eL De Er-an sama Galih itu udah biasa. Meskipun kadang kangen. Dan sialnya aku dan Galih paling gengsi kalau disuruh bilang 'Aku Kangen.' Udah cuma dua kata itu, susah luar biasa.Bahkan pernah suatu waktu aku tanya sama Mas Ilham. Apa pernah dia bilang kangen sama Mbak Syila, dan jawaban Mas Ilham adalah bilang kangennya pas udah kangen banget. Jangan sering-sering, kata Mas Ilham. Cowok itu gak suka terlalu menye-menye dia bilang. Tapi kalau ada yang menye-menye itu lain lagi.Aku aja gak pernah bilang kangen sama Galih. Galihpun gak pernah bilang kangen ke aku.
"Kamu kenapa?" tanya Pingkan. Teman kantorku. "Kamu sering bilang kangen gak sama suamimu?" tanyaku sambil mengamati Pingkan yang sedang berkutat dengan aplikasi petanya. "Sering, waktu pacaran dulu. Cuma pas nikah jarang. Paling kalau aku lagi survey baru ngomong kangen." jelas Pingkan sambil memutar kursinya menghadapku.
" Kenapa?" tanya Pingkan. "Aku kangen sama Galih." jawabku. "Ya bilanglah!"
"Masalahnya aku dan Galih gak pernah ngomong kangen."
"Sekali aja? Gak pernah?"
"Enggak." jawabku. "Kenapa gak pernah ngomong?" tanya si Pingkan. "Dia tukang ngejekin." jawabku. "Haha, ya sabar aja." katanya. k*****t si Pingkan emang.
Numa
Lagi apa?
Kukirim pesan tersebut kepada Galih. Lalu mulai ku jalankan aplikasiku untuk memasukkan data surveyku kemarin.Sesekali kulirik gawaiku berharap pesanku dibalas oleh Galih. Namun sampai setengah jam kutunggu tak ada tanda pesanku dibalas. "Terserah." kataku kasar sambil membalikkan ponselku.
Kemudian kulanjutkan kegiatanku memasukkan data atribut kedalam aplikasi didepanku. Kuabaikan getaran dari ponselku. Masa bodo! Kulirik kalender kecil diatas mejaku. Ini adalah tanggal tanggal sensitif. Karena minggu ini kemungkinan aku akan datang bulan.Muak dengan getaran dari ponselku. Kuputuskan untuk melihatnya. Tertera nama Mas Ilham disana. Kukira Galih.
"Halo, Mas." ucapku. Kemudian kudengar ucapan syukur dari Mas Ilham. "Dimana, Dek? Masih dikantor?" tanya Mas Ilham. Ini kenapa sih? "Iya, kenapa?"
"Jangan kemana-mana. Mas otewe." kemudian panggilan itu diakhiri.
Akhirnya aku izin untuk pulang lebih cepat kepada atasanku. Karena kantor konsultan dan surveyor ini tidak besar dan tidak kecil, jadi kami lebih seperti keluarga.Aku menunggu Mas Ilham menjemputku di pelataran kantor. Kemudian kurasakan ponselku kembali bergetar.
Galih
Maaf baru bales.
Habis rapat sama pimpinan.
Numa
Iya. Btw Gal aku lagi jerawatan.
Kemudian kusimpan ponsel itu didalam tas saat melihat mobil Mas Ilham memasuki pelataran kantor. Setelah berhenti didepanku, aku langsung masuk kedalamnya. Satu yang kuketahui dari jalan yang dilalui mobil ini,adalah jalan menuju rumah sakit.
* * * * *
Dugaanku benar, setelah mobil parkir sempurna, aku mengikuti langkah Mas Ilham. Untungnya aku memakai kulot hari ini, jadi aku bisa mengikuti langkah lebarnya. "Kita ngapain ke rumah sakit sih, Mas?”
"Syila lahiran. Aku disuruh jemput kamu jadinya." ucapnya dengan wajah berseri. Tentu saja, siapa yang tidak bahagia buah hati yang dinantikan telah lahir. Terlebih Mbak Syila dan Mas Ilham kosong sekitar empat tahun. "Serius, Mas!" pekikku seakan berada dihutan, lalu segera kuucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa. "Iya." jawabnya yakin. "Cowok, Num, Yuk masuk." katanya sambil membuka pintu sebuah kamar.
Diruangan ini berisi Mama, Bapak, Ibu Mas Ilham, Mbak Syila yang sedang menyusui keponakanku, kemudian ada aku dan Mas Ilham. "Sini." kata Mama. Kulihat bayi itu asyik menghisap makanannya dari Mbak Syila. Kurasakan mataku memanas. Bagaimanapun aku ikut bahagia kalau Mbak Syila bahagia.
"Kok kamu ikutan nangis sih?" kata Mbak Syila sambil menarik tanganku mendekat.
"Pegang coba." perintahnya. Kugelengkan kepalaku. "Belum cuci tangan." jawabku. Kemudian kepalanya mengangguk dan mengusap sayang punggung kecil itu. Kulihat Bapak keluar dari kamar itu. Kuikuti perbuatan Bapak. Lalu duduk disebelahnya. Menyandarkan kepalaku pada bahu itu.
"Ciye, sekarang adek jadi tante. Jangan sering berantem sama Mbak Syila lagi." kata Bapak sambil mengusap kepalaku. "Berantem itu wajar, Pak. Rasanya gak lengkap kalau gak berantem." jawabku sambil memejamkan mata. "Gimana sama si Galih?" tanya Bapak.
Kenapa tiba-tiba tanya si Galih. Kan aku jadi kesal rasanya. "Nggak gimana-gimana. Baik kok."
"Halah. Kalau mau bohong itu jangan sama Bapak. Salah kamu itu."
"Numa cuma kangen sama Galih. Tapi kami gak pernah bilang kangen sama sekali." aku-ku pada Bapak. Bapak masih diam menyimakku. "Numa bingung harus bilang gimana sama dia. Dia juga kadang gak pekaan, Pak."
"Itu urusan kalian. Coba dirundingin. Masih inget pesan Bapak dulu?" kuangguki sebagai jawabannya. "Gak boleh pacaran berlebihan. Toh, konteks kalian itu cuma sebagai teman spesial, bukan dalam ikatan resmi." kata Bapak.
"Mau nikah umur berapa?" tanya Bapak. "Enggak tahu si Galihnya. Kalau bisa sih sebelum umur 25, Pak. Sekarang kan, Numa masih 23. Galih yang mpun 25."
"Lah, emangnya kamu mau nikah sama Galih? Iya kalau Bapak ngasih restu." kata Bapak Nasrin Yang Tertampan dikeluarga. "Terus?"
"Ya nggak tahu. Bapakkan cuma beberapa kali ketemu, main catur, sama ngopi bareng Galih. Bapak belum ngetes dia. Bapak mau kekantin dulu." kemudian pria keren itu pergi ke arah kantin.
Dering teleponku membuatku berjengit kaget, kucari benda itu didalan tasku. Dapat! Kugeser tombol warna hijau kearah kiri. "Halo, Assalamualaikum." kataku membuka percakapan. "Waalaikumsalam." jawab Galih. "Dimana?" lanjutnya. "Dirumah sakit, Mbak Syila lahiran. Anaknya cowok. Imut banget, Gal. Rambutnya tebel pula. Duh lucu."
"Aku cuma tanya kamu dimana. Malah melebar kemana-mana."
“Biarin sih.”
"Gimana kabar jerawatnya?"
"Baik,"
"Kok bisa jerawatan?"
“Soalnya lagi kangen sama seseorang.”
“Aku ya?”
“Idih pede.”
“Ngomong coba!”
"Ogah. Kamu kan tukang ngejekin."
"Enggak. Sekarang, kalau kamu kangen banget coba bilang."
"Ogah! Kamu dulu."
"Aku kangen kamu." ucap Galih dalam. Kurasakan dadaku membuncah. Kukira hanya aku yang rindu dengan anak Bunda Mida. Tapi dia juga merindukanku. "Ciye, yang lagi kangen aku." kucoba memanas-manasinya. "Numa." geramnya dari sana. "Iya-iya, aku juga kangen kamu. Puas?!" kudengar tawa Galih kemudian. Tawa yang biasa di keluarkan saat dirinya sedang salah tingkah dan merona.
"Kamu gak ada survey ke Jogja?" tanya Galih setelah berhasil menghentikan tawanya. "Enggak ada tender buat kesana. Ngapain kesana?"
"Ketemu aku lah."
Kulihat Mama dan Ibu Mas Ilham keluar dari ruangan. Kemudian bertanya dimana Bapak, dan langsung ku jawab pergi ke kantin. Mama memintaku untuk menemani Mas Ilham dan Mbak Syila didalam. "Nanti ku kirim fotonya anaknya Mbak Syila mau?" ucapku kepada Galih sambil membuka pintu ruangan Mbak Syila. "OOPS Sorry!" pekikku saat melihat adegan pergulatan bibir didepan sana. Kubalikkan badanku lalu melangkah keluar.
"Kenapa?" tanya Galih.
"Ada adegan dua satu plus plus." kataku.
"Kamu udah dua satu plus, Sayang."
* * * * *