Kring…kring…kring… Bunyi bel sekolah sebagai tanda bahwa jam istirahat telah usai.
Seluruh siswa-siswi berbaris rapi di lapangan upacara sembari ditemani terik matahari siang itu yang sesekali memancar dari celah-celah awan mendung yang mengitari birunya langit Tangerang kala itu, mereka dengan khikmat mengikuti setiap prosesi upacara penutupan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), upacara itu diawali dengan sambutan dari kepada sekolah yang singkat namun penuh dengan makna bagi seluruh calon siswa-siswi baru SMK LANTERA.
“Selamat kalian esok akan mulai memasuki babak baru dalam kehidupan kalian, ibarat sebuah buku, seburuk atau sekusut apapun lembaran buku sebelumnya, selalu ada lembaran baru yang siap untuk kita buka dan ukir kembali cerita kita, selamat berjuang anak-anakku.” Bunyi pidato singkat kepala sekolah yang mampu menggelorakan semangat calon siswa-siswi kala itu.
Acara peresmian siswa baru kemudian ditutup dengan simbolis pemakaian almamater sekolah SMK LANTERA oleh perwakilan siswa dan siswi baru, dan juga diringi dengan pelepasan balon warna-warni dengan ada secarcik kertas putih berisikan impian mereka selama menempuh pendidikan di SMK LANTERA yang mereka langitkan secara bersamaan dengan balon warna-warni mereka, warna-warni balon terbang melukis langit Tangerang kala itu. Serangkaian prosesi seremonial tersebut melambangkan bahwa mereka semua telah resmi menjadi siswa dan siswi SMK LANTERA, raut wajah semua siswa-siswi baru begitu gembira kala itu, sebegitu bangganya mereka sampai-sampai mereka tak melepas baju almamater sekolah mereka, mereka gunakan hingga mereka kembali ke rumah mereka masing-masing. Kecuali aku yang saat itu tidak merasakan seantusias mereka, mungkin ini karena aku masih belum menerima sekolah ini sebagai sekolah pilihanku.
Hari-hari di sekolah
Memulai sesuatu yang baru bukanlah suatu hal yang mudah, semua akan terasa begitu berat dan susah, namun ketika kita mampu melewatinya maka kita akan menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal itu berlaku juga untukku entah mengapa lagi-lagi hujan yang datang hari itu kembali disertai badai yang semakin menakutkanku, perjalananku menempuh masa-masa sekolahku tidaklah berjalan mulus satu semester berlalu aku dan Ghea mencoba berteman dengan yang lain pula namun ketika kita mencoba untuk membuka lebar pintu pertemanan kita ada perasaan aneh mulai muncul yang membuat keadaan seketika berubah, masa masa sulitku saat SMK pun dimulai. Yang waktu itu pertama aku rasakan adalah pada persaingan belajar yang sangat ketat, tidak seperti dulu ketika masa SMP, di SMK aku selain harus bersaing dengan teman baikku Ghea, aku juga harus bersaing dengan teman-temanku selainnya yang juga merupakan anak-anak yang pandai-pandai, dalam persaingan belajar di kelas aku tidak ada permasalahan, justru aku senang ada hal yang mampu memacuku untuk terus belajar jadi lebih baik. Namun yang membuatku merasa sedih adalah teman-teman di kelasku selalu mengkelompok-ngelompokkan pertemanan mereka dan aku merasa seperti ada kasta dalam kelas. Banyak teman teman-temanku yang menyombongkan apa yang mereka punya dan mengucilkan beberapa anak yang lain termasuk aku pun selalu dikucilkan mereka waktu itu karena aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Merka mengelompokan diri merka menjadi beberpa kelompok di kelas, ada kelompok anak pemberontak yang isinya anak-anak suka berbuat jail dan bikin onar di kelas, ada anak netral yang cenderung cuek dan masih mau bergaul dengan siapa saja tanpa pilih-pilih, ada kelompok anak yang terbully yang selalu menjadi bahan ejekan serta olok-olokan di kelas termasuk aku juga menjadi salah satu bagian dari kelompok ini, ada kelompok anak kaya yang selalu memamerkan apa yang dimilikinya sembari mengkerdilkan anak-anak yang kurang mampu dan anak anak tenar yang merupakan kumpulan anak-anak terkenal di sekolah. melihat kondisi lingkungan pertemanan di kelas yang selalu mengkelompok-kelompokkan teman membuatku sangat tidak suka dengan kondisi itu karena itu tidak baik untuk perkembangan pembelajaran selama di sekolah, saat itu aku mencoba sangat berhati-hati dalam memilih beberapa temanku selain Ghea namun lama kelamaan aku tidak tahan dengan kondisi pertemanan di kelas karena mereka selalu berkelompok menjelekan satu sama lain serta membicarakan keburukan yang selainnya, mencela dan menyombongkan diri. Bahkan ada bebebrapa orang yang tidak menyukaiku dengan Ghea karena mereka menganggapku sebagai sutu ancaman bagi mereka, mereka tidak suka dengan sikapku yang suka bertanya pada saat pelajaran dan mampu menjadi anak yang dipandang baik sama guru, serta mampu bersaing secara prestasi akademik dengan Ghea.
Hingga suatu ketika di saat aku sedang menjalakan sholat dzuhur sedangkan Ghea sedang pergi istirahat untuk makan ke kantin, ada teman kelasku merusak tablet android milikku yang selalu aku letakkan dalam tas ransel yang berada di bangku sekolah, tanpa sepengetahuanku tablet android yang aku letakkan dalam tas itu tiba-tiba hancur dan pecah sewaktu aku lihat selepasku kembali dalam menjalankan sholat dzuhur, tanpa ku mengetahui siapa yang merusaknya.
Seketika saat itu juga aku menangis melihat tablet android satu-satunya alat komunikasi milikku hancur dan pecah, aku merasa sedih karena dengan keterbatasan ekonomi keluargaku aku tidak mampu lagi memperbaiki atau bahkan membeli alat komunikasi yang baru, karena tidak punya uang. Tiba-tiba di saat aku sedang menangis memegang tabletku yang sudah hancur dari belakangku ada suara terdengar.
“Tadi gue lihat Ghea mendekati tas lu.” Kata Lina teman kelasku yang duduknya di belakang bangku milikku.
Mengambil suatu keputusan di saat kita sedang dalam puncak emosi merupakan suatu keburukan, karena nalar rasional kita telah terselimuti benci, sehingga tak mampu untuk berfikir jernih. Saat itu seketika hatiku hancur dan seolah tidak percaya teman dekat yang selama ini aku percayai melakukan hal buruk kepadanku, buru-buru aku mengusap air mataku dan pergi mencari Ghea di kantin sekolah.
“Lu yang ngerusakin tablet android gue ya? Gue punya salah apa sama lu?” Ucapku marah kepada Ghea sembari manangis dan mengarahkan jari telunjukku ke wajah Ghea.
“Maksud lu apa Ila? Gue enggak tau apa-apa!” Jawab Ghea sambari kebingungan melihatku menangis dan menuduhnya.
Semenjak hari itu hubungan pertemananku dan Ghea pun semakin merenggang, pada akhirnya aku kembali merasakan konteks pertemanan yang sama dengan yang aku rasakan sewaktu SD dan SMP, aku dijauhi teman sekelasku, parahnya bahkan karena aku tidak mampu membeli alat komunikasi baru membuatku sering tertinggal informasi di kelasku tentang tugas dan arahan dari guru yang selalu diberikan lewat HP, sementara temanku yang selainnya tidak mau memberikan informasi kepadaku, aku merasa sendirian di kelas, setiap hari aku hanya fokus pada pelajaran saja, tanpa sedikitpun berbaur dengan teman selainnya, hampir setiap hari aku kembali dikerjain serta dikucilkan sama teman-temanku di kelas, pernah ada suatu peristiwa ketika sku menjalankan praktikum di laboratorium saat itu aku kelupaan membawa satu alat praktek yang dibutuhkan saat itu, aku merasa kebingungan serta khawatir tidak bisa menyelesaikan praktikumku yang berbuntut pada kemarahan guru praktikum atau aku akan kena remedial, karena kondisi itu akhirnya aku mencoba untuk memberanikan diri untuk meminjam alat praktikum kepada Lina teman sekelasku yang kebetulan saat itu dia sudah menyelesaikan praktikumnya.
“Lin, lu kan sudah selesai praktikum. Gue pinjam alat punya lu boleh enggak? Soalnya punya gue ketinggalan.” Tanyaku kepada Lina dengan baik-baik.
“Punya gue nanti akan dipinjam sama Rani.” Jawab Lina dengan ketus kepadaku.
“Ohh, ya sudah kalau gitu terima kasih.” Ucapku singkat karena kesal dengan Lina, aku mengetahui kalau Rani sudah bawa peralatan praktikum sendiri dengan lengkap.