"Ini kenapa jerawat kamu malah liar gini sih, Dek? Udah lewat masa puber padahal. Jangan-jangan puber kamu telat ya?" cerocos Mbak Syila tanpa peduli dengan keberadaan Mas Ilham yang sedang memangku Rizal. Malas kusahuti omongan Mbak Syila. Mending mendengarkan Rizal yang tertawa karena ulah Mas Ilham. Terus tadi apa kata Mbak Syila tentang jerawatku, liar? Dikiranya ini pemukiman liar apa?
"ADOH!" s****n, ini jerawat ditekan pake jeruk nipis yang baru dipotongnya. Mana perih banget lagi. Jadi gini, aku lagi ada dikamar Mbak Syila, pagi tadi aku menggedor kamarnya untuk membantuku memakai masker jeruk nipis yang dibuat Mama. Biasanya Mama yang membantu, cuma Mama lagi keluar sama Bapak. Dan posisiku itu lagi tidur berbaring dikasur Mbak Syila. "Ditanya kok malah liatin si Rizal, jawab, Dek!"
"Kemarin habis ngukur beda tinggi di jalan sama anak-anak magang. Ya Allah, mana panas luar biasa, untungnya ada yang jualan cincau lewat. Banyak polusi, kendaraan lewat, keringatan. Duhh. Pelanin sih Mbak."
"Makanya pake masker, pake kacamata yang agak gedean. Gak pake sun screen?"
"Ih Mbak Syila ini gimana toh, mana sempet buat touch up, orang kita itu ngelihat hasilnya aja harus ngintip dilensa. Udah pake masker mbak, cuma karena panas aku buka deh, pake sun screen, cuma lengket jadi aku cuci muka lagi." Kulihat Mbak Syila menghela napas. Mungkin dia lelah meladeni adik tercantiknya ini. "Emang gak ada cowok?" tanyanya sambil menggosokkan potongan lidah buaya yang sudah dibelah pada hidungku. Untuk menghilangkan komedo katanya.
"Ada, karena gak mungkin cewek ngangkutin barang-barang segede itu. Tapikan tetep aja harus bantuin juga." kuarahkan tanganku menyeka bagian cuping hidung yang terkena lendir lidah buaya. Gatel, geli. "Terus kamu kemarin pas sampe rumah itu mandi ora?"
"Ya mandilah, gerah body juga masa nggak mandi."
"Good, bersihin wajah pake cleanser? Terus pake sheet mask yang ada diatas meja rias kamu?"
"Lupa Mbak." kutampilkan wajah pura-pura memelas pada mbak satu-satunya.
"Ah, males lah nyetok sheet mask kamu, itu selembarnya delapan belas ribu loh. Terus gak kamu pake, mending mbak taruh di klinik mbak aja atau bisa mbak pake sendiri."
"Ya jangan lah, nanti kupake."
Setelahnya tak ada percakapan diantara kami. Rizal bahkan sudah tidur dan ditaruh dalam box bayinya. Kemudian Mas Ilham keluar dari kamar. Kunyalakan hapeku lalu bermain game disana. Kukecilkan suara agar tidak mengganggu Rizal. Tadi aku sempat mengecek apakah ada pesan dari Galih, namun nihil.
"Dek." kutolehkan pandanganku kearah Mbak Syila. Perawatannya sudah selesai, namun maskernya belum aku lepas. Harus menunggu kata Mbak Syila. "Orang tuanya Galih oke kamu gini?"
"Karena aku jerawatan?" kulihat Mbak Syila mengangguk.
"Waktu itu ketemu pertama kali sama Bundanya Galih pas lagi adem ayem jerawatnya. Terus kedua lagi jerawatan juga. Cuma Bunda gak bahas gimana gitu Mbak."
"Oh ya bagus lah. Si Galih itu anak tunggal?"
"Iya.”
Kemudian Mbak Syila mengangguk saja, "Udah ini, sana cuci muka, pake air anget ya." kulangkahkan kakiku keluar dari kamar Mbak Syila. Kubawa kaca punya Mbak Syila. Kemudian turun untuk mencari air hangat dalam termos Mama.
Kutolehkan kepalaku ke ruang tengah saat merasa melihat dua kepala disana. Satunya punya Mas Ilham, dan satunya ... GALIH! Dan dia melihatku. Yang masih pake masker, pake baby doll, belum sisiran, cuma cuci muka sama sikat gigi tadi pagi. Dengan langkah cepat aku berjalan ke dapur. Mencari sebuah baskom dan menuangkan air panas kedalamnya. Kutambahkan sedikit air dingin agar sesuai suhunya. Kudekatkan cermin yang kubawa kedepan mukaku. Kemudian membasuh wajahku. Sepuluh menit kemudian wajahku sudah bersih. Bersih dari masker. Ku cuci baskom Mama, kuletakkan pada rak biasanya.
"UUAAAAAA!!" jeritku mewakilkan kekagetanku akan sosok yang tiba-tiba muncul.
"Untung kacanya gak pecah." ucap Galih lebih mementingkan kaca daripada aku. "Kamu ngagetin banget sih." kataku dengan nada sedikit naik. "Terus kenapa bilang untung kacanya gak pecah?" Galih tak menganggap ucapanku barusan, dia lebih memilih mengusap tanganku yang basah dengan sapu tangannya, Galih menatapku dan berkata, "Kalau kacanya pecah, terus kena kaki kamu gimana? Kamu tambah sakit nanti." dan diakhiri dengan sentilan di dahiku. Sakit loh, tenaga Galih itu gajah memang.
Sekarang Galih menarik tanganku untuk keluar dari area dapur, dan berhenti di ruang tengah. Mbak Syila yang sudah disana menemani Mas Ilham, mengangsurkan sebuah handuk bersih padaku. Kuterima dan kugunakan untuk mengeringkan wajahku. Duduk disebelah Galih yang sudah kece badai, aku bagaikan orang terkena badai.
"Sisiran sana dulu." kata Mbak Syila cukup kencang. Dan benar saja, setelah mendengar hal itu Galih langsung menolehkan kepala padaku. "Kamu belum sisiran?" tanya Galih, kuangguki saja sebagai jawaban. Kemudian pergi kekamarku. Tanggung kalau hanya sisiran. Kuputuskan untuk mandi kilat, kemudian memakai baju rumahanku.
Pada saat aku turun, kulihat hanya Mbak Syila dan Mas Ilham yang disana. Tanpa Galih. "Loh, Galih kemana?"
"Balik kekantor, ada panggilan mendadak barusan. Itu ada titipan dari Galih buat kamu." jawab Mas Ilham sambil menunjuk paper bag diatas meja. Kubawa paper bag itu menuju kamarku. Kubuka isinya, dan ternyata sebuah topi lapangan. Ada nama tulisan 'Saira'. Oh! Ada selembar kertas bertulisan disana.
Lain kali kalau kelapangan pake topi. Panas soalnya.
Pake masker juga. Selain buat ngelindungi wajah, buat ngelindungi pernapasan juga, Num.
Oh iya, hati-hati juga.
Galih
Kok jadi sweet gini sih, si Galih. Maklum keseringan di biasain sama Galih, jadi gini. Kukirimkan sebuah pesan pada Galih. Duh.. Kalau gini kan, aku gak kuat.
Numa
Makasih, Galih gantengnya Bunda.
padahal aku udah mandi tadi, eh, kamunya pergi. Hati-hati.
* * * * *