Seterusnya kau tak perlu lagi ikut jam tambahan. Kau tahu kau masih anak SMA sedangkan jam tambahan hanya untuk mereka yang sudah dewasa," ucap Dory memutuskan, membuat wajah Deya mulai terlihat berbinar. "Terima kasih Tuan. Aku akan bekerja lebih baik hari ini," ucap Deya semringah. Ia membungkukkan badan sejenak lalu berbalik badan meninggalkan ruangan dimana Tuan Dorry berada. Sejenak Tuam Dorry terpaku, ia tidak menyangka jika di jaman sekarang masih saja ada anak yang berjuang mati-matian demi menyelamatkan anggota keluarga yang lain. Tuan Dorry menghela napas lalu kembali menekuni pekerjaannya. Hari ini stock minuman mulai kosong, mau tak mau Tuan dorry harus menulis beberapa pesanan pada supplier mereka. Ah hari yang sibuk. Tentu saja. *** Seperti janji Deya sebelumnya pada Tuan Dorry, gadis berambut pendek itu bekerja sangat giat. Beberapa rekan kerjanya pun dibuat heran akan keseriusan gadis itu dalam melayani tamu. Deya adalah gadis yang ramah dan polos, tingkahnya yang menyenangkan membuat siapa saja menyukainya. Dentang jam pukul 9 malam berbunyi, membuat anak magang maupun anak yang waktu kerjanya habis mulai berhamburan bersiap untuk pulang ke rumah. "Kau tidak pulang?" tanya Arman, salah satu pria yang bekerja tetap di caffe tersebut. Pria itu berpenampilan dingin namun diam-diam memperhatikan Deya semenjak Deya bekerja magang di caffe. Sesekali pria itu membantu Deya jika ia kesulitan membawa minuman pelanggan. Pria itu juga yang membantu segalanya jika Deya mengalami kesulitan. Deya menoleh pada Arman lalu tersenyum tipis. "Aku meminta jam tambahan pada Tuan Dory, kak Arman." Arman mendelik, ia tidak percaya jika gadis SMA yang ia kenal beberapa hari lalu memiliki nyali untuk menambah jam kerja. Apa ia tidak tahu jika jam 9 malam ke atas adalah zona dewasa, dimana mungkin banyak hidung belang berkeliaran mencari mangsa baru? "Apa kau yakin? Aku sarankan sebaiknya kamu membatalkan niatmu itu atau kau akan terkena masalah," ucap Arman lalu bersedekap. Sebagai pekerja tetap di Davinci Caffe, ia bersikap loyalitas. Pria itu tidak ingin menebar citra buruk caffenya pada orang baru sehingga ia memilih memperingatkan daripada menceritakan keburukan tempat kerja yang selama ini sudah menaunginya dan membantunya bertahan hidup. Deya kembali tersenyum, gadis itu masih sibuk mengelap beberapa gelas basah dengan lap kering warna putih yang masih bersih. "Tidak apa-apa. Aku membutuhkan uang tambahan dan Tuan Dorry mengijikanku hanya malam ini saja." "Hanya malam ini?" ulang Arman memastikan. Wajah tampan pria berusia 23 tahun itu menatap wajah cantik Deya di bawah remangnya lampu caffe. "Iya, Tuan Dorry hanya mengijinkan malam ini saja. Walaupun begitu aku sudah sangat bersyukur," ucap Deya lalu melirik sejenak ke arah Arman yang tertegun. Arman menarik napas lega, ia berharap gadis di depannya ini tidak bertemu calon serigala malam ini. "Baiklah, bekerjalah dengan giat. Aku harus pulang karena ada tiga kucing di rumah yang harus diberi makan." Deya tertawa kecil lalu mengangguk. Mata indah Deya menatap bayangan itu hingga memasuki ruangan ganti. Ya, sebenarnya ia rindu ingin pulang dan bertemu neneknya tapi .... Uang, lagi-lagi ia butuh uang untuk neneknya. Harapan itu harus ia simpan demi uang dan kesehatan neneknya. *** Malam mulai larut, tak disangka caffe yang terkenal itu perlahan mulai ramai oleh pengunjung pria. Deya mengerutkan dahi, sejenak ia berpikir kenapa Tuan Dorry membatasi pekerja tambahannya padahal jika malam tiba caffe ini sangat ramai pengunjung dan tentu saja pelayan akan kewalahan dalam melayangi tamu. Sessosok pria tampan yang penampilannya begitu familiar, tertangkap oleh indera penglihatan Deya. Gadis itu terkejut, terlebih ketika bola mata pria itu mengedar dan akhirnya bertumpu pada sosok Deya. Perasaan Deya makin tak keruan ketika Dhante Shie Widjaya, pria posesif yang mengganggunya tadi pagi hadir di caffe ini. Sungguh bodoh, kenapa ia harus bertemu dengan pria itu lagi?! Dhante menatap tajam ke arah Deya, ia mendekat lalu menatap Deya yang masih sibuk menyiapkan beberapa minuman sebagai seorang barista muda. "Kau ikut kerja tambahan?" Deya menatap Dhante sekilas, ia pura-pura bersikap biasa dan terus melakukan tugasnya. "Ya, aku perlu uang tambahan." "Kenapa tidak datang padaku? Apakah gaji yang aku tawarkan masih kurang hingga kamu bekerja di caffe tengah malam begini?" ucap Dhante lalu bersedekap. Bola mtanya menghunjam Deya dengan tatapan tak suka. Deya terdiam, ia tidak boleh terganggu oleh kehadiran pria ini atau ia akan gagal mendapatkan uang tambahan. "Dorry!" Teriakan Dhante mengejutkan seluruh tamu di ruangan tersebut. Semua perhatian teralih ke arah Dhante. Tuan Dorry berlari ke arah Dhante dan membungkuk kecil ke arahnya. "Kenapa kau mempekerjakan dia?" tanya Dhante dengan wajah kurang suka. Dorry melirik sejenak ke arah Deya. "Gadus ini meminta jam tambahan untuk pengobatan neneknya. Saya sudah menolak tapi dia masih bersikeras jadi saya—" "Aku akan membawanya malam ini!" tegas Dhante lalu berjalan menuju ke belakang meja dan menarik tangan Deya. Deya terkesiap, ia meronta ketika Dhante menggelandangnya keluar dari caffe tersebut. Bahkan ketika Deya meminta tolong pada Tuan Dorry, pria itu hanya diam saja dan tidak menggubris teriakannya. "Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?" teriak Deya ketika Dhante terus menariknya menuju ke mobil yang terparkir di sebelah caffe. Pria dewasa itu tak menjawab, ia membuka pintu mobil lalu memaksa tubuh Deya untuk masuk ke dalam. "Masuk! Jangan banyak bicara!" tegas Dhante mengerikan. Deya tak punya pilihan selain menurut dengan jantung berdebar leras. Ada apa ini? Kenapa Dhante bersikap sangat mengerikan? Dhante memasuki mobilnya, ia menghidupkan mesin mobil lalu membawa Deya menuju ke suatu tempat. "Apa yang kau lakukan? Aku membutuhkan uang tambhan di caffe itu," teriak Deya merasa kesal pada pria yang menyetir di sampingnya. "Jadi kau lebih suka bekerja di sana ketimbang menerima penawaranku?" tanya Dhante tak kalah keras. Ia melirik sekilas pada Deya yang menatapnya tak mengerti. "Ya. Itu jauh lebih baik daripada harus bekerja di tempatmu dan aku merasa tertindas," tegas Deya membuat kemarahan Dhante membeludak. Pria itu menambah laju kecepatan mobilnya, membuat Deya mendadak ketakutan. Dhante merasa sangat marah akan jawaban Deya, ia membanting stir lalu mengerem mendadak membuat nyawa Deya seakan mau terbang ke langit. "Apa yang kau laukan? Kembalikan aku ke tempat kerja, sekarang!" Dhante menoleh cepat, ia lantas menyambar rahang Deya dan menghimpitnya di jok mobil. Mata indah Deya membelalak ketika wajah pria itu begitu dekat dengan wajahnya. A-apa yang akan ia lakukan? "Baiklah jika itu maumu. Malam ini layani aku," ucap Dhante serius, nada suaranya mulai melunak seiring pria itu melepaskan cengkeramnnya dan beralih mengelus bibir tipis milik Deya. Gadis itu terkesiap, buru-buru ia menepis tangan Dhante yang berani menjamah bibirnya. "Pergilah! Apa maksud ucapanmu? Aku tidak semurah itu!" "Lalu apa maksudmu dengan bekerja di sana? Apa kau tidak tahu jika jam tambahan hanya dikhususkan bagi wanita malam yang ingin menjajakan tubuhnya. Apa kau ingin menjual tubuhmu?" Dhante kembali berteriak membuat Deya bungkam seribu bahasa. Pantas saja tamu hari ini kebanyakan adalah pria. Deya tidak menyadari hal itu. Gadis itu kembali terkesiap tatkala Dhante lantas menyambar bibirnya dan mencecapnya sesuka hati. Deya meronta tapi kekuatannya tidak sebanding dengan pria itu. "Jika kau masih bersikeras ke sana maka malam ini kau harus berakhir di atas ranjangku. Bagaimana? Bukankah memuaskan Tuan Dhante jauh lebih bermartabat daripada kau jatuh di tangan hidung belang lainnya, hah?" **** Jangan lupa tap love ya. Semakin banyak tap love, semakin cepat updatenya. Terima kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN