01 | Bintang Jatuh

1924 Words
Tahukah kalian, asal mula dari bintang jatuh? Tidak. Ini bukan perihal meteor yang jatuh atau benda planet lainnya yang terjatuh! Kali ini, benar-benar Bintang! Berita “Bintang Jatuh” sekarang bahkan menjadi trending topic seantero SMA Perdjaya, tempat si Bintang itu sendiri bersekolah. Belum resmi memang, karena gadis yang dikenal bernama lengkap “Bintang saja” itu baru menjadi siswi percobaan, alias masih menjalani Masa Orientasi Sekolah (MOS). Di lapangan utama sekolah, Bintang—yang lagi-lagi terkena hukuman karena ulahnya sendiri—tengah memutari lapangan utama sekolah dengan kecepatan yang persis seperti siput! Bintang, menurut mereka adalah siswi baru terasyik untuk dikerjai. Bukan hal serius, mereka—para senior—merasa “menghukum” Bintang merupakan suatu hiburan. Dimulai dengan kecerobohan Bintang di hari pertama MOS. Gadis itu pernah terjungkal hebat dan tidak sengaja menarik rok salah satu teman kelompoknya yang tidak ia kenal hingga temannya tersebut menangis. Masih di hari yang sama tapi di jam yang berbeda, Bintang menumpahkan jus jambu ke seragam senior cowok yang terkenal mengerikan untuk para bocah! Kali ini sih, Bintang yang menangis. Sampai di hari kedua MOS, Bintang lagi-lagi terjatuh. Kali ini, jatuh lebih hebat dan sanggup membuat semua orang tercengang karena kebodohannya. Bintang jatuh menimpa Langit! Seluruh senior lantas membuang pandangan, berpura-pura sibuk saat Bintang malah menyengir lebar pada laki-laki yang baru saja ditubruknya hingga terjatuh. “Kakak nggak apa-apa, kan? Sini, Bintang bantu,” ucap Bintang bergegas bangkit dan mengulurkan tangannya, berniat membantu. Laki-laki itu memang menyambut uluran tangan Bintang. Namun, hal itu ternyata bukan merupakan suatu “penerimaan” karena sedetik kemudian, tangan Bintang justru ditarik dan membuat gadis ikut tersungkur. Impas! Tanpa memedulikan Bintang yang mati-matian menahan malu, laki-laki tersebut berlalu. “BINTANG!” Seruan dari suara yang sudah familier di telinganya menyadarkan Bintang untuk segera bangkit dari posisinya. “Jangan teriak-teriak, Nari!” sahutnya seraya menepuk-nepuk telapak tangannya yang berdebu. Nari mencibir. “Kak Dirga nyuruh kita ke kantin dari tadi karena ini udah masuk jam istirahat,” ujarnya lantas menyeret Bintang ke kantin. Mendengar nama senior yang paling mengerikan baginya itu membuat Bintang bergidik ngeri. Pasalnya, Dirga itu adalah senior ganteng yang memang anti sama bocah alias murid baru sok lugu nan lemot macam Bintang! Omong-omong, gadis yang pernah tidak sengaja Bintang tarik roknya sampai semua saksi tahu apa warna celana dalamnya hari itu adalah Nari sendiri. Untungnya Nari memang baik hati. Ia mengerti bahwa Bintang tidak sengaja. Ia tahu, Bintang itu ceroboh dan polosnya kebangetan! Untungnya Nari sama sekali tidak keberatan jika harus berteman dengan Bintang. Nari berbeda dari teman-temannya dulu yang sering sekali memanfaatkan Bintang. Berhubung kepala Bintang itu kopong alias nggak punya otak, Bintang sering dimanfaatkan untuk hal-hal yang terkadang membuatnya menangis. Bintang sering dijadikan objek bully semasa Sekolah Dasar karena kecerobohan serta kebodohannya itu. Bintang juga sering tidak mendapat teman saat guru mulai menyuruh mereka membuat kelompok. Meski begitu, Bintang tidak mengeluh dan justru bersemangat menunjukkan perubahan. Mulai memasuki Sekolah Menengah Pertama, Bintang mendapat predikat sebagai “anak seni” dari para guru maupun teman-temannya karena selalu mendapatkan nilai tertinggi dalam pelajaran kesenian serta berkesempatan menjuarai lomba melukis saat class meeting. Begitu mereka sampai di kantin, Nari membiarkan Bintang mencari tempat duduk sementara ia bergegas membeli makanan. “Nih. Makan dulu.” Bintang mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya menyadari Nari telah kembali dengan dua bungkusan di tangannya. “Eh, makasih ya, Nari.” Nari hanya mengangguk samar dan membalas, “Lagi mikirin apa, Bi?” tanyanya. Seolah memahami kebingungan Bintang, Nari pun melanjutkan, “Lo kayak kaget pas gue datang barusan. Kenapa?” Bintang mengembuskan napasnya. “Bintang cuma kepikiran teman-teman Bintang dulu, nggak ada yang sebaik Nari.” Benar, jangankan menawarkan duduk dan dibelikan makanan, dulu Bintang justru yang disuruh-suruh! Mengingatnya kembali membuat Bintang ingin menangis. Nari tersenyum hingga pada kedua matanya, memahami Bintang yang malang karena belum pernah merasakan ketulusan dalam pertemanan. “Kalau nggak baik, bukan teman namanya.” *** Insiden “Bintang Jatuh” itu tidak kunjung luput dari pembahasan. Langit mendengus kesal, berusaha mengabaikan orang-orang yang tengah membahas siswi ceroboh bernama Bintang. Langit mengeluarkan buku catatan matematika, melatih kembali apa yang ia pelajari semalam. Hari ini memang masih ada MOS terakhir untuk para siswa baru, tapi pihak sekolah tampaknya tidak mau rugi dengan tidak meliburkan para senior dan proses belajar mengajar tetap berjalan. Meski tidak melihat, Langit menyadari beberapa pasang mata yang tidak luput memandanginya. Dan semua itu akibat insiden “Bintang Jatuh” yang cukup membuatnya muak. Terkadang Langit tersinggung bila memikirkan mengapa dirinya harus satu kelas dengan para penggosip di sekolah ini. Langit Angkasa. Meskipun terkesan berat, nama itu kerap mendapat pujian seperti empunya. Wajah tampan yang dipadu dengan sepasang mata berwarna cokelat terang, rambut dan alis tebal yang sehitam kelam malam, hidung mancung dan rahang yang simetris. Tubuhnya pun proporsional dan dilengkapi dengan bahu yang tegap. Belum lagi fakta bahwa Langit itu salah satu siswa terpintar di sekolahnya. Dan tidak lupa, tajir abis! Siapa yang menolak menjadi pacarnya? Pernah ada beberapa siswi yang mendekatinya secara terang-terangan. Awalnya, tidak masalah bagi Langit karena itu adalah hak mereka. Tapi ketika semua mulai terasa mengganggu, Langit tidak lagi segan-segan menolaknya hingga banyak hati yang patah. Kini, Langit pun menjadi sosok pangeran pujaan yang hanya pantas sebagai mimpi mereka. Beranjak ketika Langit telah resmi duduk di bangku kelas dua belas, sosok itu semakin dingin tak tersentuh. Langit tidak punya teman. Mungkin punya, namanya Ando, tapi tidak begitu dekat. Tidak bagi Langit. Bukan karena tidak ada yang mau berteman, namun tidak ada yang bisa membuat Langit mau menerima pertemanan tersebut selain Ando. Getar ponsel mengalihkan perhatian Langit. Sebuah pesan dari seseorang yang paling tidak ia inginkan pun muncul. Langit mendengus membacanya. Tanpa berniat membalas, ia matikan ponselnya. Selalu seperti itu. Ia benci sosok egois dalam kehidupannya. Merasa pesan tersebut merusak perasaannya, Langit berlalu meninggalkan kelas. Jika sudah seperti ini, biasanya ia akan melakukan apa yang orang lain tidak pernah tahu. Tidak seorang pun. *** “Tim merah, kalian mencari kepingan di koridor kelas dua belas. Tim kuning, kalian di koridor kelas sebelas. Tim hijau, kalian di gudang. Bintang, kamu dan tim kamu mencari kepingannya di halaman belakang!” Bibir Bintang kontan mengerucut. Seterkenal itu kah dirinya sampai-sampai para senior memberi pengecualian pada kelompoknya dengan menyebutkan namanya seorang? Bintang mengangguk. Gadis itu segera berlari, mengajak kelompoknya untuk bergegas mencari. Permainan yang tidak penting menurutnya. Untuk apa sih kepingan puzzle yang mungil begitu dibuang-buang? Bintang, kan, jadi pusing! Membayangkan mencarinya saja sudah membuat kepalanya pening, belum lagi panas matahari yang terik. “Kalian berpencar yah, Bintang cari di bawah pohon besar itu.” Bintang segera berlari setelah mendapat persetujuan dari teman-teman sekelompoknya. Langkahnya yang kecil membuat Bintang sendiri gemas karena terasa begitu lambat untuk sampai ke tempat tujuan. Bintang menunduk, mencari-cari kepingan yang mungkin saja tersebar dengan saksama begitu ia telah sampai. Baru saja ingin mengitari tumbuhan raksasa tersebut, langkah Bintang kontan terhenti melihat siapa yang tengah tertidur dengan punggung bersandar pada batang pohon. Tidak, bukan tertidur. Sepasang mata laki-laki itu hanya terpejam karena sesekali ia menghisap batang rokok yang terhimpit di sela jemarinya. Bintang menelan ludah menyadari “siapa” laki-laki itu. Perlahan sepasang kaki mungilnya melangkah mundur, tapi dedaunan kering yang dipijak seolah berkhianat dan menggagalkan aksinya dalam melarikan diri! Sepasang mata Langit terbuka. Diliriknya Bintang sekilas tanpa berniat menolehkan kepalanya sedikit pun. “Ngapain di situ?” Langit kembali menghisap batang kanker dan mengembuskan asap nikotin dari mulutnya. Bintang membasahi bibirnya yang tiba-tiba mengering. “Bintang lagi nyari kepingan-kepingan puzzle, Kak.” “Bukan sengaja ngikutin?” Langit mengerling tajam. Bintang langsung menggeleng. “Bintang aja kaget ada orang di sini, Kak. Kirain Bintang tadi Kakak itu hantu.” Bintang lantas menutup mulut dan memukul pelan bibirnya karena telah mengatakan hal yang tidak-tidak. Langit bangkit dan menghampiri Bintang usai membuang serta menginjak putung rokoknya terlebih dulu. Ia menatap sekilas Bintang yang tengah menunduk dan mempersiapkan diri untuk dimaki-maki karena ucapannya yang asal. Tapi tidak. Alih-alih mempermasalahkan kalimat Bintang barusan, Langit justru berkata, “Jangan bilang sama siapa-siapa kalau lo lihat gue di sini. Paham?” titahnya, tidak terbantah. Bintang memanggut-manggut hingga rambutnya berayun. Gadis itu hanya mampu memerhatikan punggung tegap Langit yang berlalu dan semakin mengecil di kejauhan dengan tatapan tidak terbaca. Sebenarnya, siapa sih laki-laki itu? Baiklah, dia adalah Langit Angkasa. Semua orang mengetahuinya, tapi tidak mampu mengenalnya. Bukan apa-apa, Bintang hanya penasaran. Langit seolah telah menjadi topik wajib yang perlu diperbincangkan ketika para senior dan junior tengah bergosip. Di mana pun ia berada, nama Langit tidak jarang membelai telinga Bintang. Bukan terganggu, justru Langit semakin membuat Bintang ingin mengenalnya. Tidak terhitung berapa perempuan yang ingin dekat dengan Langit. Bintang tidak ingin dikatakan sebagai gadis kecentilan yang sok kenal dan sok dekat dengan laki-laki misterius itu. Bintang menggelengkan kepalanya. Untuk apa ia berpusing ria memikirkan senior berhati dingin itu? Cukup Dirga yang membuatnya kerap ketakutan di sekolah, jangan lagi mencari masalah baru dengan sosok yang lebih menyeramkan! Tidak ingin dipusingkan dengan Langit, Bintang mencoba menghalau pikirannya dengan kembali mencari kepingan-kepingan puzzle. Akan tetapi, lagi-lagi pikirannya dipaksa untuk tertuju pada laki-laki itu tatkala kedua matanya menangkap kilauan dari sebuah benda yang tergeletak di dekat pohon. Penasaran, Bintang pun meraihnya. Kalung emas putih berbandul pelangi itu membuat Bintang agak bergidik membayangkan Langit yang memakainya. Mungkinkah Langit yang tampak maskulin itu memiliki selera feminin? Bintang sangat yakin jika kalung tersebut adalah milik pemuda itu, mengingat ia menemukannya tepat di posisi Langit terduduk beberapa saat lalu. Kemudian Bintang mencebik. Ia tidak mau mengembalikannya pada Langit! Jangankan menghampiri laki-laki itu, berpapasan secara tidak sengaja pun Bintang sudah gemetar! Biarlah ia menyimpan kalung ini sampai hari esok. Paling tidak, sampai ia menemukan orang yang tepat sebagai perantara dalam mengembalikan kalung sang Langit. “BINTANG, UDAH KETEMU BELUM?” pekik salah seorang teman sekelompoknya dari kejauhan lantas menyadarkan Bintang. Gadis itu kontan menepuk keningnya. “OH IYA! BELUUUM,” balasnya tak kalah lantang. *** “Lang, balik nggak?” Langit hanya menganguk sekilas tanpa mengalihkan pandangan. Kedua tangannya tak henti mengaduk-aduk isi ransel dengan raut cemas. Ando yang menyadari keresahan Langit pun melangkah masuk ke dalam kelas. Hanya tersisa Langit di dalam kelas laki-laki itu. Tidak biasanya Langit mengulur-ulur waktu untuk pulang. “Nyari apaan sih?” tanya Ando dengan sebelah alis terangkat. Tidak pernah Ando melihat Langit panik. Langit selalu tenang, tanpa ekspresi, dingin, dan tidak acuh. Tapi tidak kali ini. “Kalung,” jawab Langit seraya bangkit dan berlalu meninggalkan Ando terkejut ditinggal begitu saja, tapi tak urung Ando segera mengekori Langit. Ando turun tangan mencari kalung tersebut saat menyadari Langit kelimpungan mencarinya di halaman belakang. Rerumputan liar yang panjangnya tidak beraturan nan lebat semakin menyulitkan pencariannya terhadap benda yang bahkan tidak Ando ketahui ciri-cirinya. “Kalungnya kayak gimana dah, Lang? Kok gue pusing sendiri nyariinnya.” Langit mendengus. “Pelangi. Kalung Pelangi.” Laki-laki itu tampak menerawang, kembali mengingat-ingat di mana ia mengeluarkan kalung itu dari saku celananya. Seingatnya, di sini. Di bawah pohon besar ini. Tapi nihil. “Nggak ada Lang, bukan di sini kali?” tanya Ando lebih kepada dirinya sendiri. Langit menggeleng lemah, kecewa pada dirinya sendiri. Ando menyaksikannya. Seberapa penting kalung pelangi tersebut bagi sang Langit? Astaga, Ando benar-benar baru tahu bahwa Langit memiliki sisi manusia juga. Selama ini Ando berpikir bahwa Langit adalah patung berjalan yang tidak bisa menampilkan emosi. Langit mendongak dan mendapati warna langit saat ini persis seperti perasaannya. Mendung. “Yaudah, balik aja.” Ando bergegas menyamai langkahnya dengan Langit yang terburu-buru berlalu. Berbeda dengan Langit biasanya, Ando menangkap kilat kesedihan di balik kedua mata bersorot tajam itu. Mau tidak mau, Ando semakin penasaran. Bagaimana mungkin sebuah kalung bisa berdampak besar bagi mendungnya sang Langit? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD