Chapter 3.

1378 Kata
--Happy Reading-- Pria berwajah malaikat yang begitu tampan dengan pahatan sempurna tanpa cela, maha karya sang pencipta itu bernama Almaher Zilquin. Anak pertama dari dua bersaudara keturunan keluarga kaya raya yang memiliki beberapa asset Perusahaan di Negara Adidaya, Amerika Serikat. Wajahnya nampak panik, saat membaca tulisan yang ada di secarik kertas dari gadis bayarannya semalam. Karena, ingatannya tertuju kepada jas hitam yang dibawa oleh gadis itu. “Flashdiskku…” gumam Maher pelan. Klik! Bunyi pintu kamarnya yang terbuka. Mendengar bunyi pintu kamarnya yang terbuka, Maher pun mengalihkan pandangannya ke arah pintu, tanpa melepaskan secarik kertas yang sedang dipegangnya. Tap.. Tap.. Tap.. Langkah kaki lebar sang kaki tangan kepercayaan Almaher Zilquin dengan mengulas senyuman melengkung dari bibirnya yang ditujukan untuk sang majikan. Kaki tangan Almaher Zilquin itu bernama Roy Benedict. Di tangan Roy sedang memegang paper bag yang berisi pakaian ganti lengkap untuk sang majikan. “Selamat pagi. Bos!” sapa Roy sambil mengangguk hormat. “ Bagaimana kabarmu, Bos?” tanya Roy kemudian. “Heem…! Seperti yang kamu lihat.” Sang bos memanyunkan bibirnya, nampak tidak bersemangat. Roy mengulum senyum melihat apa yang dilakukan majikannya itu. Kemudian, meletakkan paper bag di atas nakas. “Madam Susan meminta sisa uang yang belum dibayarkan, Bos.” “Madam Susan? Siapa dia? Apakah dia yang menjadikan gadis polos itu sebagai wanita penghibur?” Roy pun terkekeh dengan pertanyaan majikannya tersebut. Padahal, jelas-jelas semalam sang boslah yang memintanya untuk mencarikan seorang gadis. “Madam Susan memang seorang mucikari, Bos. Dia itu yang mempekerjakan gadis yang semalam bersama Bos.” “Gadis itu masih perawan.” “Ya, berarti Madam Susan tidak berbohong, Bos.” “Maksud kamu apa, hah?” Maher nampak bingung dengan ucapan kaki tangannya itu. “Maksud saya, Madam Susan tidak menipu kita. Saya memang memesan gadis yang masih bersegel untuk Bos. Saya pun sudah mentransfer setengah uang yang Madam Susan pinta. Sekarang, Madam Susan meminta sisanya dibayarkan, Bos.” “Berapa banyak uang yang mucikari itu pinta?” “Lima puluh ribu Dolar, Bos!” “Bayarkan sisanya. Setelah itu, bawa aku untuk menemuinya.” “Baik, Bos! Tapi, untuk apa Bos menemui Madam Susan?” “Aku ingin bertemu dengan gadis semalam itu lagi.” “Memangnya gadis itu sudah pergi, Bos?” tanya Roy seraya kedua bola matanya menyapu seluruh ruangan kamar hotel tersebut. “Ya. Gadis itu telah pergi dan mengambil jasku. Di dalam jas itu ada flashdisk milikku. Semua Documen penting Perusahaan ada di dalam flashdisk itu.” “Waah… berarti jika flashdisk itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, bisa berbahaya ya, Bos?” “Heeem… sangat berbahaya. Flashdisk itu jangan sampai jatuh ke tangan rival kita. Hidup dan mati Perusahaan ini ada di dalam flashdisk itu.” “Kalau begitu tunggu apa lagi, Bos? Ayo, secepatnya kita ambil flashdisk itu!” “Ya, aku mandi dulu. Badanku lengket semua.” “Habis berapa ronde, Bos?” tanya Roy dengan menaikturunkan alisnya menggoda. Almaher tidak menjawab pertanyaan Roy. Dia memilih diam seribu bahasa. “Aish… bagaimana rasanya saat menyentuh gadis yang masih bersegel, Bos?” “Ck… “ Almaher berdecak sebal. “Pasti luar binasah ya, Bos?” tanya Roy terus mencecar sang bos. “Luar biasa, bukan luar binasah!” Maher menggelengkan kepalanya heran dengan ucapan kaki tangannya tersebut. Roy pun terkekeh dengan pembenaran kata majikannya tersebut. “Oh, Luar biasa, Bos? Saya pikir, biasa di luar, Bos!” ujar Roy disela kekehannya. “Ish.. ish.. ish.. sudahlah, lebih baik aku mandi sekarang.” “Okay, Bos! Aku tunggu di sini.” “Ya ia lah, kamu tunggu di situ. Masa kamu ikut ke dalam kamar mandi, huh?” rutuk Maher sinis. Hahahahaha… Roy pun tertawa lepas mendengar rutukan sang majikan yang nampak sinis ke arahnya. Tanpa perduli dengan tawa Roy, Maher pun melenggang masuk ke dalam ruangan lembab itu dengan cepat. *** Dua puluh menit menghabiskan waktu membersihkan tubuhnya, Maher pun nampak segar dengan rambut yang masih basah. Tetesan air yang jatuh di wajah dan tubuhnya yang terbuka, hanya berbalut lilitan handuk kecil yang menutupi bagian asset berharganya saja, semakin mempertegas tubuh kekar dan atletisnya. Karena, Maher yang gemar berolah raga. Maher pun segera mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, kemudian mengenakan pakaian yang dibawa oleh kaki tangannya tersebut. Tidak butuh waktu lama, Maher pun kini sudah mengenakan pakaiannya dengan rapi dan lengkap. Kemeja putih dengan jas hitam dan celana hitam yang pas melekat di tubuhnya yang berperawakan tinggi besar dan perfectionist. “Letsgo, Bos!” ucap Roy setelah melihat penampilan majikannya sudah rapi dan stylish. “Heem..” Maher pun hanya bergumam pelan sambil mengenakan sepatu pantofelnya yang mahal. Roy pun segera membukakan pintunya dan memberi jalan untuk sang majikan ke luar terlebih dahulu. Langkah kaki mereka pun sangat cepat, tidak membutuhkan waktu lama. Akhirnya, mereka berdua saat ini sudah berada di dalam mobil mewah berwarna hitam milik Almaher Zilquin, CEO muda berwajah tampan. Namun, berhati dingin dan kejam saat menjatuhkan lawan. Roy membawa mobil dengan laju sedang, membelah jalanan ibu kota Boston, yang merupakan salah satu bagian dari Negara Amerika Serikat. Di sepanjang perjalanan itu, Maher merasakan jantungnya berdegup cepat saat melintas bayangan gadis yang semalam tidur dengannya. “Arrgh…” pekik Maher setengah frustasi saat teringat rasa bersalah terhadap gadis itu, seraya menyugar rambutnya. “Kenapa, Bos?” tanya Roy yang melihat dan mendengar majikannya itu berteriak kesal. Maher tidak menjawab pertanyaan Roy. Dirinya seakan sibuk dengan pikirannya dan rasa bersalahnya. Tidak ada jawaban dari sang majikan. Roy pun hanya tersenyum masam, merasa diabaikan. Roy pun tidak mau ambil pusing apa yang sedang dipikirkan majikannya. Tidak biasanya, majikannya itu terlihat frustasi dan resah seperti saat ini. Tapi, dirinya tidak bisa membantu atau menolongnya, jika majikannya itu tidak mengajaknya bicara. Tiga puluh menit perjalanan yang telah dilalui, mereka pun sampai di rumah bordil itu. Tapi, sebelum Roy membawa majikannya untuk masuk ke rumah bordil, terlebih dahulu Roy menghubungi madam Susan untuk mengkonfirmasi kedatangannya. Roy membukakan pintu untuk sang majikan, lalu mengawalnya masuk ke dalam rumah bordil tersebut. Sambutan dengan hormat dan ramah dilakukan oleh beberapa anak buah madam Susan. “Selamat siang, Tuan! Selamat datang di rumah kami,” sapa anak buah madam Susan hampir bersamaan. “Selamat siang. Kami ingin bertemu dengan Madam Susan,” jawab Roy dengan mengutarakan maksud kedatangannya. “Oh, iya. Silahkan masuk, Tuan! Madam Susan sudah menunggu Tuan-tuan di ruangannya,” ucap salah satu anak buah madam Susan yang baru saja menyambut kedatangan mereka berdua. “Okay, terima kasih!” ucap Roy yang kemudian dianggukkan oleh Maher. Salah satu anak buah madam Susan mengantar Roy dan Maher ke ruangan madam Susan. Tok.. Tok.. Tok.. Bunyi pintu diketuk oleh salah satu anak buah madam Susan. “Suruh mereka masuk! Pintunya tidak dikunci,” titah madam Susan dari dalam ruangannya. “Baik, Madam Susan,” sahut anak buahnya tersebut, seraya membukakan pintu untuk Roy dan Maher. “Silahkan masuk, Tuan!” ucapnya dengan hormat. “Terima kasih,” ucap Roy dan Maher hampir bersamaan. Roy dan Maher pun berjalan gontai masuk ke dalam ruangan madam Susan yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga. Namun, terasa sesak dan bau minuman yang sangat menyengat. “Silahkan duduk, Tuan-tuan! Mari minum,” ucap madam Susan sambil menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas kecil. Roy dan Maher pun tersenyum tipis sambil meneguk minuman itu sedikit. “Eem… Tuan Roy Benedict! Ada keperluan apa, hingga Tuan Roy datang ke sini? Apakah gadis yang saya kirim semalam masih bersama Tuan?” “Gadis itu sudah tidak bersama kami. Semalam, gadis itu sudah pergi dari hotel,” tutur Roy dengan apa yang tadi diceritakan oleh majikannya. Maher pun mengerutkan keningnya heran, kalau tidak ke sini, ke mana gadis itu pergi. Namun, Maher mencoba tetap tenang sebelum mendengar penjelasan madam Susan. “Shitte..! Kalau Aleandra tidak bersama kalian dan tidak ada di sini, berarti gadis itu kabur, Tuan.” Nampak raut wajah yang memerah dan geram tergambar dari madam Susan dengan kedua tangannya yang mengepal. “Aleandra?” tanya Maher dengan mengulang nama gadis tersebut. “Ya, nama gadis itu Aleandra, Tuan,” ujar madam Susan. “Mengapa nama itu, seperti nama gadis kecil yang pernah menolongku dulu?” tanya Maher dalam hatinya, sambil mengingat-ingat nama dan wajah gadis kecil yang menolongnya saat dirinya hampir mati di sengat lebah. --To be Continue--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN