Ionna menatap bekas luka memanjang di pergelangan tangannya. Sudah lama sejak kali pertama ia tidak menorehkan luka baru di sana. Mungkin sekitar dua atau tiga tahun, tiada hal yang memicu ketidakwarasannya. Beberapa tahun terakhir kehidupannya berjalan tanpa masalah yang berarti.
Sedikitnya, Ionna harus bersyukur karena sang ibu memberikan kelonggaran terkait pernikahan. Ia masih memiliki kesempatan untuk menunggu Lucian sampai akhir tahun. Kali ini, tahun ini, ia yakin Lucian akan kembali. Cepat atau lambat pria itu pasti akan kembali ke Celeton. Berita keberhasilan sang marquess telah menyebar hingga pelosok negeri. Setiap ia mendatangi pesta dan perjamuan, para bangsawan selalu menggaungkan kata pilihan terbaik Raja.
Tidak jarang pula ada yang membandingkan Kakak dan Lucian di depannya. Ionna tidak tahu bagaimana cara menanggapi topik itu bila ditanya siapa yang terbaik di antara keduanya. Orang-orang itu sengaja menjebaknya mengingat rumor kencan lima tahun silam. Selain itu, tiada seorang pun yang tidak mengetahui hubungan dekat mendiang Marchioness Carnold dan Ionna. Di manapun obrolan tentang Lucian berada, maka di situlah para penggosip membawa-bawa nama Lady Ionna Laundrell.
Ionna menyarungkan kembali sarung tangan pendeknya lalu merapikan kelepak blouse yang ia kenakan.
“Annie,” panggilnya pada Annie yang sibuk mengganti bunga kering di vas. Pelayan pribadinya itu menoleh tanpa menyahut.
“Di mana Sir Raphael?”
“Sedang berlatih bersama kesatria lain, My Lady.”
“Bisa kau bawa dia ke mari?”
“Akan saya lakukan.”
Detik berikutnya, Annie menghilang di balik pintu. Ionna menunggu sambil mengintip Annie yang berlari kecil melintasi halaman rumah melalui jendela kamar. Tak lebih dari lima belas menit kemudian, pelayannya itu membawa serta Kesatria Raphael yang bermandikan keringat. Para kesatria biasa memulai latihan pagi sebelum matahari terbit.
“Saya di sini, My Lady.”
Ionna memperhatikan penampilan Raphael dari atas hingga bawah, mengagumi gumpalan otot di tubuhnya. Berapa lama dia melatih otot-otot itu? Dia terlihat seperti beruang besar tanpa seragam resminya. Mengenakan kaus putih berlengan pendek, celana hitam, dan sepatu boots tinggi, pria itu tampak gagah dan besar di samping Annie yang sekecil semut. Ionna menyeringai menemukan semburat merah di telinga pria itu. Ia sadar dirinya terlalu lama memperhatikan Raphael.
“Lepas pelindung-pelindng itu, Sir Raphael. Taruh saja di lantai.”
Raphael menuruti perintah tanpa mengeluh. Dilepasnya satu-persatu sabuk, pelindung d**a, pelindung siku, lutut ,dan sarung tangan kulit. Seluruhnya terjatuh dan tergeletak dipermukaan lantai.
Selanjutnya, giliran Annie yang menerima perintah.
“Lepas celemekmu.”
“Maaf?”
“Annie Sayangku, lepaskan celemekmu,” ulang Ionna tak sabar.
Sesaat Annie dan Raphael saling bertukar pandang. Ia pun melepas celemek dan menyampirkannya di lengan kiri. “Ada apa sebenarnya, My Lady?” tanya Annie gelisah. Apa Ionna akan menghukum mereka? Tetapi, ia dan Raphael tidak melakukan kesalahan apapun!
Kilatan dalam aquamarine Ionna membuat Annie memiringkan kepala. Oh, tampaknya gadis itu ingin mereka melakukan sesuatu.
“Pasar kota itu.” Jeda sesaat, Ionna memalingkan muka malu. “Bagaimana bentuknya?”
Annie berusaha keras menahan tawa. Ya Tuhan, apa gerangan yang merasuki Nona Mudanya di hari sepagi ini? Kenapa tiba-tiba gadis itu membahas pasar kota?
“My Lady, apa Anda ingin pergi ke pasar kota?” tanyanya jahil.
Ionna tidak menjawab.
Tawa Annie menyembur bak semburan air dari selang tanaman. “My Lady, Anda benar-benar ingin pergi?”
“Kau menertawakanku?”
“Habisnya itu—” Annie hampir tersedak tawanya sendiri. Ia memukul-mukul punggung Raphael agar pria itu membantu bicaranya.
“Kami tidak menyangka Anda tertarik pada pasar kota,” timpal Raphael sesudahnya.
Ionna memberengut lucu. Wajahnya merah padam menahan malu. “Aku dengar ada banyak hiburan di pasar kota.” Ia menunduk dengan bibir mengerucut. “Pelayan dapur yang melewati kamarku berbicara tentang teater rakyat. Selama ini yang kutonton hanyalah teater membosankan di Ephiron Theatro. Aku penasaran, aku ingin menonton pertunjukan yang berbeda.”
Batuk mengakhiri tawa Annie. Dengan sudut mata berair dan perut kram, Annie pun berkata, “Jadi, Anda ingin menyaksikan teater rakyat di pasar kota, My Lady?”
Ionna mengangguk seperti bocah penurut.
Annie melirik jam di dinding. “Teater biasanya dimulai pukul satu siang. Para aktor suka membakar kulit di bawah sinar matahari musim panas.”
“Eum, apa boleh aku pergi?”
“Kenapa tidak, Lady?”
Raphael terkesiap karena Annie mengiyakan ucapan Ionna begitu saja. “Tidak, tidak. Saya rasa itu bukan ide yang bagus.”
“Anda ini tidak seru, ya, Sir,” cecar Annie sambil mendecih pelan. “Lady kita akhirnya ingin melakukan sesuatu yang belum pernah beliau lakukan. Sekali-kali berpetualang di dunia luar tidak buruk juga, bukan?”
“Itu benar, tapi bagaimana dengan Duke dan Duchess?”
“Mereka menghadiri pesta ulang tahun Duchess Magnolia. Mereka tidak akan pulang hingga tengah malam.”
“Miss Jam—”
“Aku tidak akan pergi bila Sir Raphael tidak mengizinkan.”
Raphael serba salah. Dilema luar biasa mendera hati Raphael karena tatapan anak anjing sang lady. Manik biru laut itu berkaca-kaca, ditambah Annie Jam yang menautkan jemari seolah sedang memohon. Lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang didominasi perempuan membuat keyakinan Raphael goyah. Adik dan kakak-kakak perempuannya selalu memohon menggunkan trik yang sama.
“Kita bisa kembali setelah teaternya selesai.”
Annie melompat kegirangan, sementara Ionna langsung bertepuk tangan gembira.
“Terima kasih, Sir Raphael!”
Raphael mengembuskan napas berat. “Sebelumnya, kita harus menyiapkan penyamaran, My Lady. Jangan sampai kita ketahuan dan menimbulkan kehebohan di pasar kota.”
“Tenang saja, aku sudah menyiapkannya, kok. Itu sebabnya aku menyuruh kalian melepas barang-barang itu.” Ionna bangkit dengan senyum mengembang di bibir. Gadis itu meminta mereka mendekatinya untuk melihat kotak yang ia simpan di bawah ranjang. Tutup kotak pun dibuka, memperlihatkan tiga buah jubah berbeda warna terlipat rapi di dalamnya.
Ionna mendongak menatap kesatria dan pelayan pribadinya bergantian. Semburat kemerahan menaburi pipinya bak selai stroberi di atas roti.
“Bisakah kita pergi sekarang, Teman-teman?”
---
Sepanjang perjalanan menuju tempat teater, Annie tidak berhenti mengomeli Raphael yang terlalu bersikap waspada. Sebelumnya, Raphael sendiri yang memperingatkan mereka supaya bersikap santai dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Namun alih-alih menerapkan peringatan sendiri, Raphael justru memasang badan tiap kali seseorang hendak menyenggol Ionna. Pria itu bahkan dengan keras kepala mempertahankan bahasa formalnya.
Jika begini terus, lambat laun orang-oang pasar akan mencurigai penyamaran mereka.
“Panggil aku Ahn, Lady Ionna Ivory, dan sebut dirimu Ralph, Sir,” bisik Annie saat mereka berhenti di stan buah. Ionna tengah melihat-lihat apel merah mengkilap yang menggunung di keranjang buah. Apel merah adalah buah kesukaannya.
“Ahn, bisakah aku membeli ini?” tunjuk Ionna pada apel-apel gemuk itu.
Annie mengangguk lalu bergerak maju memandangi satu-persatu apel.
“Apa yang kaulakukan?”
“Memilihkan apel untukmu.” Sesungguhnya, Annie belum terbiasa dengan perubahan mendadak ini. Ini kali pertamanya mereka berinteraksi tanpa batasan status dan peran majikan-bawahan. Ionna bilang, tidak buruk juga melupakan t***k-bengek perbedaan sosial di antara mereka. Sayangnya, seandainya Duchess mendengar hal ini, pasti ia dan Raphael sudah dibakar hidup-hidup.
“Apa bedanya? Semua terlihat sama di mataku.”
Annie mengambil dua butir apel sebagai contoh. “Mungkin bagimu kualitas apel ini sama-sama bagus, tapi lihat.” Ia memutar apel-apel tersebut dan menunjukkan lubang di salah satu apel. “Jika tidak diperhatikan baik-baik, kau bisa memakan ulat.”
Ionna tersenyum kemudian meraih apel yang bagus. Diperhatikannya sisi bulat apel saksama, mencari kekurangan yang tidak ia temukan pada apel tersebut. “Apel yang sempurna ini tidak seperti diriku bukan, Ahn?”
Annie menoleh. Kegiatan memilah apelnya terhenti sejenak.”Ya, apa maksudmu?”
“Semua orang menganggapku sempurna. Penialaian mereka akan berubah bila suatu saat nanti mereka melihat luka di tanganku.”
Tatapan bingung Raphael di belakang menyadarkan Annie bahwa ia telah salah memilih kata. “Tidak, tidak, maafkan aku, Ivory.” Ia mengenggam jemari Ionna dengan perasaan bersalah. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Tolong, jangan bersedih.”
“Apa yang kaukatakan? Sebaiknya cepat pilih apelnya.” Ionna mengerling ke arah keranjang apel. “Belilah secukupnya, Eum, dalam jumlah yang cukup dimakan kita bertiga selama teater?”
Persetan dengan apel, Annie lebih mengkhawatirkan cara berpikir Nona Mudanya. Benar Ionna telah belajar mengontrol diri selama lima tahun ini. Namun, ketakutannya terhadap Duchess Laundrell sama sekali tidak berubah. Sang duchess selalu menuntut kesempurnaan dan berekspektasi tinggi kepada putrinya. Itu sebabnya Annie menyetujui permintaan Ionna. Ia ingin Ladynya bersenang-senang di lingkungan baru. Kehidupan di kediaman Laundrell sangatlah menyiksa. Tidak ada ruang bagi gadis itu bernapas seleluasa di sini. Annie rasa Ionna berhak mendapatkan secuil kebahagiaan di luar sangkarnya.
Selesai memilih apel, mereka pun melanjutkan perjalanan menyusuri pasar kota. Tampak beberapa manusia berjubah seperti mereka berkeliaran di tengah-tengh masyarakat. Annie bilang, para bangsawan dan keluarga kerajaan sering melakukan penyamaran sebagai kesenangan lain. Keramaian di pasar kota berbanding seratus delapan puluh derajat dengan keramaian di pergaulan kelas atas. Mereka tidak perlu memperhatikan etiket bangsawan, bertindak dengan menjaga batasan, maupun memikirkan kata-kata yang hendak diucapkan.
Selain itu, bagian terbaiknya adalah tiada perhiasan, gaun-gaun dan korset menyesakkan, jentelmen berjas rapi, para lady yang mengejar-ngejar jentelmen di pesta dansa, dan tentunya Duchess Laundrell yang senantiasa mengawasi setiap gerak-gerik Ionna. Diam-diam Ionna menikmati kesederhanaan ini. Lingkungan ini hanya dipenuhi kesederhanaan dan gemerlap kebahagiaan,
Sesekali mereka berhenti di beberapa stan. Ionna membeli daging yang ditusuk bersama paprika, kentang, tomat, dan lobak lalu memakannya sambil berjalan. Gadis itu terkejut dengan kelezaran yang berpesta-pora di mulutnya. Sama sekali berbeda dengan makanan yang selama ini ia makan. Makanan ini tidak dibuat oleh tangan koki profesional, tetapi makanan ini sama enaknya dengan steak buatan koki keluarga Laundrell.
Makanan kedua adalah permen kapas. Ionna menutup mulut saat permen itu meleleh dan meninggalkan rasa manis di mulutnya. Raphael yang awalnya bersikap kaku pun pada akhirnya membiarkan dirinya mengikuti arus. Mereka berkeliling mengahampiri satu-persatu stan makanan dan mencicipi kekayaan kuliner masyarakat Gouvern. Lagipula, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali!
Di sela-sela perjalanan, Ionna yang dilanda keingintahuan tinggi mendekati sebuah stan bertenda hitam. Para gadis keluar dari tenda hitam itu dengan ekspresi beragam. Ionna pun menarik-narik jubah cokelat Annie supaya pelayannya itu mengizinkannya masuk.
“Kita masih memiliki waktu satu jam lagi sebelum teaternya dimulai,” kata Annie sambil memeriksa arloji saku.
Raphael sudah akan melayangkan sebuah protes ketika Annie masuk menggandeng tangan sang lady. Apa semua gadis di dunia ini memang keras kepala, huh?
“Ahn, di sini gelap sekali,” bisik Ionna sembari beringsut di belakang Annie.
Annie tertawa pelan. Mereka duduk di kursi kayu yang kebetulan kosong. Seorang nenek tua berjubah hitam berbalik menghadap mereka.
“Lady Laundrell, apa yang membawa Anda ke mari?’
Apa Ionna sedang bermimpi? Kenapa nenek ini mengetahui nama aslinya?
Nenek itu menyapukan kuas ke kristal ramal yang berdebu. Sudah lama sejak seorang gadis bangsawan mengunjungi stannya. “Anda bisa membuka tudung jubah itu, My Lady. Jangan khawatir. Di sini aman.”
Ionna dan Annie pun menurunkan tudung jubah mereka. Keduanya terbatuk manakala si nenek meniupkan debu beraroma aneh ke arah mereka.
“Uhuk! Apa ini?”
“Untuk memperjelas garis yang tidak bisa kalian lihat, My Lady.” Ionna sungguh tidak mengerti apa yang dibicarakan wanita tua ini. “Pernakah kalian mendengar sesuatu yang namanya benang merah, Ladies? Sekarang, aku bisa melihat benang itu di jari kelingking kalian dengan jelas.”
Kerutan samar muncul di kening Ionna. Ia mengangkat jari kelingking, tetapi tidak menemukan benang merah atau apalah namanya itu.
“Miss Jam, Anda memiliki rambut pirang madu dan manik cokelat sewarna tanah.”
Secara otomatis Annie menyentuh rambut panjangnya yang dikuncir dua.
“Pria di luar sana, dia seorang kesatria bukan? Takdir kalian sangat dekat. Hitam yang mewarnai rambut dan mata pria itu akan melindungimu di masa depan. Cobalah jujur dengan perasaanmu sendiri, Miss Jam.”
Hah?
Rahang Ionna jatuh menatap Annie yang tercengang di sampingnya. Ia bukan gadis debutan polos yang memahami cinta dalam artian sederhana. Apa selama ini Annie menyukai Raphael? Tapi, sejak kapan? Ionna memicingkan mata, membisikkan “Kau berutang satu penjelasan padaku” lalu kembali menoleh ketika namanya dipanggil.
“Lady Ionna Laundrell.”
“Ya?”
“Warna senja yang indah. Saya merasa sedang menikmati matahari tenggelam di atas bukit.”
Kejutan kali ini berhasil merenggut oksigen di tenggorokan Ionna. Ia kesulitan bernapas saat mata hitam di balik tudung jubah itu menatapnya lekat. Ada kesan misterius dan mistis yang Ionna dapatkan dari mata itu. Warna hitamnya yang dalam dan tak bercahaya membuat bulu kuduk Ionna meremang. Perasaan aneh apa ini?
Ionna pun merilekskan napasnya yang tersekat. Ini kali pertamanya ia berhadapan dengan seorang peramal. Kenapa nenek ini tidak mengabdi saja pada kuil suci dan meramalkan masa depan kerajaan?
“Ramalan masa depan saya tidak ada hubungannya dengan masa depan kerajaan, My Lady,” sahut nenek dengan suara rentanya yang serak.
Seketika Ionna menghentikan seluruh pikirannya. Orang di seberang meja ini menakutkan sekali.
“Lalu, mata biru Anda, Anda mendapatkannya dari mendiang Duke Laundrell, bukan?”
Ionna mengangguk tanpa suara.
Nenek peramal melengkungkan senyum di bibir pucatnya. Ia mencondongkan badan, mengulurkan tangan menyeberangi meja, lalu menelusuri helai merah Ionna yang menyala dalam keremangan. Ionna memelototi Annie yang hendak memisahkan tangan si nenek dari rambutnya.
“Anda tahu kenapa warna mata His Grace segelap dan sebiru batu tanzanite? Ada warna ungu yang bersinar di dalam biru itu.”
“Mama bilang, kakak mewarisi mata mendiang Kakek,” jawab Ionna, mulai merasa risih dengan sentuhan di rambutnya. Omong-omong, apa keluarga Laundrell pernah mengundang orang ini ke rumah? Selain mengetahui namanya, nenek ini juga mengetahui ciri-ciri fisik kakak, ayah, dan kakek yang telah lama meningal.
Peramal ini seperti seorang penyihir.
“Apa Anda terbiasa menerima kebohongan, My Lady?”
“Apa?”
“My Lady, ayo, kita pergi dari sin—”
“His Grace tidak mewarisi mata itu dari siapapun.”
Entah kenapa, Ionna merasa tertarik dengan fakta ini. Ia pun memutuskan mendengarkan lebih lanjut. “Sinar ungu dalam manik His Grace muncul secara ajaib di usianya yang ketiga. Tanzanite itu telah ditakdirkan menyaksikan pembunuhan brutal di medan perang. Jika His Grace memiliki warna sejernih mata Anda, beliau tidak akan sanggup melihat pertumpahan darah dan membunuh orang, My Lady.”
Mata terkutuk? Ionna pernah mendengar mitos itu, namun ia tidak menyangka mitos itu benar-benar ada dan terjadi pada Kakaknya sendiri. Tiada seorang pun yang memberitahunya tentang perubahan warna mata Ansel.
“Sedangkan aquamarine Anda,”
Ionna bergidik ngeri. Seringai muncul menggantikan senyuman nenek peramal. Dengan jantung berdentum keras, ia menunggu dalam kegugupan sambil menggigit daging pipi.
Nenek peramal menyalakan dupa lalu menyandarkan punggung ke kursi.
“Aquamarine Anda terlalu pucat dan pudar, tidak seperti milik mendiang duke yang indah. My Lady, Anda telah ditakdirkan jatuh ke dalam luka. Jika Anda terus mencintai pria itu, maka Anda tidak akan menemukan akhir yang bahagia. Sayang sekali, tetapi benang merah kalian terputus di tengah jalan.”
To be continued