Bab 0 : The Origin of Azazel
DI PUNCAK TAKDIR
Azazel berdiri di atas puing-puing, matanya menyala dengan amarah dan sesuatu yang lain… mungkin kesedihan? “Aku ingin bebas, Gabriel! Bebas dari takdir yang dipaksakan! Bebas untuk menciptakan, bukan hanya mematuhi!”
“Dengan menghancurkan segalanya?” “Dengan mengubah segalanya!”
Dia berdiri di puncak bentengnya, Puncak Takdir, yang sekarang telah menjadi gunung yang menjulang tinggi, dengan pohon terkorupsi yang telah tumbuh menjadi raksasa dan menjadi sumber energi bagi seluruh kerajaannya. Akar-akarnya tertanam dalam di puncak, menyalurkan kegelapan ke seluruh alam semesta.
Dia memandang ke bawah, pada pasukannya yang tak terhitung jumlahnya, pada Sariel yang setia di sampingnya, dan pada dunia yang telah ia robek menjadi dua.
“Besok,” bisiknya, suaranya seperti guruh yang menggelegar. “Besok, semuanya akan berakhir.”
---
DI UJUNG GURUN TAK BERUJUNG
Di ujung Gurun Tak Berujung, pasukan gabungan berkumpul. Mereka terluka, kelelahan, dan hampir putus asa, tetapi tidak terkalahkan. Seraphim, yang sekarang cahayanya lebih redup, berbicara kepada mereka, suaranya yang lembut namun kuat menyentuh jiwa setiap pendengarnya.
“Kita telah bertahan selama tiga ribu tahun,” katanya, matanya memandang setiap malaikat dan manusia yang ada di sana. “Kita telah melihat saudara-saudara kita gugur, kita telah melakukan hal-hal yang tidak terpuji untuk bertahan. Tapi besok, kita tidak bertahan. Besok, kita mengambil kembali apa yang telah dirampas dari kita. Untuk keseimbangan! Untuk masa depan!”
Gabriel, sekarang dengan satu sayap saja, mengangkat pedang cahayanya. “Untuk yang telah gugur! Dan untuk yang akan datang!”
Solomon, yang sangat tua dan bersandar pada tongkatnya, mengangkat cincinnya. Cincin itu bersinar dengan cahaya hangat, membuat para iblis di kejauhan merasa tidak nyaman. “Aku akan memberikan yang tersisa dari hidupku untuk mengakhiri ini,” katanya, suaranya parau namun penuh keyakinan. “Agar anak cucu kita tidak perlu mengalami teror yang sama.”
Langit di atas mereka merah tebal, petir menyambar-nyambar tanpa henti, dan pasang hitam beracun berhembus ditiup angin yang keras. Suasana begitu mencekam, penuh dengan aroma besi darah dan ozone.
Di kejauhan, Puncak Takdir menjulang seperti sebuah ancaman, dikelilingi oleh badai kegelapan yang tak henti-hentinya.
"AKHIRNYA KAU BERKumpul JUGA," sebuah suara menggelegar tiba-tiba memecah langit, bergema di atas deru angin. Azazel melayang di atas mereka, tubuh raksasanya menghalangi cahaya merah langit. "SEMUT-SEMUT BERKUMPUL UNTUK DIINJAK."
Dia mendarat dengan dampak yang menggetarkan bumi, pasir hitam berhamburan. "SERAPHIM. MASIH MEMAKAI MAHKOTA ITU? KAU TAHU ITU HARUSNYA MENJADI MILIKKU."
"Kekuatan ini bukan untukmu, Azazel," jawab Seraphim, cahayanya berkedip menahan tekanan kegelapan Azazel.
"BUKANKAH? LIHATLAH SEKELILING! AKU TELAH MENCIPTAKAN KERAJAAN YANG LEBIH HIDUP DARIPADA SEGALA YANG PERNAH KAU BANGUN!" Azazel mengangkat tangannya, menunjukkan gurun dan makhluk-makhluk hybrid-nya. "INI ADALAH KEBENARAN, BUKAN HANYA PERATURAN!"
"Kau menyebut ini kebenaran?" teriak Gabriel, maju ke depan. "Ini kekacauan! Pembunuhan!"
"GABRIEL, SI SAYAP SATU. KAU MASIH BERANI MENANTANGKU?" Azazel tertawa, suaranya penuh cemooh. "KAU HANYA TINGGAL BAYANGAN DARI MALAIKAT YANG DAHULU."
"Lebih cukup untuk menghentikanmu, Pengkhianat!"
"DAN SOLOMON..." Azazel memandang sang penyihir tua. "SI TUA YANG MEMAKSA DIRI UNTUK HIDUP MELAMPUI BATASNYA. APAKAH PENGORBANAN ITU MEMBUATMU BAHAGIA? MENYELAMATKAN SETENGAH UNTUK KEMUDIAN MENYAKSIKAN MEREKA MATI PERLahan?"
Solomon menggenggam tongkatnya lebih erat. "Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Seperti yang kulakukan sekarang."
"BAIKLAH. KALAU BEGITU..." Azazel mengangkat tangannya, energi gelap berkumpul menjadi bola raksasa di atas telapak tangannya. "MARILAH KITA AKHIRI SANDIWARA INI. AKU AKAN TUNJUKKAN PADAMU MAKNA SEBENARNYA DARI KEKUATAN!"
Pertempuran pembuka dimulai dengan serangan awal Gabriel yang menerjang garis depan beastkin, membabat mereka dengan pedang cahayanya. Solomon mengucapkan mantra, memanggil roh-roh para ksatria yang telah gugur untuk bertempur sekali lagi, sementara Seraphim menyerap bola api gelap pertama yang dilempar Azazel dari kejauhan.
Azazel, dari kejauhan, tersenyum. Dia mengirim ilusi—bayangan dari malaikat yang telah gugur—untuk memicu kekacauan di antara pasukan gabungan. Beberapa malaikat muda terjebak, mulai menyerang satu sama lain, sebelum Seraphim membersihkannya dengan menyinari mereka dengan Halo-nya.
Lalu, datanglah Sariel. Dia terbang turun, pedang esnya berkilauan di bawah cahaya merah langit. Dia menantang Gabriel.
“Sudah lama, Gabriel,” katanya, suaranya dingin seperti pedangnya.
“Sariel,” Gabriel menjawab, rasa sakit terdengar dalam suaranya. “Ini tidak perlu.”
“Kau yang membuatnya perlu.”
Mereka bertarung. Pedang cahaya dan es bertemu, menciptakan ledakan energi. Gabriel, meski hanya dengan satu sayap, masih merupakan petarung yang luar biasa. Dia lebih cepat, lebih kuat, dan lebih berpengalaman. Sariel, di sisi lain, bertarung dengan keputusasaan dan kemarahan seseorang yang telah kehilangan segalanya.
Pada akhirnya, Gabriel unggul. Pedangnya menembus pertahanan Sariel, menikam tepat di jantungnya. Sariel terhenyak, matanya melebar. Untuk sepersekian detik, cahaya lama kembali—sebuah kilasan dari malaikat yang dulu ia kenal.
“Maafkan aku, Gabriel,” bisiknya, sebelum tubuhnya runtuh menjadi debu hitam yang diterbangkan angin.
Gabriel berdiri di sana, terluka dan berduka. Kemenangan ini terasa pahit. Dia tahu, ini hanya pendahuluan. Azazel masih ada di atas sana, menunggu.
Seolah menanggapi pikirannya, Azazel melemparkan gelombang api massal yang begitu besar, menyapu seluruh medan pertempuran. "MERASAKAH KAU KEPUTUSASAAN ITU? MERASAKAH KAU KEGAGALANMU?" teriaknya, suaranya bergemuruh di atas ledakan.
Seraphim dan Gabriel terpaksa mundur, mengangkat perisai cahaya untuk melindungi pasukan yang tersisa.
Solomon mulai menggambar lingkaran pengorbanan di tanah, menggunakan tongkatnya. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia tahu harga yang harus dibayar.
Dari puncak menaranya, Azazel tertawa, suaranya bergema di seluruh gurun. "SERANGLAH, SAUDARA-SAUDARAKU. AKHIR KALIAN ADALAH AWAL KERAJAANKU!"
Suara Solomon terdengar, penuh dengan ketenangan dan kesedihan. “Perang Abadi mencapai puncaknya. Besok, dunia akan lahir kembali—atau musnah.”
Pandangan bergerak mundur melalui waktu, menyusuri tiga ribu tahun pertempuran, melalui darah dan air mata, melalui persahabatan yang retak dan ambisi yang menggelora, berakhir pada duel di langit antara Seraphim dan Azazel—cahaya dan kegelapan bertabrakan dalam sebuah ledakan yang bisa mengakhiri segalanya.
Dan dalam kegelapan, mata Azazel menyala, penuh dengan kemenangan dan kesepian yang tak terhindarkan. "DUNIA LAMA AKAN PUNAH. DAN DARI ABUNYA, AKU AKAN MEMBANGUN YANG BARU. INI TIDAK DAPAT DIHENTIKAN."
Di masa lalu, Perang terjadi selama 3000 tahun. Iblis dan malaikat yang di bantu dengan kekuatan ksatria malaikat bertempur hebat.