bc

Safety Belt for Kencana

book_age18+
8.6K
FOLLOW
108.8K
READ
billionaire
possessive
dominant
comedy
sweet
bxg
bully
campus
office/work place
first love
like
intro-logo
Blurb

[Konten Dewasa]

Sequel from When The Bastard CEO Falls in Love

***

Gamal Abimana Althaf

Jahil, namun romantis. Kerlingan mata merupakan identitas resminya sebagai pria yang dinobatkan menjadi Boss tertampan di Althafiance dan Abadi Jaya.

Ranupatma Sri Kencana

Gadis yatim piatu yang rendah hati. Cerdas, namun keras kepala. Anti terhadap hal berbau pacaran. Anti berteman dengan orang-orang kelas menengah ke atas.

***

Tidak malu berjualan siomay demi menambah biaya kuliahnya, dia hampir menjadi bahan ejekan teman-teman satu kampusnya.

Hingga seorang pria membelanya saat dia tengah diejek. Namun balasannya justru membuat pria itu tercengang.

Tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh wanita itu, pria itu membuat balasan setimpal.

Balasan yang membuat wanita itu selalu bergantung padanya.

chap-preview
Free preview
Gamal Abimana Althaf
Sequel from When The Bastard CEO Falls in Love *** Gamal Abimana Althaf Jahil, namun romantis. Kerlingan mata merupakan identitas resminya sebagai pria yang dinobatkan menjadi Boss tertampan di Althafiance dan Abadi Jaya.   Ranupatma Sri Kencana Gadis yatim piatu yang rendah hati. Cerdas, namun keras kepala. Anti terhadap hal berbau pacaran. Anti berteman dengan orang-orang kelas menengah ke atas. *** Tidak malu berjualan siomay demi menambah biaya kuliahnya, dia hampir menjadi bahan ejekan teman-teman satu kampusnya. Hingga seorang pria membelanya saat dia tengah diejek. Namun balasannya justru membuat pria itu tercengang. Tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh wanita itu, pria itu membuat balasan setimpal. Balasan yang membuat wanita itu selalu bergantung padanya. * * ---**--- Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta, Indonesia., Halaman belakang., Sore hari.,             Mereka semua tengah berkumpul di halaman belakang rumah. Seperti biasa, jika sore hari begini, mereka akan menghabiskan waktu dengan bersantai atau bermain bulu tangkis. “Mas Gaza! Mainnya yang bener dong! Curang banget sih!” ketus salah satu wanita cantik yang ada disana, dia mendengus kesal.             Tiga orang yang duduk disana, salah satu dari mereka membuka suara. “Bukan Mas Gaza yang salah! Tapi Kakak yang gak bisa mainnya!” Wanita cantik yang duduk bersama dengan Eyangnya, Chandani. Dia justru membela sang Abang.             Wanita itu menatap tajam sang Adik. “Embun bela Kakak, atau Mas Gaza ?!” Wanita yang akrab disapa Bening itu tampak memberi pilihan pada sang Adik.             Bening, dia melirik sang Abang dengan senyuman kecut dan tawa kecilnya. “Maaf, Mas Gaza. Embun harus berpihak ke Kak Bening.” Ucapnya sembari mengangkat jari telunjuk dan jari tengah kanannya ke arah Gaza.             Pria yang terlihat santai dengan senyuman mengejeknya, dia terus saja memainkan shuttlecock mengarah pada sang Adik, Bening. “Okay. Ayo kita main lagi.” Gaza berusaha menyeimbangkan pukulan itu agar mampu dijangkau oleh sang Adik.             Mereka yang ada disana hanya menggelengkan pelan kepalanya saja. Sebab mereka tahu, jika Bening selalu menjadi sasaran empuk agar suasana menjadi ramai.             Pria berusia senja yang duduk tepat di sisi kanan sang istri, dia membuka suaranya. “Gaza ?” “Sudah dimana Gamal ? Kenapa dia lama sekali sampai ke rumah ?” tanya pria itu, Zhain kepada sang cucu.             Sembari mengayunkan raket di tangan kanannya, Gaza masih bisa mendengar ucapan sang Eyang. Dia langsung menjawabnya. “Mungkin sebentar lagi sampai, Eyang. Eyang tahu sendiri, Jakarta pasti macat dan panas.” Jawabnya tanpa melihat ke arah mereka yang duduk di gazebo minimalis berwarna coklat tua yang terdapat di sudut sana.             Seorang pria yang baru saja keluar dari arah pintu dapur, dia meneruskan kalimat sang putra. “Gamal tidak sendirian, Dad. Wilie juga ikut bersamanya.” Ucap pria itu, Dyrta berjalan ke arah mereka sembari membawa semangkuk buah yang sudah disediakan oleh istrinya, Chandly.             Adyrta Abraham Althaf, dia tahu dan sangat paham jika Ayah dan Ibu mertuanya sangat mengkhawatirkan cucu-cucu mereka jika berada diluar rumah. Itu sebabnya, Dyrta selalu menyuruh sekretaris pribadi putranya untuk menetap di Indonesia bersama dengan mereka. “Sayang! Kau lupa membawa minumannya!” Teriak seorang wanita dari pintu dapur yang sedikit berjarak jauh dari gazebo.             Dyrta yang hendak duduk bersama dengan mereka, namun dia menoleh ke sumber suara. “Astaga, Baby! Apa kau tidak bisa menyuruh mereka ?” Dyrta sedikit mendengus kesal. Pasalnya, istrinya tidak pernah mau menyuruh para bibi yang ada disana. “Baiklah. Biar aku bawa sendiri!” Chandly masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah kesal.             Tanpa banyak berpikir, Dyrta menyodorkan mangkuk buah yang dia pegang ke arah sang putri, Embun. Dia kembali melangkah lebar menuju pintu dapur. “s**t! Mommy kalian memang tidak pernah lepas dariku!” Dyrta bergumam kesal, hingga membuat Zhain dan Chandani tertawa geli. Dia mempercepat langkah kakinya, sebelum sang istri mengamuk dan tidak memberinya jatah malam nanti.             Embun memberikan mangkuk buah itu kepada Eyangnya, Chandani. “Semua orang takut sama Daddy. Tapi Daddy justru takut sama Mommy.” Gumam Embun langsung memeluk wanita tua yang sangat menyayanginya itu.             Chandani menerima mangkuk buah itu, dan memegangnya. Tangan kanannya lantas mengelus pelan punggung Embun. “Kalian tahu sendiri, Daddy kalian memang seperti itu.” Balas Chandani hanya sekedar saja.             Zhain tersenyum dan menatap Embun yang sudah bersikap normal seperti dulu. Bahkan dia sudah tidak sensitif terhadap suara atau bentakan apapun lagi. Tangan kanannya terangkat, membelai puncak kepala Embun yang membahu di bahu kanan sang istri, Chandani. “Sayang, kamu tidak mau ikut main dengan mereka ?” “Kalian berdua bisa mengalahkan Mas Gaza.” Zhain membelainya penuh kasih sayang.             Embun mendongakkan kepalanya, melirik ke arah kiri. “Nanti Embun keringatan, Eyang. Sebentar lagi Kak Beryl datang … dia mau ngawani Embun ngembalikan buku catatan ke rumah Tia.” Jawab Embun dengan nada sedikit manja.             Zhain dan Chandani mengernyitkan keningnya. “Sore ini ?” Zhain kembali menegaskan seraya tidak percaya jika sang cucu akan pergi, sementara hari sudah sore.             Chandani melirik sang cucu. “Tidak, Sayang. Ini sudah sore. Embun bisa ngembalikan buku itu besok saja.” Chandani memberi saran untuk cucunya.             Embun menghela panjang nafasnya. Dia menggeser posisinya, sedikit membuat jarak dari Eyangnya, Chandani. “Eyang … dengerin, Embun yah.” Embun menatap mereka bergantian. Senyuman tipisnya membuat sang Eyang, Zhain tertawa geli. “Eyang! Embun serius!” Embun sedikit sebal, sebab Eyangnya, Zhain seakan tidak percaya dengan penjelasan yang ingin dia sampaikan.             