Bab, 1. Resmi bercerai.
Di sebuah ruang sidang, di hari yang makin siang. Seorang pria menelan ludah kasar, dan keringat tampak mengucur di kening dan dahinya.
Diaz Atmajaya, pria berusia 34 tahun – seorang CEO beserta Owner Atmajaya company itu baru saja menyandang status duda, dan ia juga sudah menerima surat duda dari pengadilan.
Sebenarnya ia tak ingin hal semua itu terjadi, tapi – hatinya sudah tak sanggup menerima segala penghianatan dari istrinya.
Wanita cantik bernama Keyla Sindy, tampak terdiam sembari menunduk dalam di saat ia sudah menyandang status janda di usia 30 tahun.
"Putra Pak Diaz masih berusia 6 tahun, Kenzo Atmajaya masih dibawah umur, dan biasanya – hak asuh anak akan jatuh pada ibu. Anak dapat memilih hidup bersama siapa di saat berusia 17 tahun." ujar hakim.
Hati Diaz seakan pilu mendengar ucapan hakim, matanya berkaca-kaca menandakan ia tak menerima segala keputusan yang ada.
"Yang mulia, tolong berikan saya kesempatan untuk mengasuh putra saya. Saya mohon." gumam Diaz dengan suara bergetar hebat.
Pengacara yang Diaz bawa akhirnya mengusulkan suatu hal dengan segala hal yang baru saja Diaz katakan.
Setelah negosiasi yang cukup lama, akhirnya hakim mulai bicara. "Baik, saya akan mempertimbangkan hal yang baru saja diusulkan, tapi dengan catatan – Sodara Diaz Atmajaya maupun Saudari Keyla Sindy – harus sama-sama memperlihatkan bukti bahwa mereka pantas menjadi orangtua yang akan memegang hak asuh Kenzo Atmajaya." ujar hakim.
Ucapan dari hakim seolah meminta mereka untuk bersaing untuk mengambil hak asuh. Diaz terdiam saat mendengar keputusan hakim. Kini ia harus mencari cara agar bisa memiliki hak asuh, dan segala hal yang diucapkan hakim bukanlah hal yang mudah.
Persidangan selesai, dan satu persatu orang tampak bangkit dari duduk mereka dan segera keluar dari ruang sidang. Beberapa orang yang kenal baik dengan Diaz tampak menghampiri dan memberikan dukungan pada pria itu.
Tapi, sebanyak apapun dukungan yang ia dapatkan, tetap saja ia harus mencari cara untuk memenangkan hak asuh.
"Diaz, bisakah kita bicara di tempat lain?" tanya Heri. Ia adalah pengacara Diaz, sekaligus teman baik Diaz. Pria yang sedari tadi tampak frustasi akhirnya mendongak dan menatap sahabatnya yang kini berdiri tegak tak jauh dari tempatnya sembari menunduk menatapnya yang tengah terpuruk.
Diaz hanya mengangguk.
Heri menatap iba ke arah pria itu, ia tahu bagaimana seorang Diaz mencintai istrinya, namun – wanita yang dicintai sepenuh hati oleh Diaz malah berkhianat berkali-kali, sehingga Diaz memutuskan untuk bercerai dengan dirinya.
"Diaz." panggil seseorang di saat Diaz telah bangkit dari duduknya dan hendak meninggalkan ruang itu. Diaz menoleh ke arah sumber suara, dan ia menatap seseorang yang memanggilnya.
Pada saat itu, Diaz akhirnya mau tak mau bertatapan dengan Keyla Sindy, wanita yang kini menyandang setatus jandanya.
Tatapan Diaz tampak kosong di saat menatap Keyla, bukan karena tak lagi memiliki rasa pada wanita itu. Hanya saja – segala hal yang di lakukan Keyla membuat luka di hatinya. Cintanya masih sangat besar, tapi – luka itu juga sama besarnya.
Diaz hanya menatap wanita itu, tapi ia tetap diam.
"Kamu akan menyesal karena menceraikan aku!" tekan wanita itu. Diaz hanya diam, entahlah apa yang ada dalam otak pria itu, Heri saja sampai menatapnya berkali-kali, seakan ia menunggu jawaban dari Diaz.
Heri menghela nafas di saat ia tak mendengar Diaz bicara apapun pada saat itu.
"Oh, hallo nona..., kali ini aku tidak bicara sebagai pengacara, melainkan sebagai sahabat dari Diaz Atmajaya. Apa kamu bilang tadi? Dia menyesal karena telah menceraikan kamu? Kalau begitu – mari kita buktikan. Dan, untuk waktu 3 bulan ini – mari kita sama-sama memberikan bukti pada hakim, siapa yang jauh lebih layak mendapatkan hal asuh untuk Kenzo!"
"Ayo, Diaz..., kita pergi saja dari sini, tak ada gunanya bicara dengan wanita tak tahu malu begini!" Heri memegang pundak sahabatnya, lalu mereka meninggalkan Keyla yang tampak memandangi kepergian mereka dengan nafas terengah karena menahan emosi yang tampaknya sudah membara.
Diaz sendiri hanya diam tanpa ada niat untuk bicara. Pria itu berada dalam titik rendahnya seorang pria, dan kini – mungkin ia hanya akan diam seribu bahasa.
***
Di sebuah cafe yang tenang, Diaz masih terdiam dan tampaknya enggan bicara.
"Astaga, kamu jangan begini terus dong, Diaz! Aku bisa gila melihatmu yang menggila begini, aku sudah membawamu untuk bersantai sejenak, tapi kamu masih terlihat linglung begitu!" ujar Heri dengan suara yang terdengar frustasi.
"Aku bingung, aku bingung harus bagaimana, Heri. Aku sangat menyayangi putraku, dan aku merasa harus memiliki hak asuh atas anakku."
"Kalau begitu, mari kita bicara dan berpikir bagaimana agar mendapatkan hak asuh tersebut! Bukan malah hanya bengong begini. Paling cepat hak asuh anak itu jatuh dalam tempo 3 bulan. Selama tiga bulan ini, kita harus mencari cara agar hakim memberikan hak asuh anak padamu." balas Heri sembari menahan rasa kesalnya.
Diaz tampak terdiam untuk beberapa waktu, ia akhirnya mencerna segala hal yang diucapkan oleh sahabatnya itu.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Nah, begini dong. Jangan cuman bengang-bengong! Begini, hakim pasti akan menanyakan pada putramu, ia lebih nyaman tinggal bersama siapa, dan karena kamu adalah orang yang sibuk bekerja, maka kamu harus memiliki bukti kuat bahwa kamu bisa mengurus putramu, tanpa kekurangan apapun, bahkan kasih sayang." ujar Heri.
Diaz kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Kali ini ia akhirnya makin bingung dengan apa yang Heri katakan. Bila harus mengurus putranya dalam seharian penuh, ia tentu tak akan bisa melakukannya, karena – ia punya tanggung jawab besar untuk perusahaannya. Tapi, membayangkan putranya tinggal bersama sang ibu, ia juga merasa tidak sanggup.
"Aku tak bisa menjaganya seharian penuh, aku punya tanggung jawab, Heri. Tapi, bila membiarkannya tinggal bersama ibunya, aku juga takut. Keyla bukanlah ibu yang menyayangi putranya, ia kerap kali abai, dan bahkan tidak perduli. Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Diaz dengan suara yang terdengar lirih, bahkan nyaris tak terdengar.
"Itu yang harus kita pertimbangkan, kalau kamu tidak bisa menjaganya, dan punya alasan kuat untuk memiliki hak asuh, mungkin kamu harus melakukan satu hal." balas Heri.
"Apa itu?" tanya Diaz singkat.
"Kamu harus mencari pengasuh yang benar-benar menyayangi putramu, dan membuatnya betah tinggal di kediamanmu saat ini. Hanya keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan dari putramu yang nantinya akan dipertanyakan oleh hakim." tutur Heri.
"A–apa?" gumam Diaz dengan ekspresi wajah yang tampak tegang.