26. The Choice

2574 Kata
Omong kosong. Nenek peramal itu berkata omong kosong. Semua ramalan yang ia dengar hanyalah bualan konyol tentang masa depan yang belum terlihat. Ionna memilih tidak memercayainya lalu berdiri kesal hingga kursi yang ia duduki jatuh. Ionna tidak peduli sikap kurang ajarnya pada orang tua. Ia juga tidak peduli bagaimana susah-payahnya Annie dan Raphael mengejarnya di keramaian pasar. Satu hal yang ia tahu, ia akan merubah masa depan itu dan menyambung kembali sesuatu bernama benang merah yang terputus. Akhirnya, mereka sampai juga di tempat tujuan. Tempat itu bukan panggung besar di dalam gedung bernama Ephiron Theatro, melainkan panggung terbuka dengan berbagai papan kayu yang disiapkan sebagai latar belakang adegan. Ionna duduk di bangku panjang dengan tampang masam. Annie dan Raphael menyusulnya, duduk mengapitnya di samping kanan dan kiri. Bagus. Kenapa mereka tidak duduk berdampingan saja? “Ivory, berhenti menggigit bibirmu. Kau bisa berdarah,” ucap Annie khawatir. Ionna membebaskan gigitannya. Ia bahkan tidak bisa merasakan sakit. “Seharusnya aku tidak datang ke tempat itu.” “Maafkan aku. Ini salahku.” “Ya, selamat. Kau mendapatkan peruntungan yang bagus.” Wajah menyesal Annie sama sekali tidak terlihat puas, apalagi senang. “Jangan mengucapkan selamat. Aku pun sama kesalnya karena dia sok membaca masa depanku. Memangnya, dia tahu apa tentang kehidupan kita?” “Oh ya? Kau terdengar seperti orang yang tidak merona setelah mendengar ramalan tadi. Reaksimu cukup bagus. Perlukah aku mengatakannya kepada Ralph?” “Tidak, tunggu! Jangan!” “Kalian pasangan menyebalkan.” Kenapa namaku dibawa-bawa? Diam-diam Raphael menyimak perdebatan kecil di antara Lady dan pelayannya. Ia tidak mengerti kenapa dirinya sering menjadi objek kekesalan Ionna. Yang ia lakukan hanyalah menunggu di luar tenda sambil memeluk sekantung apel yang mereka beli. Jadi, apalagi yang salah? Ionna menyambar sebutir apel dari kantung. Bahkan suara gigitan dan kunyahan gadis itu seolah dapat menghancurkan batang besi. Para gadis yang marah sangatlah menakutkan. “Sudahlah. Lupakan.” Ionna menarik tudung jubah yang merosot, memfokuskan atensi pada panggung di depan sana. Mereka duduk di barisan kedua yang mulai terisi. “Omong-omong, kertas apa yang orang itu pegang?” tanyanya, merujuk pada pria bertopi yang membagikan lembaran berwarna kekuningan.. Annie dan Raphael mengikuti arah pandang Ionna. “Oh, kertas sinopsis,” jawab Annie ringkas. “Satu orang mendapatkan satu.” Pria itu berjalan menghampiri mereka lalu memberi kertas sinopsis masing-masing satu. Ionna memandangi sketsa wanita di kertas itu. Si wanita dengan t**i lalat di dagu dan bintik-bintik halus menghiasi garis horizontal wajahnya. Wanita itu berpose dengan sebuah kipas di tangan, rambut keriting yang disanggul rapi, serta gaun penuh renda di bagian d**a. Ionna membaca judul yang ditulis di atas sketsa wanita itu. Teater yang akan ia tonton berjudul— “Elijah.” Ia menggumamkan nama pemeran utama wanita. Pementasan pun dimulai. Semua penonton mengarahkan pandang ke panggung dan menunggu musisi jalanan memainkan instrumen pembuka. Seketika Ionna melupakan eksitensi apel di genggamannya, memilih membaca sinopsis selagi menunggu. Terdapat empat bait puisi yang terselip di antara jalinan alur. Lagu pembuka akhirnya dimainkan, sementara dirinya menghayati untaian kata dalam bait-bait puisi, Elijah sayangku Gadis malang bergaun ungu Iris seindah angkasa biru Berdansa dalam pelukanku Elijah sayangku Senyummu membunuhku Tatapanmu menjeratku Suaramu ilusiku Elijah sayangku Luka abadi di matamu Kekosongan di hidupmu Kebahagiaan meninggalknmu Tangan Ionna gemetar. Tanpa sadar air mata jatuh ke pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan himpitan sesak dan berusaha tidak membaca bait terakhir. Ia tidak pernah merasa semenyedihkan ini ketika membaca sebuah puisi. Ia tidak pernah merasa tertampar ketika mencermati jalinan alur di kertas sinopsis. Teater Elijah menceritakan kemalangan seorang gadis dari sudut pandang sang pria. Teater Elijah menceritakan seorang gadis yang mencintai seseorang tanpa mendapatkan balasan yang layak. Dan teater Elijah ini—Ionna menyeka air mata sebelum Annie dan Raphael menyadarinya. Ia cegukan menelan tangis. Sembari melepaskan genggaman dan membiarkan kertas itu tertiup angin musim panas, ia mendongak dan mencoba terhanyut menikmati alur pementasan. Elijah sayangku Berhenti menatapku Hapus luka di hatimu Dan berpalinglah dariku Wahai Elijah sayangku Aku bukanlah takdirmu (* * *) “Saya dengar teater Elijah kembali dipentaskan setelah sebelas tahun, My Lord.” Celotehan Robert di ruang kerja marquess terus menyebutkan kata teater, Elijah, dan Elijah. Lucian membiarkan saja utusannya itu bercerita panjang lebar. Robert sangat memuja seni peran dan sering mengajak kekasihnya kencan menonton teater rakyat. Mendengar teater itu kembali dipentaskan setelah sekian tahun pasti membuatnya kepanasan. “Kapan kita pulang, My Lord?’ Yah, ujung-ujungnya Robert akan merajuk. Lucian menyedot pipa mahalnya. Ia terus menggerakkan tangan menulis detail laporan untuk Yang Mulia Raja. “Setelah aku memastikan tidak ada keterlibatan Count Hernsberg dalam peredaran alkohol terlarang,” jawab Lucian memelankan suara. Robert yang duduk di sofa tak jauh darinya memberengut sebal. “Sudah berapa kali Anda memeriksanya? My Lord, sang count tidak bersalah! Kita sudah mengumpulkan bukti-bukti peredaran di Greenpald sejak akhir tahun lalu. Greenpald benar-benar bersih. Tiada satupun orang yang terbukti mengonsumsi alkohol atau bahkan memilikinya!” “Di sanalah letak keanehannya, Robert.” Kepala Lucian terdongak, menatap Robert lurus. “Jika asalnya dari Andasia, maka seluruh wilayah Andasia harus masuk ke daftar hitam. Tidak ada yang namanya persempitan hipotesis. Greenpald terlalu bersih untuk dikatakan aman dari dugaan.” Dalam hati, Robert mengagumi ketegasan dan ketelitian yang dimiliki Lucian. Mereka bergerak secara sembunyi-sembunyi. Memeriksa satu-persatu kota di kerajaan kecil ini demi mengumpulkan bukti. Lucian tidak melewatkan satupun tempat termasuk Greenpald. Bahkan ia menerima perjodohan dari Count Hernsberg semata-mata untuk kepentingan penyelidikan. “Ada satu tempat yang belum kuperiksa,” ujar Lucian setelah sekian menit berlalu. Robert mengerjap cepat, langsung memfokuskan diri. “Ya, dan dimana itu, My Lord?” “Gudang penyimpanan anggur Count Hernsberg. Aku sadar tidak ada pintu yang mengarah pada gudang itu. Setidaknya ada satu di setiap rumah orang kaya dan bangsawan. Count Hernsberg mengoleksi anggurnya secara pribadi di dalam kamar.” Robert menjentikkan jari. “Benar.” “Lady Evangeline membawakanku anggur tempo hari.” Lucian mengerem tangannya lalu menautkan kesepuluh jari, tampak berpikir. “Dia bisa saja membeli anggur di kota saat pagi atau menyimpannya di kamar beberapa hari sebelumnya, juga bahkan meminta anggur pada sang count. Tapi, aku sudah memastikan itu. Lady Evangeline tidak bepergian selama enam bulan terakhir dan tiada tempat penyimpanan anggur di kamarnya. Count Hernsberg pun tidak suka putrinya minum-minum.” “Her Ladyship bisa menyuruh pelayannya pergi ke kota, My Lord,” sahut Robert ikut berpikir keras. Lucian menolak kemungkinan itu. “Tidak, abaikan soal pelayan.” Robert mengangguk patuh. Marquess-nya ini seolah dapat melihat kebenaran di balik hipotesis yang ia buat sendiri. “Yang menjadi masalah utama adalah Lady Evangeline membawa anggur ketika malam hari. Kau paham apa artinya, Robert?” “Mustahil bagi Her Ladyship mendapatkan anggur itu dari luar, sementara di kamar beliau pun tidak ada tempat yang mencurigakan.” “Tepat.” Lucian menggapai pena lalu menggambar denah kediaman Count di permukaan kertas. “Tempat yang paling tidak mungkin dicurigai di rumah ini adalah aula pelayan.” Ia melingkari bagian aula pelayan dengan tinta merah. Robert bangkit lalu berjalan mendekati tuannya. Ia melengkungkan tubuh saat sang marquess menggerakkan telunjukdan berbisik, “Cari tahu struktur bangunan di bagian aula pelayan. Kemungkinan, gudang penyimpanan itu tersembunyi di bawah lantai atau ruang rahasia di salah satu kamar pelayan.” (* * *) Ternyata omongan publik tentang gaya hidup flamboyan bangsawan Shire itu benar adanya. Lucian dapat membuktikannya sendiri dengan menghadiri pesta Duke Rosenhood, delegasi Kerajaan Shire, bersama pasangan Hernsberg dan tunangannya, Lady Evangeline. Begitu ia datang ke Andasia lima tahun silam, sang duke membeli satu-satunya vila besar di kota dengan harga dua kali lipat. Setiap setahun sekali, mengikuti masa season Shire yang diadakan saat musim panas, sang duke selalu mengadakan pesta besar-besaran. Baru kali ini Lucian memenuhi undangan sang duke, merasa tidak enak selama lima tahun tidak menyapa pria flamboyan itu. Lucian sendiri awalnya tidak ingin datang ke vila berinterior mewah ini. Bila bukan karena bujukan Robert yang ingin menuntaskan pekerjaan malam ini juga, Lucian tidak akan mau menyeret kaki ke tempat ini. “Sudah saya putuskan kita akan pulang minggu depan!” tekan Robert, tampak frustasi menyesap tehnya. Lucian mengangkat wajah dari denah yang ia gambar dengan sebuah kernyitan dahi. “Aku tidak memintamu terburu-buru menyelesaikan tugas. Dan lagi, aku yang memutuskan kapan kita kembali.” Robert mendengus. “Ini sudah tahun kelima Anda melewatkan peringatan kematian Marchioness Carnold, My Lord!” “Aku belum melewatkannya. Peringatannya masih bulan depan.” “Ya, dan tahun ini Anda akan melewatkannya, lagi.” Pria bebal itu memalingkan muka saat mata Lucian memicing tajam. Entah mengapa, ia menemukan Ansel kedua dalam diri Robert Parkins. “Kau orang Frindel. Orang-orang Frindel percaya musim panas adalah waktu terbaik melangsungkan pernikahan.” “Tapi, orang-orang Frindel membuang saya.” “Itu tidak menghapus fakta kau memiliki darah Frindel.” Oh, baiklah. Robert menyerah. Ia berencana melamar kekasihnya akhir bulan ini dan menikahinya di penghujung musim panas. Jika ia menunda pernikahan terlalu lama, bisa-bisa kekasihnya pergi ke pelukan pria lain. “Saya mohon, My Lord.” Robert memelas. “Tolong, selamatkan hubungan kami. Anda adalah orang yang bijaksana. Saya berjanji akan mengabdikan diri pada Anda sampai ajal menjemput.” “Kau telah mengatakan kalimat itu ratusan kali, Robert.” “Jadi, Anda akan menghadiri undangan itu?” tanya Robert dengan senyum lebar. Kerlipan bintang berkerlap-kerlip di kedua matanya. “Her Ladyship pasti ikut kalau Anda ikut. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi saya menjelajahi rumah ini.” “Kau memiliki kepercayaan yang tinggi.” Lucian mendesah berat. Dua jempol Robert teracung disertai seringai kemenangan. “Saya mencintai Anda, Marquess Carnold!” Langkah Evangeline terhenti ketika merasakan lengan Lucian mengeras. Mereka baru saja selesai bercengkrama dengan para delegasi kerajaan. Count dan Countess Hernsberg menikmati gurauan orang tua di sisi lain ruangan. Bahkan dengan bangga Evangeline memperkenalkan Lucian sebagai tunangannya di depan para lady. Evangeline mengira Lucian tidak senang dengan caranya diperkenalkan. Untuk kali pertamanya, Lucian muncul di pergaulan kelas atas bersama dirinya sebagai sepasang tunangan. “Apa saya mengacaukan suasana hati Anda, My Lord?” tanya Eva, memperhatikan ekspresi Lucian yang tidak menunjukkan emosi appun. Lucian melepaskan tangan Evangeline dari siku, mengedarkan pandang ke sekitar.Orang-orang ramai berkumpul di tengah aula untuk menyaksikan dansa. “Bagaimana dengan satu dansa, My Lady?” tawarnya tanpa mengindahkan pertanyaan tadi. Evangeline senang bukan kepalang. Ini akan menjadi dansa pertama mereka sejak bertunangan. “Tentu, My Lord.” Pria itu membawanya ke lantai dansa dengan tatapan-tatapan iri para lady. Detik itu, Evangeline merasa dirinya menjadi gadis paling bahagia di dunia. Seolah tak cukup membanggakan statusnya sebagai tunangan Marquess Carnold, kini pun ia akan menegaskan hubungan mereka di depan publik. Pengalaman dansanya dengan jentelmen Andasia sebenarnya tidak bisa dikatakan buruk. Mereka hanya tidak andal karena kurangnya pesta di Andasia. Bagaimana bisa mereka bersenang-senang di atas penderitaan masyarakat Andasia? Evangeline memaklumi kesalahan yang mereka lakukan di tengah dansa, pun dirinya juga tidak berpengalaman dalam hal itu. Namun, Marquess Carnold adalah pengecualian. Tunangannya ini pasti sudah sering memutar tubuh para lady di atas tangannya. Gouvern merupakan kerajaan di mana hiburan masyarakat kelas atas menjadi makanan sehari-hari. Mereka suka berpesta, melibatkan diri dalam pergaulan sosial, dan memburu dansa pertama para lady. Evangeline bertanya-tanya berapa banyak lady yang mendapatkan Marquess Carnold sebagai pasangan dansa pertama. Para lady Kerajaan Gouvern mampu menembak dua burung dalam sekaligus dengan mengandalkan kecantikan mereka. Dengar-dengar, adik perempuan Duke Laundrell si gila perang adalah yang tercantik di pergaulan kelas atas. Evangeline penasaran seperti apa paras Lady Laundrell yang pernah terlibat rumor kencan dengan tunangannya itu. Cepat atau lambat, saat ia ikut Lucian ke Gouvern, mereka pasti akan bertemu. “My Lady.” Panggilan lembut Lucian menyadarkan Evangeline. Lagu pembuka telah dilantunkan. Mereka saling membungkuk kemudian menyatukan telapak tangan dan jari. Evangeline merona saat sentuhan Lucian mendarat di pinggangnya. Ia mendongak membalas tatapan pria itu. “Bimbing saya, My Lord,” bisiknya gugup. Lucian mengangguk sekali. “Dengan senang hati, My Lady.” Tangan-tangan terampil para musisi menari lincah di atas alat-alat musik. Seorang pemain cello mendominasi melodi dan menghinoptis seluruh manusia di aula dengan permainan lembutnya. Para lady berputar di atas sepatu mereka, meliuk-liukkan badan, dan mengalungkan tangan di leher sang pria ketika putaran berakhir. Evangeline terhanyut dalam cahaya hijau Lucian. Pria itu sangat tampan. Dia memiliki ketampanan yang tajam. Dengan jakun menonjol sempurna di leher, rahang tegas dan tulang dagu lancip, pria ini memiliki bulu mata lentik yang lebat. Manik hijau Lucian bersembunyi di balik bulu mata itu, sesekali berpaling untuk melihat arah putaran pasangan lain. Evangeline merasa seluruh sel di tubuhnya bergetar gembira merasakan tiap sentuhan, getaran, dan kehangatan yang dihantarkan Lucian pada dirinya. Euforia dan efek memabukkan ini membuat jantungnya menggila di dalam sana. “Lucian.” Lucian tersentak. Evangeline memanggil namanya di tengah-tengah dansa. “Terlalu banyak orang di sini, My Lady,” katanya memperingatkan. Senyum hinggap di bibir ranum Evangeline. Gadis itu menempelkan tangan yang dilapisi sarung tangan brokat di pipi Lucian, mengusap rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar rahang pia itu. “Kau terlihat seratus kali lebih maskulin dengan penampilanmu yang sekarang. Apa kau sengaja tidak mencukurnya selama berhari-hari?” Embusan napas Lucian menerpa wajah cantik Evangeline. Evangeline tahu pertanyaannya barusan merusak suasana dansa. “Mari kita fokuskan langkah dan samakan ketukan iramanya, My Lady.” Lucian menolak berkontak mata dengan gadis itu. Kenapa—kenapa perasaan ini begitu familier? Ia merasa de javu. “Hm, kau sangat sibuk bekerja sampai lupa waktu. Aku tidak mengerti kenapa kau bekerja gila-gilaan di ruang kerja, sementara tugasmu di Greenpald bisa dikatakan tuntas.” “Ada beberapa hal yang belum sepenuhnya tuntas, My Lady.” Mendadak Lucian gelisah. Benar. Ia lupa dengan nasib gadis ini dan Ibunya jika Count Hernsberg terbukti bersalah. Dia tidak bisa melihat hidup orang lain hancur karena dirinya. Lucian mulai mempertanyakan apakah keputusan yang ia ambil ini benar atau salah. Evangeline tidak mungkin bisa menerima kenyataan Ayahnya merupakan seorang kriminal. Countess Hernsberg pun akan hidup terlantu-lantu tanpa sepeserpun harta yang tertinggal. Penyelidikan ini akan menghancurkan hidup semua orang. Lalu Evangeline akan merasa ditipu dan mengggap Lucian memanfaatkan pertunangan mereka demi kepentingan penyelidikan. Tepatnya, bertunangan demi penyelidikan. Lucian menahan napas, dan tampaknya ketegangan itu disadari Evangeline. “Kenapa?” Evangeline mengangkat genggaman mereka lalu berputar lincah di atas heel. “Ada sesuatu yang mengganggumu?” Gelengan Lucian mengakhiri sesi dansa mereka. Dengan cepat, keduanya menepi dan membiarkan pasangan lain masuk. “Minggu depan, kita akan berlayar ke Gouvern.” “Apa? Kenapa?” Mulut Evangeline ternganga lebar. Tatapan tak percaya ia lemparkan takut-takut telinganya salah dengar. “Apa Raja Gouvern telah menurunkan surat perintah pemberhentian masa tugasmu, Luce?” Apa aku sedang lari dari masalah? d**a Lucian bergemuruh dengan cara yang tidak menyenangkan. Tidak. Hipotesis belum dipastikan. Sebelumnya aku tidak pernah ragu mengambil keputusan. Tapi, kenapa— “Lucian, Duke Rosenhood menghampiri kita.” Lucian tersadar dari lamunan dan segera membungkuk bersama Evangeline di sampingnya. Duke Rosenhood menyalami mereka akrab. Kerajaan Shire memang terkenal dengan budaya beramah-tamahnya. “Apa kalian menikmati pestanya? Kalian tampak serasi di lantai dansa tadi.” “Terima kasih atas undangannya, Your Grace.” Eva menyahut sambil membungkuk sopan. “Kami sangat menikmati pesta Anda.” Lucian tidak menjawab dan hanya mengulum senyum. Detik berikutnya, ia membiarkan Evangeline bercengkrama dengan sang duke selagi dirinya memikirkan cara terbaik—keputusan terbaik untuk menyelamatkan keluarga Hernsberg dari kehancuran. Kau pernah melakukannya untuk keluarga Laundrell, Lucian Carnold. Kali ini kau lebih dari sekadar mampu. Jangan ada keraguan dalam hatimu. To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN