Episode 6

2118 Kata
Percy mendatangi club malam, ia berjalan dan menarik kursi di depan meja bartender. Suara bising dan gemerlapan lampu memenuhi ruangan besar ini. Banyak sekali orang di dalam sini, dan semuanya terlihat fokus pada kegiatan masing-masing, menikmati semuanya. Percy memesan satu gelas Vodka, dan tanpa menunggu lama, ia langsung meneguk hingga tandas minum berwarna bening itu. Rasa pahit dan panas mampu membakar kerongkongan dan dadanya yang sesak. Tetapi itu tak menyurutkan niatnya untuk kembali menambahnya. Ia menambahnya terus menerus hingga kesadarannya sedikit hilang karena pengaruh alkohol. Vodka memang memiliki kadar alkohol tertinggi, sekitar 35 sampai 60% kandungan alkoholnya. Percy kembali hendak meneguknya hingga sebuah tangan menahannya. Ia mendengus kesal saat melihat siapa yang menahannya itu. "Ngapain loe ke sini?" tanya Percy tanpak sinis. "Perasaan gue gak enak, gue tau sahabat gue sedang butuh teman curhat," ucap seorang itu dengan ekspresi sedih yang di buat-buat. "Dasar pembohong ulung!" cibir Percy membuat seseorang yang tak lain adalah Verrel, hanya bisa terkekeh kecil dan mengambil duduk di samping Percy. Verrel Alexander Orlando adalah sahabat Percy, yang juga merupakan  putra dari Daniel anggota brotherhood. Beberapa hari yang lalu ia baru saja menikahi putri dari Dhika. Verrel juga mengenal dekat Rasya dan Rindi karena memang berteman dari sejak kecil.  "Loe ninggalin bini loe demi gue? Uch, manis sekali! membuat gue geli sendiri," celetuk Percy dengan ekspresi sebal. "Ah jangan sungkan buat berterima kasih," ucap Verrel membuat Percy mendengus kesal. "kenapa lagi sih loe?" "Gue akan menikah dengan Rasya akhir bulan ini." "Apa?" pekik Verrel tak percaya. Verrel adalah sahabat dekat Percy, dan ia tau semua mengenai hubungan tersembunyi di antara Rindi dan Percy. "Ekspresi loe berlebihan sekali." "Kenapa kritikin ekspresi gue?” dengus Verrel karena jawaban Percy tak masuk akal. “Lalu loe menerimanya?” tanyanya lagi masih dengan keterkagetan dan rasa penasarannya. "Nyokap gue masuk rumah sakit, jadi gue berjanji padanya untuk tetap menikahi Rasya." "Lalu Rasya sendiri?" tanya Verrel. "Gue gak paham sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan, tetapi dia menerima pernikahan ini tanpa protes apapun." "Serius?" "Ya, dia bilang dia tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya." Verrel mengusap dagunya dengan jari jempol dan telunjuknya, seakan memikirkan ucapan Percy barusan mengenai Rasya. Jawaban Rasya sudah jelas tak masuk akal, kenapa dia mau-maunya menyerahkan hidupnya bersama dengan pria yang jelas-jelas tidak mencintainya hanya demi kedua orangtuanya. Percy terlihat hendak meneguk minumannya lagi, tetapi segera di tahan oleh Verrel. "Cukup, loe mau mati di usia muda?" "Balikin!" ujar Percy dengan wajah yang sudah terlihat memerah. Ia hendak merebut gelas minumannya kembali dari tangan Verrel tetapi Verrel malah menyerahkannya ke bartender untuk menyimpannya. "Apaan sih loe, Rel!" "Cukup! Loe sudah mabuk!" ujar Verrel, "Ayo pulang, gue gak mau pulang malam dan istri gue sudah tidur," ucapnya menarik lengan Percy. "Urusi diri loe sendiri, jangan ganggu gue!" pekiknya menepis pegangan Verrel. "Inginnya begitu, tapi gue gak bisa. Loe tau kan gue sahabat yang baik." Verrel mengucapkannya dengan nada bangga dan menggoda. "Sialan!" "Ayo balik, jangan menyusahkan!" Verrel menarik lengan Percy kembali walau Percy terus menepisnya. "Oh loe belum nyobain tendangan baru gue yah. Kemarin loe liat kan saat latihan, tendangan gue gimana." "Gue bisa jalan sendiri!" Percy berjalan dengan sedikit sempoyongan meninggalkan Verrel yang terkikik di belakangnya. Mereka sudah sampai di parkiran mobil, Percy masih berjalan dengan sempoyongan menuju mobilnya, ia bahkan terjatuh ke tanah membuat Verrel berdecak kesal. "Loe pria paling angkuh dan sombong!" Verrel menarik Percy tetapi kembali di tepis olehnya. "Sialan!" gerutu Verrel saat Percy kembali menepisnya dan berdiri sendiri dengan sedikit susah payah. "Bisa kagak yah gue pergi dari negri ini atau dunia ini?" tanya Percy mulai ngaco. "Loe mau ngebooking duluan yah di neraka sana, boleh deh entar gue kasih loe kopi sianida!" jawab Verrel asal membuat Percy mencibir kesal. Sahabat macam apa, datang hanya membuatnya semakin emosi. "Kenapa?" tanya Verrel dengan tampang polosnya. "Di dunia sudah tersiksa, masa iya di akhirat juga. k*****t loe!" celetuk Percy makin ngawur. "Kalau ingin bahagia di akhirat, tinggalin kebiasaan mabuk. Gak guna kali, loe banyak-banyak solat taubat dan dzikir," ujar Verrel. "Kalau gue jadi ustad memangnya cocok?" gumam Percy yang malah menyahuti ucapan Verrel. "Kagak, gue ngeri lihatnya!" kekeh Verrel kembali membuat Percy mencibir. "Hah, gue ingin Rindi tapi malah di sodorin Rasya!" keluh Percy duduk di atas tanah dengan menyandarkan punggungnya ke mobil miliknya. "Ya masih mending kan di sodorin Rasya, dari pada jadi jones seumur hidup. Kan lebih nelangsa!" "Gue kok pengen bunuh loe yah, Rel." Percy menatap tajam ke arah Verrel membuatnya terkekeh. "Loe yakin mau bunuh gue? Kagak kasian Leonna baru nikah udah harus jadi janda? Dan gue yakin nanti loe bakalan nangis kejer di depan nisan gue," celetuk Verrel semakin menyebalkan. "Dasar sialan, antarkan gue balik. Gue ngantuk males nyetir!" amuk Percy beranjak dari duduknya. "Daritadi kek, jangan buang-buang waktu. Kagak kasian apa sama penganten baru!" ucap Verrel membantu Percy untuk masuk ke dalam mobilnya. "Kalau bisa gue ingin lepaskan Rasya dan memilih Rindi, tetapi takdir meminta gue sebaliknya. Kan stress gue, mana nyokap masuk rumah sakit lagi!" ujar Percy terus berceloteh walau Verrel sudah membawa mobilnya meninggalkan area itu.. "Hidup gue bener-bener penuh drama, udah kayak cerita sinetron saja yang pelik dan hanya nemu jalan buntu. Kalau bisa tuh jalan gue bongkar dan buat jalan baru. Tapi gak bisa!" "Lepaskan saja Rindi, mungkin memang kalian tidak di takdirkan berjodoh. Loe harus bisa berkorban demi cinta loe," ucap Verrel mulai serius dan seketika Percy beranjak dari rebahannya di kursi penumpang belakang. Ia mengapit leher Verrel dengan lengannya. "Loe mudah bicara kayak gitu, gue yang ngejalaninnya!" bentak Percy. "Oke sorry, loe gak mau buat gue mati sekarang kan. Jangan ajak-ajak gue kalau loe frustasi!" pekik Verrel mencoba melepaskan cengkraman Percy. "Berhenti mengoceh, gue mau tidur," ucap Percy melepaskan cengkramannya. "Perasaan yang sejak tadi mengoceh kayak cewek itu siapa," gumam Verrel serata merapihkan kerah kemejanya. "Loe ngomong sesuatu?" "Kagak!" ucap Verrel. "Ah sialan, bau alkohol badan gue. Kalau Leonna cium gimana, dia pasti nyangka gue minum," gerutu Verrel mencium pakaiannya sendiri. ♣♣♣ Di Bali, Rindi baru saja selesai melakukan pemotretan dengan Dafa. Hari sudah larut malam dan mereka memutuskan untuk makan malam bersama di sana, tetapi Rindi ngotot ingin kembali ke hotel tempatnya menginap karena handphonenya lowbet. Seharian ini Percy tidak memberinya kabar, dan Rindi sangatlah khawatir. "Biar aku yang antar Randa kembali ke hotel," ucap Dafa beranjak dari tempat duduknya. "Kalian yakin tidak butuh bodyguard?" tanya seseorang berbadan gendut itu. "Kamu tidak perlu mengantarku, aku bisa sendiri," ucap Rindi dengan sengit. "Heh Randa, kamu pikir ke hotel dengan berjalan kaki bisa langsung sampai. Ini cukup jauh dari penginapan," ucap Daffa. "Mbak ayo kembali," rengek Rindi pada Lina. "Randa sayang, sabarlah dulu. Kita makan dulu baru kembali ke hotel," ucap Lina. "Kamu mau aku antar atau mau tetap di sini?" tanya Dafa dengan menaik