Malam Yang Menjual Takdir
Malam itu terasa semakin dingin..
Angin berhembus begitu kencang, menusuk hingga ke lapisan kulit terdalam, seolah ingin mengingatkan bahwa kota ini tak pernah benar-benar ramah bagi siapa pun.
Jalanan mulai lengang, namun di pusat kota, bangunan-bangunan tinggi justru bersinar lebih terang. Kendaraan mewah berjejer rapi, keluar masuk area eksklusif yang hanya terbuka bagi mereka yang mampu membayar mahal dengan uang atau harga lain yang lebih menyakitkan.
Salah satu bangunan berdiri megah, bertabur cahaya gemerlap. Dentuman musik dari dalamnya menggelegar, memantul ke dinding-dinding tebal, memenuhi udara malam dengan hiruk-pikuk semu. Klub itu menjadi tempat pelarian dari lelahnya hidup, dari pahitnya kenyataan, atau sekadar untuk menenggelamkan diri dalam kesenangan sesaat bersama para wanita malam.
Di sudut ruang VVIP, suasana terasa berbeda. Lampu redup, udara berat, dan keheningan yang menekan.
Seorang wanita berpakaian serba minim terduduk di lantai yang dingin. Tubuhnya bersimpuh, kepala tertunduk rendah di bawah kaki pemilik tempat itu. Tangannya gemetar, napasnya tersengal, seakan satu kesalahan kecil saja bisa membuat hidupnya berakhir malam ini.
“Hutangmu sudah mencapai dua ratus juta.”
Suara itu terdengar dingin, tanpa emosi. Madam Rose menatapnya dengan sorot mata tajam dan penuh keangkuhan.
“Dan kau belum membayar sepeser pun,” lanjutnya. “Aku bukan orang yang sabar dalam urusan hutang. Jadi… aku mau pembayaran sekarang juga.”
“Maaf, Madam…” suara Melinda bergetar penuh ketakutan. “Aku belum punya uang. Tapi aku janji akan melunasinya. Tolong beri aku waktu. Beri aku waktu sedikit lagi..”
“Waktu?” Madam Rose tersenyum tipis, sinis.
“Apa tiga bulan kemarin belum cukup bagimu?” Madam Rose sedikit mencondongkan tubuhnya, membuat tekanan di ruangan itu semakin terasa.
“Sekarang juga beri aku jaminan,” suaranya pelan namun penuh ancaman. “Kalau tidak, aku tidak akan ragu membuatmu menyesali hidupmu.”
Melinda menelan ludah kasar. Berpikir keras mencari solusi dalam waktu yang sesingkat - singkatnya dan tentu saja aman baginya. Ia tidak ingin bersinggungan dengan wanita dihadapannya saat ini. Madam Rose bukan tipe yang mengancam tanpa alasan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah janji dan selalu ditepati.
“Jaminan?" Suasana hening sesaat. "Aku punya jaminan,” ucap Melinda akhirnya.
Madam Rose mengangkat alis, tertarik. Seringai licik tercetak jelas pada wajahnya.
“Aku akan membawa putriku untuk bekerja di sini.”
Senyum Madam Rose merekah perlahan. Tatapannya berubah, berbinar seperti seorang pedagang yang menemukan barang langka. Ia menatap Melinda dari ujung kepala hingga kaki, lalu bertanya dengan nada datar namun menusuk.
“Putrimu masih gadis?” Tanya Madam Rose dengan sorot matanya yang tajam.
Melinda mengangguk tanpa ragu. Senyum puas terbit di wajahnya, seolah keputusan itu adalah penyelamat terbaik yang bisa ia pilih. Meskipun harus mengorbankan masa depan putrinya saat ini.
“"Tentu saja madam, dia masih gadis. Jadi madam bisa menjualnya dengan harga tinggi. Tapi ingat.. hutangku anggap lunas setelah Madam mendapatkan uang dari menjualnya. Dan aku juga akan meminta uang itu sebagian." ucap Melinda dengan senyum sumringahnya.
Senyum Madam Rose menghilang seketika. Tatapannya berubah tajam dan mengintimidasi.
“Berani sekali kau bernegosiasi denganku!"
Melinda menyeringai licik. "Jangan dikira aku tidak tau, tarif seorang gadis sangatlah mahal. Dan aku hanya minta dua ratus juta menjadi milikku. Dan madam bisa sepuasnya menjual putriku setiap malamnya pada p****************g. Bukankah itu sangat adil? Kita sama - sama diuntungkan dalam hal ini."
Melinda menyeringai kecil. “Madam tahu sendiri tarifnya. Aku hanya meminta bagian yang pantas. Selebihnya, Madam bebas memanfaatkannya. Bukankah kita impas?.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Madam Rose menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan, tepat ke wajah Melinda.
“Bawa putrimu besok siang,” Ucapan itu keluar juga dari mulut Madam Rose.
“Aku yang akan menilainya sendiri. Dan Ingat.. Jangan buang waktuku dengan hal yang sia-sia.”
Wajah Melinda langsung berubah lega. Ia tersenyum puas, seolah baru saja lolos dari jurang kematian.
“Tenang saja, Madam. Putriku tidak akan mengecewakan. Dalam waktu singkat, dia akan menjadi primadona di tempat ini.” Ucap Melinda dengan senyum kemenangan.
Madam Rose menyipitkan mata. Menatap penuh Remeh kepada Melinda. “Aku yang akan membuktikannya sendiri.”
Malam itu berakhir tanpa darah, tanpa teriakan. Namun sebuah takdir telah dijual.
Dari sanalah kehidupan putri Melinda mulai berubah.
Cita-cita yang pernah ia gantungkan setinggi langit runtuh seketika, dihancurkan oleh tangan yang seharusnya melindunginya.
Dengan langkah ringan namun hati yang dipenuhi ambisi, Melinda meninggalkan tempat itu. Senyum tipis mengembang di sudut bibirnya, seolah masa depan telah berada dalam genggamannya sejak malam ini.
"Aku akan kaya raya. Gadis itu harus menghasilkan banyak uang untukku. Bukankah aku sudah susah payah membesarkannya? Sekarang waktunya dia membalas semuanya." Ucap Melinda dengan penuh ambisi.
Pukul 01.00 dini hari, Melinda akhirnya tiba di rumah. Ia melangkah masuk tanpa menyalakan lampu, membiarkan kegelapan menyambutnya. Rumah itu dulu pernah hangat—penuh tawa dan kebahagiaan. Namun semua itu telah lama mati. Yang tersisa hanya kesunyian yang menusuk tulang.
“Ibu baru pulang?” Suara Lea terdengar datar, nyaris tanpa emosi.
Melinda menoleh tajam. Tatapannya dingin. “Kenapa? Itu bukan urusanmu. Besok kamu tidak usah pergi kuliah. Aku akan mengajakmu menemui temanku.” Nada suara Melinda bukan permintaan melainkan suatu perintah.
“Tapi, Bu… besok aku ujian. Aku tidak bisa,” ucap Lea lirih, harapan terakhirnya bergantung pada satu kata yaitu pengertian dari sang Ibu.
Namun Melinda justru menatapnya semakin tajam.“Sejak awal sudah aku bilang. Tidak usah kuliah. Tugas perempuan itu hanya menyenangkan suaminya. Dan untuk itu, pendidikan tinggi tidak ada gunanya.”
Kalimat itu menghantam Lea tanpa ampun.
Matanya membesar, dadanya terasa sesak. Ia tak pernah menyangka kata-kata sekejam itu keluar dari mulut seorang ibu. Ibu yang seharusnya melindungi, bukan menghancurkan.
Di luar sana, ibu-ibu berjuang agar anaknya sekolah tinggi, mengapa ibuku justru ingin menyeretku ke jurang kebodohan ?
Pantaskah seorang ibu berkata seperti itu?
Namun Lea menelan semua perasaannya. Ia bahkan terlalu lelah untuk melawan. Terlalu takut untuk membantah. Karena bagaimanapun, perempuan di hadapannya adalah ibunya.
“Aku ujian dulu besok pagi, Bu,” ucap Lea akhirnya, merendahkan diri. “Sorenya aku ikut menemui teman Ibu. Aku janji.”
Melinda terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baik. Jam tiga sore kamu harus sudah berada di rumah. Tidak ada kata terlambat. Semua ini menentukan masa depanmu.”
"Masa depan siapa?" Lea tidak berani bertanya.
Ia hanya mengangguk pelan, pasrah. Selama masih ada celah untuk mempertahankan sedikit mimpinya, ia akan bertahan.
“Sekarang pergilah tidur." Ucap Melinda dingin. “Kurangi begadang. Wajah kusam dan mata hitam itu merusak nilai jualmu. Ingat, bagi perempuan, wajah adalah aset. Kalau wajahmu jelek, masa depanmu juga ikut jelek.”
Setelah mengatakan itu, Melinda pergi begitu saja meninggalkan Lea sendirian di ruang tamu yang dingin.
Lea mengembuskan napas panjang. Bersama hembusan itu, ia menelan semua luka yang tak pernah sembuh.
Menghadapi ibunya selalu menguras tenaga.
Dan malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, diam dan patuh adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Akankah Melinda benar-benar membawa putrinya ke hadapan Madam Rose?
Ataukah keputusan malam itu akan menjadi awal kehancuran yang tak bisa ditarik kembali?