BRAK!!!!!!!
suara gebrakan meja itu mengejutkan Revan yang kini sedang berada dihadapan seseorang yang sedang diselimuti emosinya. Rahangnya mengeras jelas, tangannya mengepal memperlihatkan buku-buku jarinya, matanya sangat tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya.
"Kenapa bisa semua yang sudah ku siapkan untuk perebutan proyek itu bisa bocor ketangan b******k itu?" Bentak Daniel kasar.
"Farez! Bisa kah kau tenang? Aku juga tidak tau. Kalau kau seperti ini kita sama-sama tidak bisa berfikir kenapa semua ini bisa terjadi," ucap Revan berusaha menenangkan.
Daniel terduduk dikursi kebesarannya sambil mengusap wajahnya kasar.
"Kau bisa keluar sekarang, tapi sebelumnya kau panggil Anna dan suruh dia menghadapku," ucap Daniel.
Revan kemudian keluar dari ruangan Daniel dan segera memanggil Anna.
***
“Tenang Anna, dia tidak akan mengetahui ulahmu," batin Anna menenangkan dirinya. Anna menarik nafas dalam-dalam lalu perlahan membuka knop pintu ruangan Daniel.
"Permisi Tuan, apa anda memanggil saya?" Tanya Anna.
"Silahkan duduk." Anna duduk dihadapan Daniel.
"Kau tau kalau rancangan proyek kita bocor ketangan perusahaan lain?" Anna menggeleng.
"Kuharap ini bukan karna kau yang sengaja melakukannya," ucapan Daniel yang begitu tajam berhasil membuat Anna terbelalak. Apa pria ini benar-benar mengetahuinya? Atau dia hanya sekedar menebak-nebak.
"Apa yang kau maksud? Aku bahkan baru mengetahui kalau rancangan itu bocor," balas Anna berusaha setenang mungkin.
"Bukankah kau yang kuberi tugas untuk menyiapkan rancangan yang sudah ku buat. Siapa lagi kalau bukan kau?" Tanya Daniel yang kini nadanya sedang meninggi penuh emosi.
Anna yang awalnya tertunduk tak berani menatap mata Daniel kini memberanikan diri untuk menatapnya.
"Aku tidak sendiri membuatnya. Apa kau lupa kalau kau meminta ku untuk meminta bantuan pada Randy tuan Daniel?"
"Oh maafkan aku Randy sudah membawa namamu. Aku tak mau kalau semuanya sampai disini," batin Anna.
"Kau bisa keluar sekarang," kata Daniel dingin dengan tak menatap Anna.
"Baiklah. Permisi Tuan."
***
Anna POV
"Benarkah kalau dia sudah dipecat?"
"Wah padahal dia adalah seorang karyawan yg sangat cerdas."
"Apa benar dia melakukannya."
"Ternyata dia membawa pengaruh buruk dan berniat jahat kepada perusahaan ini."
"Aku tidak bisa bayangkan bagaimana Tuan Farez memecatnya."
Samar-samar ku dengar perbincangan hangat para pegawai pagi ini. Dipecat? Siapa yg dipecat.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Tanyaku pada salah satu karyawan yang tadi ikut bergosip dipagi ini.
"Tentang Randy yang dipecat karna ketahuan membocorkan rancangan proyek perusahaan."
Ya ampun, apa yang sudah aku lakukan? Randy dipecat? Dan itu karnaku. Kenapa pria itu dengan begitu mudah percaya dengan apa kataku. Ini tidak boleh terjadi, aku hanya ingin menghancurkan Farez. Bukan orang lain.
Dengan tergesa-gesa aku menuju ruangan Daniel.
"Permisi."
"Ada apa Anna?" Tanya Daniel yang sedang membaca filenya di depan jendela.
"Aku ingin membicarakan sesuatu pada anda Tuan. Tentang pemecatan Randy" ucapku.
"Kenapa dengan pemecatannya?"
"Anda tidak bisa memecatnya begitu saja. Anda belum punya bukti. Lagi pula saat aku bekerja sama dengannya dia sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan." Jelasku.
"Tau apa kau? Kau tau gara-gara dia perusahaan rugi besar." Suara nya terdengar tinggi membuat aku terkejut. Aku baru kali ini melihat dia benar-benar marah. Aku sampai tertunduk takut. Ayoolah Anna! Putar otaknya, buat pria arogant dihadapanmu ini bisa percaya dengan ucapanmu.
"Maaf Tuan. Tapi ini tidak adil bagi Randy. Lagi pula anda tau kalau dalam bisnis apapun bisa dilakukan demi mendapat untung yang banyak. Mungkin itu juga yang dilakukan oleh lawan kita. Tapi kalau tuan benar-benar ingin memecat Randy. Tuan juga harus memecat saya." Oh no Libra! Apa yg kau katakan? Bagaimana kalau pria dihadapan kau sekarang benar-benar memecatmu?
Tanpa ku duga-duga Daniel mendekat kearahku dan langsung mendekap tubuhku. Hei kenapa pria ini? Kenapa dia malah memelukku?
"Maaf aku sudah membentakmu dan maaf juga karena aku sudah mengambil keputusan tanpa memikirkannya dulu. Aku hanya sedang benar-benar kalut karena masalah ini. Belum lagi tadi pagi aku dapat berita kalau ada beberapa perusahaan yang melakukan pembatalan kerja sama" katanya yang masih memelukku. Pembatalan kerja sama? Itukan adalah ulahku juga. Jadi berhasil? Aaaaa senangnya.
"Tidak apa-apa Tuan. Saya mengerti," balasku lalu perlahan mencoba melepas pelukannya. Tapi dia malah makin mengeratkan pelukannya.
"Biarkan tetap seperti ini untuk beberapa saat. Aku sedang lelah," pintanya. Akhirnya aku menurutinya dan membiarkannya memelukku tanpa membalasnya. Ah pelukannya terasa sangat hangat.
“Aku akan kembali menyuruh Randy bekerja disini.” Aku mendongakkan kepalaku dalam pelukannya sembari tersenyum senang.
“Benarkah?” tanyaku memastikan.
“Ya. Kenapa kau sangat senang?”
“Tidak ada.”
“Kenapa kau sangat peduli pada Randy? Kau suka dengannya?” ku rasa pelukan Daniel semakin erat. Wajahnya terlihat serius. Hei apa maksudnya? Aku suka dengan Randy? Yang benar saja? Lalu apa maksud wajahnya itu? Ia cemburu? Hahaha lucu sekali.
“Jangan bicara yang tidak-tidak Tuan.”
“Kau kesini untuk bekerja, jangan suka pada siapapun.” Hei kenapa ia mengatur-ngatur hidupku.
“Kecuali…” kata-katanya menggantung.
“Kecuali apa?” tanyaku penasaran. Pandangannya tampak berubah sayu. Pandangan ini sama persis seperti saat aku berada di rumahnya waktu itu.
Pandangannya turun menatap bibirku, dengan reflex pandanganku turun pula ke bibirnya. Hmmm aku hampir lupa rasa bibir itu, apa masih semanis saat itu. Entah sejak kapan aku sudah terpejam merasakan bibirnya melumat bibirku. Ah ya, rasanya masih sama. Ia duduk menyandar pada jendela kaca dibelakangnya, sementara aku yang masih berdiri kini sudah setara dengan tubuhnya yang tinggi. Kami saling melumat satu sama lain, dia benar-benar pencium yang baik. Aku bisa merasakan tangan bergeriliya mengelus setiap inci tubuhku yang seketika membuatku makin memanas. Satu desahan keluar dari bibirku saat ia beralih mencium setiap bagian dari leherku. Ah gila, ini benar-benar gila. Harus ku akui, setiap sentuhannya membuat aku lemah.
“Aku menginginkan dirimu,” bisiknya membuat tubuhku menegang. Tidak! Tidak akan ada yang lebih dari ini. Aku langsung menjauhkan tubuhku dari tubuhnya. Bayangan Fasa langsung muncul. Ah apa yang baru saja aku lakukan? Menikmatinya? Benar-benar kakak yang buruk.
“Maaf Tuan,” ucapku. Ia langsung berdiri dan merapikan jasnya.
“Permisi Tuan.” Aku langsung bergegas keluar dari ruangannya. Ah rasanya benar-benar panas jika berlama-lama berada dalam ruangan itu.