--Happy Reading--
Di dalam kamar penginapan yang cukup mewah.
Erix Angelo dan sang mami, Zoya baru saja membawa tubuh lemah Aleandra ke dalam penginapan yang mereka sewa .
Asisten rumah tangga Zoya yang selalu ikut ke mana pun Zoya pergi, membantunya untuk segera membersihkan tubuh Aleandra dengan air hangat dan menggantikan pakaiannya yang basah dan kotor.
“Pakaikan baju ini saja, Bi!” perintah Zoya mengulurkan pakaian miliknya untuk dikenakan ke tubuh Aleandra yang masih belum sadarkan diri.
“Baik, Nyonya!” ucap sang ART patuh.
Dengan gerakkan lincah, ART Zoya pun sudah memakaikan pakaian yang diberikan Zoya ke tubuh Aleandra.
“Pas sekali, Nyonya.”
Pakaian yang baru saja ART Zoya kenakan ke tubuh Aleandra pas di tubuh Aleandra. Tidak kekecilan atau pun tidak kebesaran. Karena, tubuh Zoya dan Aleandra hampir tidak jauh berbeda.
“Heeem… sangat pas dan cantik.”
Zoya memuji penampilan Aleandra yang ternyata sangat cantik alami, meski tanpa riasan di wajahnya.
“Permisi, Nyonya! Saya akan bersihkan pakaian Nona ini,” ucap ART tersebut sambil menunjukkan pakaian basah milik Aleandra.
“Tunggu, Bi!” tahan Zoya, sesaat memperhatikan gaun minim yang sedikit terbuka dan jas hitam yang tadi dikenakan oleh Aleandra, membuat dirinya bertanya-tanya.
“Ya, Nyonya! Ada apa?”
Zoya tidak menjawab pertanyaan ARTnya, dia hanya baru sadar, jika gaun yang dikenakan oleh Aleandra di balik jas hitam yang mirip dengan jas milik seorang laki-laki itu, begitu tipis dan menerawang. Apalagi ada sobekan kecil di lengan sebelah kanan gaun tersebut.
“Siapa gadis ini sebenarnya? Apa yang sudah terjadi dengan dirinya? Gaun yang dikenakannya dan jas hitam yang menutupi gaun ini, seperti telah terjadi sesuatu,” runtunan pertanyaan di dalam benak Zoya.
“Nyonya…” panggil sang ART sambil melambaikan tangan di depan wajah Zoya yang nampak sedang melamun.
“Eeh... ia, Bi!” kejut Zoya dari lamunannya.
“Apa yang harus saya lakukan dengan pakaian ini?” tanya ART itu kemudian.
“Cuci saja, Bi! Lalu, keringkan!”
“Baiklah!”
ART itu pun segera membawa pakaian dalam, gaun tipis yang sedikit robek dan jas hitam yang nampak memiliki harga cukup mahal itu untuk secepatnya di cuci dan dikeringkan, sambil menutup kembali pintu kamar Zoya dengan perlahan.
Zoya tersenyum tipis, memandangi wajah cantik alami Aleandra yang nampak polos.
“Siapa pun kamu dan dari mana pun asalmu, kamu sudah membuat aku ingin menjadikan kamu calon menantuku,” gumam Zoya pelan.
Zoya yakin jika gadis yang ditolongnya itu memiliki masalah yang sangat pelik. Namun, hal itu membuat jiwa keibuan yang berasal dari dalam relung hati Zoya semakin tergugah.
Zoya yang berprofesi sebagai Dokter pun segera memberikan beberapa obat yang di perlukan oleh Aleandra, agar Aleandra lekas bangun dari pingsannya.
Zoya memang selalu membawa perlengkapan medis dan obat-obatan ke mana saja dirinya pergi. Obat darurat sebagai pertolongan pertama, seperti obat pereda pusing, minyak angin, penurun demam, obat luka bakar, influenza, obat memar, obat batuk, antiseptic dan masih banyak obat darurat lainnya.
Setelah beberapa saat Zoya memberikan obat untuk Aleandra. Dia pun menyimpan kembali obat-obatan dan perlengkapan medisnya ke dalam tas. Kemudian, menatap lekat-lekat wajah Aleandra yang masih begitu pucat, akibat kelelahan dan kedinginan.
“Kasihan sekali kamu, Nak!” gumam Zoya lirih, sambil mengusap pipi Aleandra dengan lembut.
Tok..
Tok..
Tok..
Bunyi pintu kamar Zoya pun terdengar diketuk.
“Nyonya, apakah saya boleh masuk!” ucap sang ART dari balik pintu kamarnya.
“Masuklah, Bi!”
ART itu pun datang dengan membawa benda kecil yang berbentuk kartu. Dia pun tidak tahu benda apa yang dia temukan di dalam saku jas hitam milik Aleandra tersebut.
“Ada apa, Bi?” tanya Zoya sesaat ARTnya masuk ke dalam kamarnya.
“Ini, Nyonya! Saya menemukan benda ini ada di dalam saku jas hitam milik Nona yang pingsan itu,” jelas ART itu sambil menunjukkan benda yang ada di tangannya tersebut.
Zoya pun mengambil benda kecil berbentuk kartu tersebut dari tangan sang ART, lalu menelitinya dengan focus.
Zoya mengerutkan keningnya tipis, sambil membolak balik benda tersebut. “Ini seperti sebuah flashdisk,” gumam Zoya.
“Terima kasih, Bi!” ucap Zoya sambil memegang flashdisk tersebut erat.
Kemudian ART itu pun mengangguk pelan. “Kalau begitu, saya permisi dulu, Nyonya!”
“Ya, Bi!”
Zoya masih bertanya-tanya tentang flashdisk yang ada di tangannya tersebut. Namun, dia tidak mau berbuat lancang dengan memeriksa barang milik orang lain. Dia pun menyimpan benda itu di atas nakas, di samping segelas sisa air minum dan sisa obat yang baru saja dia berikan tadi kepada Aleandra.
Tidak berselang lama, Aleandra mulai menggerak-gerakkan jemari tangannya yang lentik dengan perlahan. Kedua matanya pun mulai mengerjap-ngerjap dan terbuka lebar. Rupanya, Aleandra sudah mulai siuman dari pingsannya.
Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita yang sedang menyentuh pipinya dengan begitu lembut. “Kamu sudah siuman, Nak? Syukurlah!” Zoya mencoba mengajak Aleandra berbicara.
“S-siapa, Anda? Jangan sentuh saya!” Aleandra begitu ketakutan saat mendapati dirinya yang sedang di sentuh oleh seorang wanita paruh baya. Suaranya pun terdengar bergetar dan tubuhnya pun gemetar ketakutan.
Rasa trauma yang telah dialami oleh Aleandra terhadap orang asing yang akan berbuat jahat kepadanya seakan mengendalikan pikirannya.
Zoya pun sedikit memundurkan tubuhnya dan menarik tangannya yang baru saja menyentuh wajah gadis yang baru saja ditolongnya. “Maaf, Nak! Saya hanya ingin memastikan jika kamu sudah benar-benar siuman.”
Kedua bola mata Aleandra pun meneliti pakaian yang dikenakannya, lalu pandangannya menyapu seluruh ruangan yang ada di sekitarnya. “S-saya ada di mana? M-mengapa saya ada di sini?”
Aleandra nampak bingung dengan apa yang dia lihat. Pakaian yang bagus dan sopan, ranjang besar dan rapi, seorang wanita paruh baya yang masih nampak cantik dan terawat.
“Kamu ada di kamar penginapan, Nak! Saya dan Putra saya, menemukan kamu pingsan di bibir pantai tadi,” ujar Zoya mengatakan apa adanya.
Sepintas ingatan Aleandra pun kembali kepada beberapa saat dirinya sebelum jatuh pingsan akibat tubuhnya yang lemah dan letih. Apalagi air ombak laut yang menerpa tubuhnya pun membuat tubuhnya merasakan dingin dan menggigil.
Zoya meneliti sikap Aleandra yang sepertinya sedang mengalami suatu kejadian yang tidak mengenakan. Dia pun bisa melihat dari sorot mata Aleandra yang sedang menyimpan kesedihan.
“Apa yang sudah terjadi dengan kamu, Nak? Tante bukan orang jahat. Tante tidak akan menyakitimu, Nak.”
Perlahan-lahan, Zoya mencoba berbicara dengan lembut dari hati ke hati, layaknya seorang ibu terhadap putrinya sendiri.
Aleandra menggelengkan kepalanya pelan, tidak menjawab pertanyaan Zoya. Air mata Aleandra kembali menetes dalam pipinya, rasa takut dan trauma telah menghantui jiwanya.
“A-aku tidak percaya dengan orang lain. Aku benci… aku benci kalian!” pekik Aleandra dengan menarik kedua kakinya hingga menekuk, lalu meringkuk di pinggiran ranjang dengan tubuh bergetar ketakutan.
Suara teriakan Aleandra rupanya terdengar sampai dalam kamar Erix Angelo, dia pun segera mendatangi kamar sang mami.
“Ada apa, Mih? Kenapa terdengar sangat bising?” tanya Erix setelah sampai di dalam kamar Zoya.
Zoya menarik lengan sang putra untuk segera ke luar dari dalam kamarnya dan membiarkan Aleandra sendiri untuk menenangkan pikirannya terlebih dahulu. “Kami adalah orang baik, Nak! Kami bukan orang jahat. Jangan pernah membenci kami!” ucap Zoya sebelum dirinya menutup pintu kamarnya.
Ucapan Zoya, membuat Aleandra menghentikan tangisannya dan menatap nanar kepergian Zoya dan Erix saat menghilang dari balik pintu kamar yang terasa asing baginya.
“Apakah Nyonya itu tidak berbohong? Apakah dia memang benar-benar orang yang baik?” tanya Aleandra dengan lirih.
Melihat apa yang dia kenakan dengan perlakuan baik wanita tadi pun membuat Aleandra sedikit ragu, jika wanita itu orang jahat. Akan tetapi, belum sepenuhnya dia bisa percaya begitu saja. Dia pun akan lebih waspada dan berhati-hati terhadap orang yang baru saja dia kenal, mulai dari sekarang.
--To be Continue--