1. KITA SAMA-SAMA MISKIN
"Apa yang kalian lakukan, badjingan?"
Teriakan yang berasal dari arah pintu masuk membuat dua orang yang sedang bergulat di sofa saling melepaskan diri dan memungut sebagian pakaian mereka yang berserak di lantai lalu merapikan pakaian masing-masing dengan gerakan kilat.
"Apa kamu sudah bangkrut? Jatuh miskin sampai-sampai tidak bisa menyewa motel?" lanjutnya dengan tatapan jijik ke arah pria yang sedang santai mengancingkan kemejanya tanpa ada rasa malu sudah kepergok b******u dan rautnya tanpa perasaan bersalah justru menyeringai.
"Kalau motel kemahalan, noh banyak tuh guest house yang murah-murah, kalau nggak sanggup bayar juga sana perg----"
"Tutup mulut sialanmu itu!" ujar si pria dengan dingin memotong kalimat yang belum berujung.
Keduanya saling menatap dengan mata melotot dan penuh dengan kebencian satu sama lain. Aura permusuhan sangat kental. Tatapan tajam dan jijik dari masing-masing mereka menjelaskan semuanya.
"Kamu bisa pergi," ujar si pria tanpa menoleh pada wanita yang baru selesai merapikan pakaiannya dan sedang berdiri menunduk dengan perasaan malu karena tertangkap basah sedang mencumbui suami perempuan lain.
Perempuan itu mengangguk walau tidak di lihat oleh si pria karena pria itu masih saling melotot dengan si pengganggu kesenangan mereka dan itu adalah istrinya sendiri.
Dengan segera perempuan itu meraih tas yang ada di sofa tunggal dan berjalan cepat ke arah pintu.
Ceklek
Suara pintu di tutup dan beberapa detik berikutnya deru mesin mobil perlahan menjauh menandakan tamu tidak tahu diri itu sudah pergi.
Keheningan melingkupi ruangan itu hingga beberapa detik. Lalu dengan segera perempuan itu mengalihkan pandangannya dari si pria kemudian melangkah ke arah dapur. Meletakkan tas belanjaannya di atas meja lalu menuangkan satu gelas air dari dispenser untuk di teguk sekali teguk.
"Kurang ajar, menjijikkan sekali!" gumamnya dengan kekesalan yang masih mengepul di dalam hati dan kepalanya. Dia menyesali kenapa dia pulang secepat itu dari super market.
"Seharusnya aku makan malam dulu baru pulang," gumamnya lagi dengan wajah penuh kekesalan.
"Bisa-bisanya dia membawa perempuannya ke rumah ini. Benar-benar kurang ajar. Si perempuan juga jalang, tidak ada segan-segannya mengobral barangnya di rumahku," lanjutnya lagi masih dengan bergumam.
Dia nyaris melemparkan gelas di tangannya sebagai pelampiasan akan emosi yang sedang bergejolak.
"Kau cemburu? Kenapa?"
Suara si pria yang sedang mendekat terdengar sangat menjengkelkan. Karena dari nadanya dia benar-benar mengejek. Bahkan pria itu mendengus usai usai bertanya.
"Apa kau juga ingin aku tiduri seperti perempuan tadi? Pasti kau sudah menunggunya selama ini kan?"
"Dalam mimpimu," jawab si wanita sambil berbalik dan kembali beradu tatapan.
"Jika bukan, kenapa marah?"
"Jelas aku marah karena kau membuat rumahku kotor dan tercemar. Lain kali kalau mau celup-celup lobang jangan bawa kesini. Masih punya uang kan untuk sewa kamar? Kalau sudah tidak, hubungi saja aku, aku yang akan bayar."
Kalimatnya benar-benar meruntuhkan ego si pria yang merasa di rendahkan dan di anggap miskin sementara dia adalah seorang pemimpin perusahaan group besar di Indonesia yang menaungi beberapa bidang. Pria itu mengepalkan tangannya di dalam saku dan mengeratkan giginya karena geram hendak menyerang perempuan di hadapannya.
Jika membunuh bukan dosa, sudah sejak lama dia mencekik leher gadis di depannya dan menggantungkannya di pintu karena tajamnya setiap kata yang meluncur dari mulutnya.
Tapi,
"Hah? Aku? Aku nggak punya uang?" tunjuk pria itu pada diri sendiri sambil menadahkan wajahnya dengan tawa garing penuh kekesalan sementara wanita itu hanya mengerutkan keningnya sambil mengangguk. Tak ada raut takut di wajahnya karena sudah membuat pria tinggi semampai di hadapannya jengkel. Justru dia semakin menjengkelkan dengan wajah tanpa dosanya saat mengangguk mengiyakan padahal sudah jelas-jelas tahu berapa digit angka yang tertera di saldo rekeningnya.
"Itu mungkin kau, Gloria. Sadarlah, yang miskin disini adalah kau. Kalau aku, maaf karena ini akan melukai harga dirimu untuk kesekian kalinya, seperempat dari jumlah uangku cukup untuk biaya hidup keluargamu sampai tujuh turunan. So, jaga mulutmu kalau bicara. Kau bisa tinggal di rumah mewah ini dan menikmati semua perabotan mahal dan import quality, bisa makan makanan yang bahkan belum pernah kalian sekeluarga cicipi, bisa hidup layaknya seorang putri dari keluarga kaya, semua itu karena aku," ujar si pria dengan tegas pada wanita bernama Glory itu sembari menepuk dadanya dengan bangga.
Dia juga kemudian mendorong bahu Glory dengan telunjuknya beberapa kali saat dia bicara hingga Glory harus menahan rasa sakit dari tekanan telunjuk itu.
Glory tidak membantah karena apa yang barusan pria itu katakan adalah benar. Dia berasal dari keluarga berkecukupan yang terpaksa harus menikah dengan pria bernama Richard itu karena bisnis orang tuanya bangkrut dan mereka nyaris kehilangan semua harta benda untuk membayar hutang dan kerugian usaha.
Tapi, dia tidak mau harga dirinya dan semua keluarganya di injak-injak oleh Richard hingga benyek hanya karena mereka di kembalikan ke roda kehidupan yang lama.
"Terus, karena aku dari keluarga miskin dan sekarang bisa menikmati semua kekayaan keluargamu, kamu bisa semena-mena padaku? Kamu bisa berbuat dosa di hadapanku? Aku tidak berhak marah saat kamu menyetubuhi perempuan lain di rumahku di depan mataku? Begitu?" tanya Glory tidak ingin kalah debat.
"Jangan lupa Richard, sekarang kau bisa menggunakan semua kekayaanmu itu karena aku. Karena jika aku tidak setuju menikah denganmu atau pun sebaliknya kamu yang tidak setuju, kamu akan sama sepertiku,
m-i-s-k-i-n, miskin!" ujar Glory dengan mengeja kata miskin dan menekankannya di ujung kalimat. Matanya melotot mengejek ke wajah Richard.
"Kam--"
"Apa? Menolak lupa?" potong Glory merasa menang.
Richard terdiam karena fakta menyakitkan itu dia dengar lagi. Dia memang tidak bisa mengelola keuangannya dengan suka-suka seperti dulu jika tidak menikah dengan Glory. Dan parahnya, ancaman keluarganya adalah mencoretnya dari daftar keluarga dan menggeser posisinya di perusahaan jika dia menolak menikah dengan perempuan bernama Glory itu.
Hal mustahil sih kalau di pikir-pikir tapi Richard sudah tahu tabiat neneknya dan jika sebuah ancaman keluar dari mulut neneknya sudah pasti akan terjadi jika dia melanggar perintah.
"Kau dan aku sama-sama miskin Richard. Jadi jangan berlagak sok kaya di depanku. Dan ingat, ini rumahku sekalipun yang membelikannya adalah omamu. Jadi, jaga sikapmu, jangan sekali-kali kau bawa l0ntemu ke rumahku ini dan mengotori rumahku dengan perbuatan bejatmu, paham?"
Glory berbalik meninggalkan Richard sendirian.
Ya, dua orang itu adalah pasangan suami istri terpaksa.
Tidak ada perasaan sayang, cinta bahkan rasa ingin saling memiliki di antara mereka, jangankan untuk saling memiliki, untuk saling mengenal satu sama lain pun sepertinya mereka enggan. Mereka terpaksa tinggal di rumah yang sama walau hidup seperti tikus dan kucing.
Melakukan pekerjaan masing-masing tanpa mengurusi masalah pribadi masing-masing.
Sesampainya di kamar, Glory melihat bingkai keluarganya dan masih ada neneknya disana.
"Semua ini gara-gara kamu, Nek. Apa nenek sudah puas melihat bagaimana hidupku sekarang? Apa ini kehidupan yang nenek inginkan untuk aku jalani?" ujarnya dengan nada marah yang di pendam. Dia menutupkan poto itu di atas permukaan meja dengan gerakan kasar.
****
Namanya Glory Grethania dan sering di panggil GG (jiji) oleh teman-temannya bahkan rekan sejawatnya di rumah sakit. Dia seorang perawat junior yang kompeten.
Usianya masih dua puluh tiga tahun tapi sudah berstatus istri dari seorang pria kaya dan terhormat bernama Richard Zachary pewaris BZ group. Mereka terpaut usia sebelas tahun yang membuat banyak orang mengira bahwa Glory sedang berjalan dengan gadunnya ketika terpaksa mereka berdua harus bersama di suatu tempat dan acara tertentu.
Walau pernikahan mereka sah secara agama dan negara, keduanya kompak meminta pada seluruh anggota keluarga masing-masing agar tidak menggembor-gemborkan pernikahan mereka bahkan saat pesta pernikahan hanya di lakukan secara private.
Hanya segelintir orang luar yang mengetahui hubungan keduanya dan mereka adalah orang-orang sibuk dan penting yang tidak punya waktu untuk mengamati terutama membahas status pernikahan orang lain.
Namun, pernikahan tidak selamanya bisa di tutupi, karena ketika ada acara penting, Richard juga harus menggandeng pasangannya di khalayak umum hingga pada akhirnya pernikahan itu terbongkar sendirinya dan sempat menjadi buah perbincangan hangat di rumah sakit tempat Glory bekerja.
Banyak yang bertanya bagaimana bisa dan sejak kapan. Tapi Glory hanya memberikan senyumnya sembari mengangkat tangan menunjukkan jari manis yang di lingkari oleh cincin pernikahan.
"Kapan dan bagaimana tidak penting. Yang penting, kami sah," jawabnya waktu itu.
Dia benar-benar tidak ingin ada orang tahu bahwa dia di lemparkan oleh orang tuanya demi usaha yang sudah di ujung tanduk.
"Hufff"
Glory menghembuskan nafas dengan keras sesaat setelah dia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dia menatap langit-langit kamarnya dan menggumam, "Berapa lama lagi Tuhan?"