turunkan alisnya. "Aku balik bareng Dafa saja," ucap Rindi akhirnya karena tak ada pilihan membuat Dafa tersenyum senang. "Baiklah, kalian hati-hati di jalan," ucap kru yang ada di sana. "Kalian tenang saja," ucap Dafa masih memasang senyumannya walau di balas dengan tatapan sengit oleh Rindi. Rindi berlalu pergi diikuti Dafa dengan menggerutu kesal. "Wah nyanyianmu terdengar merdu sekali. Apa itu lagu baru?" tanya Dafa. "Siapa yang nyanyi?" pekik Rindi semakin emosi. "Wow, galak sekali!" kekehnya dan berlalu lebih dulu memasuki mobilnya. "Aku bukan sopirmu, nona Rindi." celetuk Dafa saat Rindi membuka pintu penumpang belakang. Rindi mendesah kesal dan membanting pintu begitu saja, iapun akhirnya naik ke dalam mobil di jok depan tepat di samping Dafa yang menyetir. "Kamu ternyata lebih sangar dari Randa yah." "Diam! tutup mulutmu dan jalankan mobilnya. Aku malas berdebat denganmu." "Oke," jawabnya dan langsung menginjak gas mobilnya. "Apa aku boleh memutar radio?" tanya Dafa. "Ini mobil siapa?" tanya Rindi dengan sinis. "Mobilku," jawab Dafa dengan polos. "Kalau begitu kenapa nanya, dasar sialan!" gerutu Rindi sangat emosi. Entah kenapa Daffa begitu menyukai Rindi yang emosional. Baginya wajah Rindi sangatlah lucu saat marah, apalagi melihat bibirnya yang di kerucutkan membuatnya ingin sekali melumatnya. Dafa bernyanyi mengikuti irama musik, sedangkan Rindi fokus menatap keluar jendela. Pikirannya melayang memikirkan Percy yang hilang kabar. Tidak biasanya Percy seperti ini, Rindi takut terjadi sesuatu padanya. "Kenapa berhenti?" tanya Rindi saat mobil mereka berhenti di tengah jalan yang sepi. "Lihatlah ke depan sana, Nona." ucap Dafa membuat Rindi menengok. Di depan mereka ada 5 ekor kambing  berdiri di tengah jalan menghalangi jalan mereka. "Kenapa ada kambing di jalanan, padahal ini sudah larut malam!" gerutunya dengan kesal, sedangkan Daffa terlihat santai saja. "Heh Tuan, kenapa hanya diam saja. Cepat usir mereka,” ucap Rindi. "Kenapa harus aku? Aku tidak mau." "Yak?" "Hei nona Rindi, aku ini Dafa Aryan Ghossan seorang aktor top di Indonesia dan bahkan sampai manca Negara. Bagaimana kalau ada paparazzi dan memberitakan kalau seorang Daffa bergaul dengan kambing-kambing di jalanan," ucapnya dengan santai membuat Rindi mengernyitkan dahinya. "Kau sangat sombong dan terlalu percaya diri," ucap Rindi sangat kesal. "Aku memang bangga menjadi seorang idola banyak orang, maka dari itu aku harus menjaga sikapku agar mereka tidak ilfeel padaku," jawabnya dengan sangat santai. "Apa katamu saja, Tuan idola!" "Namaku Daffa," "Whatever!" Rindi beranjak menuruni mobil dengan kesal sekali, ia berjalan menghampiri kambing-kambing itu. "Kambing kambing yang cantik, imut dan lucu. Aku mohon pergilah dari sini, jangan menghalangi jalan kami," ucap Rindi berbisik tetapi dia tidak sadar kalau Dafa sudah berdiri di belakangnya dengan melipat kedua tangannya di d**a. "Ayolah hush, pergi dong. Ini sungguh hari penyiksaan bagiku. Aku harus melakukan pemotretan selama beberapa jam dengan gaya yang sangat memuakkan apalagi dengan pria arrogant itu. Dan sekarang aku harus semobil dengannya. Bisa kalian pikirkan, aku sangat tertekan saat ini, ayolah kambing-kambing yang lucu, imut, dan menggemaskan pergilah aku mohon. Bantulah aku, jangan buat waktuku habis dengan pria arrogant, sombong dan tak tau diri itu. Ayo bantulah gadis malang ini," ucap Rindi memasang wajah sendunya, tetapi kambing-kambing itu tak ada yang merespon. "Kau membuat nama baikku hancur di depan kambing-kambing ini," celetuk Dafa membuat Rindi terlonjak kaget dan langsung berbalik ke arah Daffa. "Dasar tukang nguping!" gerutu Rindi sebal. "Aku sungguh tak memahamimu, Nona. Begitu tertekannya ada di sampingku, sampai memohon pada seekor kambing," ucapnya dengan nada geli membuat Rindi semakin kesal bercampur malu, wajahnya sudah sangat memerah. "Minggir," usir Daffa, membuat Rindi mundur selangkah. Dafa mendekati kambing-kambing itu. "Kalian para kambing-kambing, tidak ingin hidup kalian menyedihkan seperti gadis galak ini, kan. Sungguh mengenaskan, jadi sekarang pergilah," usir Dafa membuat Rindi membelalak lebar mendengar penuturan Daffa yang sangat menyebalkan. Dafa mengusir kambing-kambing itu dengan sebuah tongkat kayu yang dia pegang hingga kambing itupun menyingkir. "Selesai," ucap Dafa berbalik ke arah Rindi. "Apa maksudmu dengan aku yang menyedihkan dan galak?" pekik Rindi tak terima. "Kamu tidak memiliki cermin? Ayo kita kembali ke mobil dan aku akan pinjamkan kamu kaca spion agar kamu sadar diri," ucap Dafa dengan tenang. “KAU!!!” Rindi hanya mendengus kesal dan berjalan pergi meninggalkan Daffa sendiri dengan kekesalan yang memuncak. "Hey Nona, kau mau kemana?" teriak Daffa tetapi tak di gubris oleh Rindi, ia terus berjalan menyusuri jalanan sepi itu. Tinn tinnn "Ayolah jangan ngambek begitu," ucap Daffa mengikuti Rindi menggunakan mobilnya. Rindi tetap memasang wajah juteknya dan berjalan menyusuri jalanan. "Kamu tau tidak kalau di sini terkenal dengan makhluk seperti leak dan makhluk astral lainnya," ucap Daffa. "Aku tidak takut, dan jangan menakutiku," ucapnya dengan sengit. "Oke, kalau begitu selamat berjalan. Aku ngantuk dan ingin cepat sampai ke hotel." Daffa menginjak gas mobilnya meninggalkan Rindi sendiri. "Dasar pria arrogant dan menyebalkan!" gerutunya tetap berjalan dengan memeluk tubuhnya sendiri. Entah kenapa rasanya tengkuknya terasa merinding dan ia merasa di ikuti. Jalanan begitu sepi, dan kanan kiri hanya pohon-pohon dan tanaman liar. Rindi mulai merasa ketakutan, iapun memilih berjalan cepat tetapi semakin cepat, semakin besar rasa takutnya juga. Apalagi tengkuknya semakin merinding. "Dafaaaaa!" teriak Rindi akhirnya dan tak lama sebuah mobil terlihat mundur mendekati Rindi. "Berubah pikiran Nona?" ucap Dafa dengan senyuman menyebalkannya. Rindi langsung menaiki mobil tanpa berkata apapun. "Cepat pergi," ucapnya membuat Dafa terkikik sendiri. Gadis lugu yang berusaha untuk galak dan kasar, itu membuat Rindi terlihat lucu di mata Dafa.  Tak ada hentinya Dafa melirik Rindi dengan senyuman di bibirnya. Ia tidak perduli kalau Rindi terus memasang wajah sangar padanya. Sesampainya di hotel, Rindi langsung beranjak pergi tanpa mengatakan apapun membuat Dafa mendengus sebal. "Apa tidak bisa mengatakan, terima kasih Dafa," gerutunya menuruni mobil dan berjalan dengan santai menuju lift yang baru saja di naiki Rindi. Sesampainya di dalam kamar, Rindi segera mencharger handphonenya. Tetapi ternyata tidak ada notif apapun. 'Ternyata Percy benar-benar tidak ada menghubungiku.' batinnya mendesah kecewa menatap handphonenya. Ia pikir akan penuh dengan pesan suara dan message dari Percy tentang kenapa handphonenya yang tidak aktif sejak tadi sore. Ternyata tidak ada pesan apapun dari Percy, seharian ini. Rindipun memutuskan menghubungi Percy tetapi tidak di angkat-angkat. "Kamu kemana sih, Honey? Apa kamu tidak khawatir dan merindukanku?" gumamnya mematikan sambungan telponnya. Seakan belum puas, Rindi kembali mencoba menghubungi Percy walau hasilnya tetap sama, tidak di angkat. Tetapi Rindi terus mencobanya berkali-kali. Siapa yang tau, kalau Percy tengah menatap nanar handphonenya yang berdering di hadapannya. Yah, Percy memang sengaja tidak mengangkatnya. Ia tidak tau harus mengatakan apa pada Rindi, ia belum siap. Ia bahkan tidak memberi kabar sama sekali setelah kejadian kemarin. Ia menatap nanar handphone di hadapannya yang tak berhenti berdering. "Maaf," gumamnya kembali meneguk soft drink yang dia pegang sejak tadi. ♣♣♣
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN