Bab 01 - Pagi Terakhir
Sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela kecil rumah sederhana. Membawa kehangatan yang perlahan membangunkan penghuninya. Di dapur, aroma nasi hangat dan telur goreng menyebar pelan.
Seorang pria paruh baya dengan wajah letih namun penuh kasih sibuk menyiapkan sarapan sambil sesekali memanggil kedua putrinya agar segera bangun. Tangannya cekatan meski sedikit kaku. Kebiasaan lama yang ia biasakan sejak istrinya meninggal dunia.
“Kirana, Davina… Ayo bangun! Nanti telurnya keburu dingin, lho!”
Kirana, anak sulungnya baru saja keluar dari kamar sambil merapikan rambutnya dan membantu menata makanan di meja makan.
“Iya, Yah… Sebentar lagi! Aku udah bangun kok!”
“Nah, gitu dong. Bantu Ayah taruh piring ya. Adik kamu belum bangun juga tuh.”
Kirana melirik ke arah kamar adiknya.
“Davina! Ayo bangun, udah pagi! Nanti kamu telat sekolah!”
Davina, anak bungsu menjawabnya dengan suara malas.
“Lima menit lagi, kak…”
Ayah tertawa kecil.
“Lima menitnya Davina itu bisa jadi setengah jam. Ayo, Nak, bangun. Ayah udah masakin nasi goreng kesukaan kamu, tuh.”
Davina pun akhirnya keluar kamar sambil mengucek mata.
“Hmm… Nasi goreng?”
“Iya, tapi kalau kamu nggak cepat duduk, nanti kak Kirana keburu makan punya kamu.”
Kirana berpura-pura.
“Wah, boleh juga tuh, Yah. Aku lapar banget pagi ini.”
Davina cepat-cepat duduk.
“Jangan! Aku mau satu!”
Ayah dan Kirana tertawa bersamaan. Mereka bertiga sarapan di meja kayu yang sederhana. Kadang sambil bercanda kecil. Kadang diam sambil menikmati kebersamaan yang terasa utuh meski tidak lengkap.
Di dinding tergantung foto keluarga lama. Sosok sang Ibu tersenyum lembut di sana. Menjadi pengingat akan kasih yang masih hidup di hati mereka setiap pagi.
Davina menatap foto Ibu di dinding.
“Yah… Kalau Ibu masih ada, pasti pagi-pagi kayak gini lebih ramai, ya?”
Ayah terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut.
“Iya… Tapi Ayah rasa, Ibu pasti senang lihat kalian berdua tetap bisa tertawa seperti ini.”
Mereka bertiga menatap foto itu sebentar, lalu kembali melanjutkan sarapan dalam kehangatan sederhana. Rumah itu mungkin kecil dan sederhana. Tapi setiap paginya selalu dipenuhi dengan cinta, ketulusan, dan usaha untuk tetap kuat bersama.
“Nanti kamu pulang sekolah seperti biasa kan, Davina?” tanya Ayah memastikan. Karena Davina walaupun sudah kelas 2 SMA, dia masih diantar dan dijemput oleh Ayahnya.
“Oh iya, nanti sore aku ada rapat osis di sekolah. Pulangnya agak telat, nggak apa-apa kan, Yah?”
“Nggak apa-apa, yang penting kamu hati-hati. Nanti kalau sudah selesai kamu langsung kabarin Ayah. Jangan sampai kamu pulag sendirian, ya.”
Davina menganggukkan kepalanya sambil mengunyah. Setelah selesai sarapan, Ayah bersiap-siap untuk mengantarkan Davina ke sekolah.
Ayah keluar dari rumah sederhana bersama anak bungsunya yang mengenakan seragam sekolah menengah atas. Motor tuan yang catnya mulai pudar dan knalpotnya kadang berasap sudah siap di depan rumah. Meski tak lagi mulus, motor itu selalu setia mengantar mereka setiap pagi.
Davina duduk di jok belakang sambil memeluk tas sekolahnya erat-erat. Ayahnya memastikan helm kecil itu terpasang benar di kepalanya sebelum menyalakan mesin motor yang meraung pelan.
“Nah, siap ya, Davina? Helmnya udah dipasang bener? Karena kita harus menjaga keselamatan.”
Davina menarik tali helm.
“Udah, Yah! Tapi motornya bunyinya kayak batuk, deh. Hehehe,” ledek Davina.
Ayah tertawa kecil.
“Iya, motor tua emang begitu. Tapi dia masih kuat, kok. Sama kayak Ayah.”
Kirana mengamati mereka berdua dari teras, lalu tersenyum.
“Kalau Ayah yang nyetir, pasti kuat. Tapi kalau motornya disuruh balapan sama angkot, bisa kalah duluan,” ledek Kirana yang ikut-ikutan adiknya.
“Eh, jangan remehkan motor tua ini. Dia udah nganter Ayah dari jaman belum punya kalian berdua!”
“Wah, berarti dia udah tua banget, ya?” tanya Davina penasaran.
“Tua, tapi setia. Kayak Ayah juga setia bangunin kalian tiap pagi.”
Ayah, Kirana dan Davina saling tertawa bersama. Di rumah yang sederhana itu tampak terasa kehangatan antara seorang Ayah dan dua anak perempuannya.
“Ya sudah. Ayah berangkat dulu ya, Nak. Kamu semangat dan hati-hati ke toko bunganya, ya.”
“Iya, Ayah. Ayah juga hati-hati, ya.”
“Dahhh kakak,” ucap Davina sambil melambaikan tangan kanannya kepada Kirana.
“Dahhh. Semangat ya belajarnya.”
“Siap, kak.”
Motor tua itu pun perlahan melaju meninggalkan rumah sederhana. Kirana melambaikan tangan dari kejauhan. Melihat Ayah dan adiknya pergi sambil tersenyum lembut.
Kirana menatap motor tua itu menjauh dengan senyum kecil. Merasa bangga sekaligus terharu melihat Ayahnya yang tak pernah lelah berjuang.
Meski hidup mereka sederhana, ada kehangatan yang nyata di antara mereka. Dalam setiap sapaan pagi, dalam suara mesin motor yang tua, dan dalam langkah kaki yang penuh tanggung jawab menuju hari yang baru.
Kemudian Kirana, anak pertama perempuan remaja yang sudah lulus sekolah menengah atas menutup pintu dengan hati-hati. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans. Membawa tas kain berisi bekal makan siang. Ia menunggu di pinggir jalan untuk menumpang angkutan umum menuju toko bunga tempatnya bekerja.
*****
Pagi itu, udara di dalam toko bunga masih terasa lembap dan sejuk. Aroma bunga mawar dan melati memenuhi ruangan. Berpadu dengan cahaya matahari yang menembus kaca etalase. Membuat suasana tampak hangat dan tenang. Kirana baru saja tiba mengenakan celemek kerja berwarna krem dengan rambut yang diikat sederhana. Ia menyalakan lampu, membuka tirai, lalu mulai merapikan meja kerja yang dipenuhi tangkai-tangkai bunga segar.
Tangannya bekerja cekatan memotong batang, menyusun bunga, dan menata vas-vas di rak kayu. Toko itu masih sepi. Hanya terdengar suara gunting bunga dan langkah kakinya yang ringan di lantai keramik. Ia menatap hasil kerjanya dengan senyum kecil. Merasa damai di antara warna-warni kelopak yang lembut.
Namun tiba-tiba….
Prang!
Suara kaca pecah memecah keheningan pagi. Sebuah vas bunga di sudut rak terjatuh tanpa sengaja saat ia hendak memindahkan pot besar di dekatnya. Pecahannya berserakan di lantai. Air dan kelopak mawar berhamburan. Menimbulkan aroma yang lebih kuat dan tajam.
Kirana tertegun sejenak. Jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena kaget semata, tapi karena sesuatu di dalam dirinya tiba-tiba terasa sesak. Ia menatap pecahan kaca itu lama, lalu teringat pada Ayahnya yang saat ini sedang mengantar adiknya ke sekolah.
“Semoga Ayah dan Davina sudah sampai sekolah dengan selamat…”
Sebelum sempat menenangkan diri, telepon di dalam tas berdering keras. Memotong keheningan dengan cara yang membuat jantung berdebar lebih cepat. Nada deringnya terdengar lebih tajam dari biasanya. Seakan membawa kabar yang tak ingin didengar. Layar ponsel menyala. Menampilkan nama yang membuat hatinya semakin tak tenang.
“Davina?”