Zhain mendekati sang istri, Chandani. Sedikit merangkul pinggangnya. “Iya, Sayang. Ini kan Eyang dengarkan. Gimana ?  Kenapa Embun mau ngembalikan buku itu sore ini juga ?” Zhain mulai berwajah serius demi cucu kesayangannya.             Chandani mengulas senyumannya. Tangan kanannya terulur, menyapu helaian rambut yang sedikit mengganggu di kening sang cucu. “Iya, coba jelaskan ke Eyang.” Dia mulai memperhatikan wajah cantik cucunya yang sangat mirip dengan dirinya saat dia berusia remaja.             Embun menatap mereka bergantian. “Begini, Eyang. Kami ada ulangan mendadak besok siang. Dan informasi itu baru disampaikan setelah kami pulang dari kampus.” Embun mengotak-atik ponselnya. Dan membuka percakapan grup khusus perkulihannya. “Ini, lihat Eyang.” Dia menyodorkan percakapan grupnya ke arah Zhain dan Chandani. “Dan buku catatan Tia masih di tangan Embun. Tidak mungkin Tia tidak belajar untuk ulangan besok. Makanya, Embun minta tolong sama Kak Beryl untuk ngantar Embun ke rumah Tia …” “Lagi pula, Kak Beryl bisa kok. Jadi, ya sudah … sebentar lagi dia datang.” Jelasnya dengan wajah super imut.             Penjelasan terakhir Embun spontan disahut oleh pria yang baru saja selesai bermain bulu tangkis. “Siapa yang mau datang, Baby ?” tanya pria itu, Gaza.             Mereka berdua terlihat selesai bermain. Bening duduk pada tangga kecil yang ada disana. Dan Gaza mendekati mereka untuk mengambil buah yang tengah dipegang oleh sang Eyang.             Embun melirik mereka berdua. “Kak Beryl mau datang ke rumah, ngawani Embun ke rumah Tia, Mas …” “Mas sama Kakak sudah selesai mainnya ?” Embun melihat mereka sembari mengambil buah yang ada di mangkuk, disana.             Bening masih berdiam diri sembari mengatur nafas teraturnya. “Hahhh! Capek! Kamu tidak mau main ?” “Tuh lihat! Mas Gaza masih semangat banget!” Bening melirik sang Abang yang masih santai duduk disana, sembari mengunyah buah.             Gaza melirik sang Adik, Embun. “Batalkan janji itu, Baby. Biar Mas yang antar kamu ke rumah temanmu.” Gaza seraya membuat keputusan.             Embun mengernyitkan keningnya. “Ish, Mas Gaza! Lagian kenapa sih kalau Kak Beryl yang ngantar! Lagi pula Kak Beryl juga guru Embun!” Tegasnya dengan wajah tidak suka.             Keributan kecil itu langsung dipertanyakan oleh pria yang saat ini tengah berjalan ke arah mereka sembari membawa sebuah nampan berukuran besar. “Hey! Hey! Ada apa ini ?” tanya pria itu, Adyrta.             Wanita yang berjalan di belakangnya, dia membuka suara. “Mas Gaza ? Kenapa Mas Gamal lama sekali sampainya ?” “Apa Jakarta semacat itu ?” tanya wanita itu, Chandly menatap putranya yang duduk disana.             Gaza hendak membalas pertanyaan sang Mommy, namun Embun lebih dulu menyahut. “Biar Embun saja yang telpon Mas Gamal!” Dia sedikit antusias. Pasalnya sudah hampir seminggu dia tidak berjumpa dengan Abang kesayangannya dikarenakan harus berkunjung ke kantor Althafiance yang berada di New York.             Embun langsung menghubungi sang Abang. Mereka semua berkumpul disana, sembari menunggu Gamal yang belum kembali sejak 2 jam yang lalu setelah dia sampai di bandara Soekarno-Hatta. ..**..             Kediaman Zhain Afnan sudah semakin sepi sejak meninggalnya orang tua yang sangat mereka hormati, Zhakaria Afnan dan Arisha Cantara. Mereka meninggal sekitar 10 tahun yang lalu, dan membawa kesedihan tersendiri untuk Zhain Afnan dan Chandani Oyuri.             Bahkan keempat cucu Zhain juga turut bersedih saat itu. Tidak hanya mereka, Chandly juga merasa terpukul, sebab dirinya sudah tidak memiliki Eyang lagi.             Eyangnya, Pradipta Salaman dan Leta Niswari sudah pergi lebih dulu sejak usia anak-anaknya, Gaza dan Gamal menginjak 15 tahun. Dan beberapa tahun kemudian, Eyangnya Zhakaria Afnan dan Arisha Cantara turut menyusul hanya berselang 1 tahun saja.             Kini hanya Zhain dan Chandani yang mengisi rumah bersejarah keluarga Afnan. Awalnya mereka hidup tanpa ditemani oleh para cucu mereka.             Namun sejak kejadian yang menimpa cucu mereka, Embun Yara Adyrta Althaf. Hidup mereka seperti berwarna kembali.             Bukan karena mereka bahagia dengan kondisi Embun saat itu, tapi karena ketiga cucu mereka menetap di Indonesia demi membuat kondisi Embun seperti semula lagi. Ada yang menemani masa tua mereka.             Meski putri mereka, Chandly menetap di New York dan hanya sesekali mengunjungi mereka di Indonesia. Namun, Zhain dan Chandani sangat bahagia sebab ketiga cucu mereka bisa tinggal dengan mereka sampai sekarang. …             Seperti saat ini, Dyrta dan Chandly berkunjung ke Indonesia setelah 3 bulan mereka tidak menjenguk Zhain dan Chandani. Tidak lupa, Bening juga ikut bersama dengan mereka seba dia juga sangat rindu dengan sang Adik, Embun yang kondisinya sudah jauh lebih baik.             Walau mereka sudah berkumpul, tapi satu orang anggota yang belum sampai di kediaman Zhain. Pria yang sudah 1 minggu kembali ke New York karena ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan secara virtual.             Pria yang mampu mencairkan suasana dengan segala tingkah konyolnya. Tapi terkadang pria itu selalu membuat Adik-adiknya menangis karena dia selalu mengganggunya. Pria itu, Gamal Abimana Althaf. *** Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta, Indonesia., Sore hari.,             Pada hari yang sama, pria berbalut kemeja polos berwarna abu-abu muda, dengan dua kancing teratasnya sudah terbuka sempurna, dan terdapat kaca mata hitam disana. Pria itu tengah berjongkok di hadapan dua makam dengan batu nisan bertuliskan Richard Brahma Oyuri & Chacha Felisyah.             Sejak 30 menit yang lalu, dia masih berada di pemakaman ini. Karena pekerjaan yang belum selesai, dia tidak bisa kembali ke Indonesia bersama dengan kedua orang tuanya dan juga Adiknya, Dyrta dan Chandly serta Bening.             Kalau keluarga mereka sudah berkumpul, biasanya mereka menyempatkan diri untuk berziarah ke makam bersama-sama. Tetapi karena keluarga mereka sudah lebih dulu berziarah, dia memutuskan langsung singgah ke pemakaman setelah sampai di Jakarta. …             Dia terus menyapu batu nisan itu. “Maaf kalau Gamal berziarah seorang diri, Eyang Opa … Eyang Oma.” Gumamnya berbahasa Inggris.             Makam kedua orang tua sang Eyang, Chandani sangat indah dan terawat. Penuh rerumputan hingga membuat makam itu tampak asri. “Gamal baru saja sampai di Jakarta. Dan Gamal tidak bisa berangkat bersama dengan mereka. Dan …” Gamal terdiam, dan menjeda kalimatnya selama beberapa detik. Senyuman tipis terukir di kedua sudut bibirnya. “Apa Eyang Opa dan Eyang Oma tahu ?” “Sekarang, Embun sudah seperti sedia kala lagi. Dia sudah ceria.” Bibirnya kembali terbungkam. Matanya berpindah ke arah dua makam berdampingan. Dua makam berdampingan milik Eyangnya yang telah tiada, Pradipta Salaman dan Leta Niswari, serta Zhakaria Afnan dan Arisha Cantara. “Kalian jangan bersedih lagi … Eyang Chandani sudah sehat kembali. Dia juga sudah terbebas dari antibiotiknya.” Jelas Gamal seraya mencurahkan isi hati yang selama ini dia pendam seorang diri.             Yah, sejak Embun mengalami depresi akibat pelecehan yang dialami saat berada di New York. Chandani sangat syok, hingga membuatnya sempat dirawat di Rumah Sakit dan harus ketergantungan dengan antibiotik. Keadaan Chandani membuat mereka khawatir, hingga mereka melakukan cara apapun demi menyembuhkan trauma Embun. “Gamal janji, Gamal akan lindungi keluarga kita.”             Senyuman tipis terulas di wajahnya yang sangat mirip dengan Eyangnya, Zhain. “Dan doakan Gamal, semoga ada wanita yang mau menerima Gamal tanpa melihat latar belakang keluarga kita.” Gumamnya lagi dengan senyuman yang terus merekah. “Kalian tahu ?” “Sebentar lagi Mas Gaza akan melamar Mbak Yasmin. Daddy dan Mommy sangat bahgia karena sebentar lagi mereka punya menantu. Hahh …”             Dia menarik nafasnya dalam-dalam, seraya dadanya sangat sesak sekali dengan desakan dari Grandpa dan Grandmanya, Zu dan Anta. “Mereka berpikir, bahwa aku Gay ?” “Yang benar saja ?” Seringaian tipis di wajahnya mewakili perasaan Gamal yang benar-benar kalut. “Yah … aku paham bahwa jodoh itu memang rahasia …” “Mas Ara sudah menikah dengan Kak Eshal. Dan Mas Aka juga sudah melamar Kak Caca. Mas Gaza akan melamar Mbak Yasmin. Lalu aku ?” “Haahh … astaga …” Dia kembali menghela nafas, mengusap kasar wajahnya seraya memikirkan nasib ke depannya. “Dan sekarang, giliran aku yang ditanya kapan menikah. Apa Eyang Opa dan Eyang Oma tahu ?” “Bagaimana mungkin aku bisa menemukan wanita idamanku secepat itu ?” Dia sedikit menyeringai dan menggelengkan pelan kepalanya. “Apa mereka pikir, calon istri bisa dibeli secara onlinee ?”             Gamal sedikit geli dengan kalimatnya sendiri. “Dan kalaupun ada …” Bahunya sedikit mengendik ke atas. “Aku pikir, aku akan membelinya tanpa melihat harga.” Gumamnya lagi sembari menutup wajahnya dengan tangan kanannya, sebab dirinya merasa malu sekali saat ini.             Dia masih berjongkok setengah kaki disana, sembari terus mengelus pelan nisan cantik itu. “Mereka tidak bisa mendesakku untuk membawa wanita ke rumah, Eyang … ayolah …” “Aku sudah dewasa … mereka tidak perlu khawatir kalau aku akan selamanya berstatus single.” Gumamnya lagi.             Gamal masih berdiam diri disana, hingga ponselnya berdering. Dddrrrttt…             Dia sedikit meninggikan posisi pahanya untuk mengambil ponsel di saku celana panjangnya. Queen Embun is calling...             Keningnya berkerut. “Eyang, Embun menghubungiku. Sebentar aku angkat panggilannya dulu.” Gumamnya sembari menggeser warna hijau di layar ponselnya. “Hallo … Assalamualaikum … Ada apa, Baby ?” “Waalaikumsalam. Mas Gamal dimana ? Kata Mommy, kenapa sampai sekarang belum sampai rumah ?”             Gamal menghela panjang nafasnya. Dia lupa mengabari mereka jika dirinya singgah ke pemakaman. “Ah iya. Sebentar lagi Mas sampai rumah. Mas berangkat sekarang …” “Mas Gamal sebenarnya dimana sih ?” “Di pemakaman, Baby …” “Oh … oke. Kata Eyang, hati-hati dijalan!” “Okay, Baby. See you …” “Yups! Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam …” Tutt…  Tutt… Tutt…             Sambungan telepon terputus. Gamal tersenyum dan kembali melihat beberapa makam disana. “Eyang … Gamal pamit dulu. Sepertinya mereka sangat khawatir kalau aku lama sampai. Gamal janji akan berkunjung lagi kesini.” Dia beranjak dari posisi jongkoknya dan sedikit merenggangkan otot kakinya. “Aahh … Gamal pamit, Eyang.” Ucapnya lagi lalu berbalik badan, berjalan menuju pintu keluar pemakaman sembari memakai kaca mata hitamnya.             Tepat di belakangnya, seorang pria mengikuti langkah kakinya. Dia adalah sekretaris pribadi Gamal yang sudah mengabdi hampir 5 tahun di Althafiance. ..**..             Gamal Abimana Althaf, pria berusia 28 tahun yang selalu identik dengan kerlingan mata dan tubuh perfeksionisnya. Posisinya dalam perusahaan adalah sebagai Presiden Direktur Althafa Sport Car Corporation dan CEO perusahaan Abadi Jaya. Namun, dia lebih dominan bekerja di perusahaan mobil, warisan dari sang Daddy, Adyrta Abraham Althaf. Sama seperti saudara laki-lakinya yang bernama Aiyaz Koswara Althaf. Gamal memiliki tubuh hampir setinggi Aiyaz. Tubuhnya 1,90 m menjadikan Gamal tampak mirip dan sering disebut sebagai kembaran Aiyaz. Tidak hanya tinggi mereka yang hampir sama. Tapi karakter dan tingkah laku mereka juga mendekati kata sama. Itu sebabnya mereka berdua sangat cocok berkolaborasi dalam 1 perusahaan di Althafa Sport Car Corporation. Jejaknya dalam dunia bisnis memang terlihat main-main. Namun, dibalik itu semua Gamal adalah orang utama dibalik kesuksesan nama Althafa. Kerja kerasnya juga tidak luput dari bantuan tangan Aiyaz. Mereka berdua sangat kompak bahkan tidak pernah terlepas dari mata media. Khusus untuk Gamal, dia sama seperti saudara laki-lakinya yang lain. Tidak pernah ada media yang membahas perihal asmara pria tampan itu. Sebab Gamal memang sangat anti terhadap wanita kecuali jika memiliki hubungan keluarga.             Bahkan untuk urusan bisnis saja, Gamal tidak pernah betah jika lebih lama dalam forum percakapan yang melibatkan wanita. Hal tersebut membuat namanya pernah tersandung rumor yang membuat syok keluarga besar Althaf.             Dia dikatakan sebagai Gay karena tidak pernah menerima percakapan lebih lama bersama klien wanita. Tentu saja tudingan itu dibantah keras oleh Gamal yang memang sangat normal. Jika dia Gay, tidak mungkin dia sampai mengoleksi banyak blue film wanita di lemari khusus, di dalam kamarnya. Atas tudingan yang menurutnya sangat mencemarkan nama baik keluarganya, Gamal marah besar. Dia membuat bangkrut perusahaan media yang sudah mengeluarkan pernyataan rendahan itu dengan cara yang hanya diketahui oleh ketiga saudaranya saja. Tidak melalui namanya atau nama keluarganya, tapi melalui orang lain dan bisnis kasarnya. Permainan yang dilakukan oleh orang-orang terpercayanya mampu membuat perusahaan media itu akhirnya gulung tikar dalam waktu kurang dari 3 hari setelah 1 minggu berita itu menyebar ke seluruh penjuru dunia.             Begitulah seorang Gamal. Dia memang tidak pernah mau bersahabat dengan dunia luar. Apalagi jika itu mencemarkan nama baik atau merusak reputasi keluarganya.             Sifat dan karakternya mungkin sangat mirip dengan sang Daddy, Adyrta. Tapi perbedaan mereka adalah Gamal akan melakukan segala cara untuk membalasnya tanpa mengotori tangannya sendiri.             Berbeda dengan sang Daddy, Dyrta yang selalu mau terjun demi membuat perasaan menjadi sangat puas. Hal itu tidak berlaku bagi seorang Gamal yang selalu menjaga kebersihan namanya dan nama baik keluarganya, Abraham Althaf. *** Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta, Indonesia., Halaman belakang., Sore hari.,             Gamal turun dari mobilnya. Dia merasa gerah sekali. “Udara di Jakarta memang selalu dingin.” Ucap Gamal sembari mengibas-ngibas kemejanya.             Chandani tersenyum melihat cucunya yang selalu tampak tampan meski penampilannya berantakan. “Sini, Sayang. Kenapa tidak bilang kami kalau kau ke pemakaman.” Chandani menyuruh Chandly untuk menyiapkan segelas jus jeruk, untuk Gamal.             Gamal menghela panjang nafasnya. “Lupa, Eyang. Maafkan aku.” Balasnya lalu merundukkan tubuhnya, mengecup pipi kanan dan kiri sang Eyang.             Chandani membelai lembut wajah tampan cucunya itu. “Kau ini! Apa yang kau ingat selama ini, hmm ?”             Gaza menyahut kalimat sang Eyang, Chandani. “Siomay, Eyang.” Sahut Gaza bernada datar tanpa mengalihkan pandangan matanya dari ponsel yang tengah dia mainkan.             Gamal memutar malas bola matanya. Dia duduk di kursi kecil, tepat di bawah gazebo.             Chandly sedikit aneh dengan sahutan putranya, Gaza. “Siomay ?” “Tumben sekali. Apa sekarang kau suka siomay, Mas ?” Chandly melirik putranya.             Gamal meminum jusnya tanpa jeda. “Mas Gamal sudah suka siomay sejak dulu, Mom. Dia bahkan sering makan siomay sambil nunggu Embun keluar dari kelas.” Bening ikut menyahut tanpa berdosa. “Iya, Mom! Benar sekali!” Embun ikut mengiyakannya.             Perlahan, Gamal melirik kedua Adiknya. “Hanya beberapa kali saja aku makan siomay, Mom.” Lirikannya terlihat oleh sang Daddy dan kedua Adiknya. ‘Kalian bisa diam ?’ ‘Apa salahnya Mas makan siomay ?’ ‘Siomay sangat manis!’ Bathin Gamal seraya berbicara sendiri.             Dyrta yang berada disana. Dia sedikit terbatuk mendengarnya. ‘Apa ada siomay rasanya manis ?’             Gaza beranjak dari posisi duduknya. Dia tertawa terbahak-bahak sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Hingga mereka yang tidak paham, melihatnya dengan pandangan heran. “Siomay manis siapa yang punya ?” Gaza bernyanyi dengan nada mengejek dan direspon lemparan batu kerikil oleh Gamal. ‘Shitt!’ Umpat Gamal kesal.             Chandly melirik suaminya, Dyrta. “Ada apa ? Kalian bahas sesuatu ?”             Bening yang paham, dia beranjak dari duduknya. “Tidak ada, Mom. Mommy harusnya interogasi Embun. Dia yang tahu langganan siomay Mas Gamal.” Ucap Bening sambil tertawa geli dan secepat kilat lari masuk ke dalam rumah.             Zhain masih bingung dengan senyuman menatap cucunya, Gamal. “Kalian ini … main bahasa isyarat. Katakan langsung, jangan main kode-kodean.” Ucap Zhain dan direspon gelengan kepala oleh Chandani.             Gamal tidak mau pembicaraan ini semakin panjang.  Dia beranjak dari duduknya sambil membawa gelas berisi jus jeruk. “Aku mau mandi, Mom. Setelah mandi aku lapar.” Gamal memberi kode dengan kerlingan matanya.             Chandly mengangguk paham. Namun berbeda dengan Dyrta yang menatap tajam putranya, sebab dia tidak suka jika putranya bermain mata pada istrinya. ‘Your eyes, Gamal!’ Bathinnya dan justru direspon tawa oleh Embun yang masih berada disana. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook