She's Back

1683 Words
"Gue baru dapat kabar dari Miracle. Soal Agatha." "Apaan?" Tanya Isaac sambil menegapkan tubuhnya. "Dimana dia?" Kay menghela napas. Dia menggeleng, "Cewek itu udah ngerasain banyak hal selama hidupnya." Kata pria itu. "Dia kayak lo. Tapi juga gak kayak lo." "Maksud lo apa, b*****t? Ngomong yang jelas lah." "Dia kayak lo. Ngalamin penyakit mental, trauma fisik, trauma psikis. Tapi juga gak kayak lo. Milih mabuk sama narkoba." "Maksud lo-" "Agatha punya PTSD, Isaac. Dia juga punya gangguan kecemasan akut dan pernah nyoba bunuh diri dua kali pas SMP. Tapi orangtuanya gak pernah tau. Jengkel banget gue, bapaknya gak tau diri." "Darimana lo tau semua ini?" "Miracle nelpon gue. Minta penjelasan. Katanya dia ketemu pesan dari klinik apa dia gak tahu. Tapi gue juga gak punya penjelasan. Jadi gue lacak. Klinik tempat Agatha konsul itu psikiater tempat Agatha minta resep antidepresan. Mereka ngomongnya dia udah gak check-up tiga bulan. Padahal dia dulunya rutin." Isaac terlihat tidak percaya dengan telinganya sendiri. "Gue agak susah ngegali informasi ini tapi dia pernah ngalamin kekerasan seksual. Dari temannya. Namanya Benjamin. Baru setelah itu dia ketemu Lucas, yang sama brengseknya kayak Benjamin. Tapi bedanya Lucas tetap nyimpan Agatha, jagain Agatha. Tetap ngebuat dia kayak jalang. Gak jauh beda sama elu. Jadi Agatha ketemu sama tiga orang b******k dalam waktu dekat. Gue gak tahu gimana perasaan dia, tapi kalo gue jadi dia, gue udah mendekam di penjara sekarang karena ngebunuh lu sama dua orang lagi." Isaac terduduk diam, menatap lantai seperti orang bodoh. Lalu ia menggeram kesal.  Kay menghidupkan cahaya handphonenya lalu mencari kontak Miracle. Wanita itu perlu tahu informasi ini juga. Kay sedikit punya rasa kasihan kepada Miracle. Meski wanita itu menikah pada Tuan Ivy, ia tetap dihimpit dengan kelas asalnya dan keadaannya. Ia tidak bisa bergerak dengan bebas. Orang-orang memperlakukannya bak ratu namun sekaligus sampah penjilat. Miracle tidak bisa menyewa penyelidik pribadi dengan mudah. Tidak tanpa Markus ikut campur di setiap langkahnya. "Halo, Miracle? Lo ingat klinik yang lo bilang semalam? Ya. Gue udah dapat infonya. Itu psikiater. Agatha check-up kesana. Gue cuma bisa bilang itu aja. Oke." Lalu Kay mengakhiri telepon dan melemparkan benda itu asal ke sofa. Isaac segera berdiri dengan kedua kakinya. "Mau apa lo?" Isaac mendelik kearah Kay. "Mau nyari cewek gue lah." Kay tertawa lebar, "kalo dia udah ketemu. Lo yakin dia mau balik ke sangkar lo ini? Hah, sialan?" Isaac memalingkan wajahnya lalu meraih handphone-nya. "Lo mau bantu gue atau enggak hah?" Katanya sambil menoleh kepada Kay. Pria itu memutar bola matanya. Ia mau tidak mau harus berada di sisi Isaac dan membantunya. Ia harus memenuhi janjinya dengan Tuan Imo Hilton, ayah Isaac. Seperti sebuah sumpah pengikut setia pada raja kuno, pikir Kay. "Gue mau bantu asal lo setelah ini ikut semua permintaan dia." Kata Kay. "Apalagi sih? Pake syarat." "Syarat gue itu lo ngabdi buat bahagiain cewek lo, sialan. Gak suka gue." Isaac tertegun sejenak. Ia sudah cukup banyak mengorbankan harta dan waktunya demi membuat Agatha berada di sisinya. Apalagi yang kurang? Bagian mana lagi yang kurang diperhatikannya? "Gue tau lo ngernyit-ngernyit gitu karena lo sendiri gak tau bagian mana yang lo kurang, 'kan? Emang dasar anak gak punya rasa insecure lo sial." "Gue betulan gak tau gue salah dimana. Tapi bukan itu masalah gue sekarang. Masalah gue sekarang itu soal posisi Agatha." Kata Isaac sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. Tapi bianr matanya segera muncul. "Miracle." Katanya. "Apaan?" "Telepon Miracle." Kay melakukan begitu lalu mengubah pengaturan menjadi loudspeaker. Miracle manjawab setelah bunyi dering kedua. "Halo? Mas Kay? Aku lagi gak bisa nelpon nih. Pegang kemudi." Kay menoleh kepada Isaac sambil mengeryitkan dahinya. "Mau kemana lo?" "Ada urusan, mas. Ada apa?" "Lo jujur. Lo tau 'kan dia dimana." "E.. Enggak, mas. Mas Kay ngomongin apa sih?" Kay terdengar menghela napas. "Miracle. Gue tahu lo lagi mau ngelindungin anak lo. Tapi gue rasa, satu hal yang harus lo lakuin dari awal adalah lo gak ngejual anak lo ke Isaac. Jadi dari awal lo udah salah dan sekarang lo mau pura-pura gak tau? Lo tau 'kan apa masalahnya kalo kontraknya dibatalin?" Miracle tidak bersuara untuk beberapa saat. "Maaf, mas Kay. Tapi aku lagi di jalan. Kita ngomongnya setelah aku sampai rumah aja. Oke, dadah." Lalu sambungan diputus oleh Miracle. Kay menggeram kesal. "Cewek b*****t!" Umpatnya lalu menghubungi seseorang lagi lewat handphonenya. "Ya. Rua. Lacak GPS mobil Miracle. Kirim datanya ke hp gue." Katanya lalu mengakhiri telepon. Isaac kembali ke ruangan dan menatap Kay dengan sebuah gelas berisi cairan bening. Kay menyadarinya lalu mendelik kepada Isaac. "Lo mau mabuk dulu sebelum ketemu cewek lo?" "Ini air putih." "Oh, ok." Perhatian Kay kembali pada layar handphone-nya. Ia yakin ia tidak bisa memercayai Miracle. Mau bagaimanapun liciknya wanita itu dulunya, sekarang ia sudah bersuami dan sepertinya menyayangi keluarga suaminya itu juga. Ia yakin Miracle sedang tidak berkendara ke rumahnya. Dan pria itu tidak sepenuhnya salah. Ia berkendara dari sudut kota lain.  Dan ia yakin, sudut kota itu adalah tempat Agatha berada sekarang. Dia menoleh kepada Isaac yang menenggak minumannya. "Lo kenapa mau cewek ini?" Tanya Kay. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ditahan-tahannya. Ia selalu penasaran. Tiap kali ia melihat Isaac tersenyum sumringah ketika menatap Agatha, atau ketika ia menerima pesan darinya, ia melihat tatapan dan senyuman yang berbeda. Tatapan yang sayang dan penuh perhatian. Seakan ada tumbuh rasa kenal yang mulai berakar di diri pria itu. Itu yang Kay lihat. Isaac menoleh padanya lalu menggeleng. "Gue juga gak ngerti." Katanya. Kay mengajak Isaac untuk pergi mengikuti Miracle. Ia tahu Miracle akan bisa menuntun mereka ke tempat Agatha berada. Atau setidaknya memberikan petunjuk soal keberadaan Agatha. "Gue ngelakuin ini karena lo anak kandung bapak yang ngasuh gue ya." Kata Kay. "Bukan karena gue baik." Isaac tersenyum kecil sambil melihat Kay mulai sibuk dengan handphone-nya dan berlalu pergi dari ruangan itu. "Lo siap-siap." Suara Kay menggema di koridor. "Kita berangkat bentar lagi." Isaac berdehem mengiyakan, tapi bukannya bersiap-siap ia malah kembali menyandarkan kepalanya di sofanya. Ia tidak bisa cerita. Pada siapapun. Bukan karena ia tidak mau. Hanya saja ia takut kalau perasaannya akan mengambil aluh tubuh dan pikirannha seutuhnya. Ia takut akan menangis sesenggukan di depan orang-orang dan mereka akan mengolok-oloknya. Bahkan kepada Agatha pun ia tidak berani melakukannya. Padahal ketika pria itu melihat Agatha masuk ke ruangan saat itu ia sadar kalah gadis ini akan berbeda. Dan dia benar. Dia kan berbeda dari pada perempuan lain yang pernah berada sedekat Agatha saat ini dengannya. Gadis ini baik. Dia memperlakukannya dingin memang tapi ia baik. Isaac perlahan mulai merasa nyaman dengan gadis itu dan mulai memperlihatkan ketidaksukaannya ketika Agatha melakukan banyak hal. Apakah ia salah? Tidak. Menurutnya tidak. Ia hanya ingin melindungi Agatha. Gadis itu berada di posisi berbahaya kalau ia bersanding dengan Isaac, Isaac sendiri tahu soal itu. Tapi ia pun dalam posisi tidak mau melepaskan gadis ini. Ia tidak mengerti perasaannya. Tapi Agatha perlahan membuatnya mengerti kalau ia bisa mengerti perasaannya. Jadi ia tidak mau melepaskan gadis itu, yang jadi cahaya di dalam dunianya yang gelap. Pria itu bangun dari lamunannya ketika ia mendengar bunyi dering dari handphonenya. Pria itu meraih benda itu dan segera mengernyitkan dahinya ketika ia melihat nomor tidak dikenal berada di layar handphonenya. Pria itu menjawab dan menunggu orang diujung sana berbicara. "Halo, Isaac?" Suara Agatha. Jantung Isaac serasa berhenti. Gadis ini menghapal nomornya ternyata. "Agatha. Kamu dimana? A.. Aku..-" "Aku di rumah Lucas. Kamu sudah tidak apa-apa?" Tanya Agatha. Nada suaranya tenang dan dia tidak sesenggukan. Isaac mengatupkan mulutnya. "Ya. I'm.. sober now." Kata Isaac. "Um.. Kamu mau datang?" Tanya Agatha. "Boleh?" Kedua mata Isaac berbinar. "Ya! Ya. Tentu." Isaac mengiyakan dan segera mengakhiri hubungan telepon itu. Ia berjalan keluar ruangan, kepada Kay yang tengah berteriak-teriak pada orang di handphonenya. "Gue jemput Agatha sendiri." Kata Isaac sambil berlari keluar rumahnya. "Hei! Isaac woi!" Panggil Kay sambil mengejar pria itu keluar. Tapi Isaac tidak mendengarkan. Ia ingin buru-buru bertemu gadisnya. Ia tidak bisa berdiri dan berdiskusi dengan Kay. Tiap detik itu berharga dan Isaac tidak mau membuat detik-detik berharga itu. Ia segera masuk ke mobilnya dan menghidupkan mesinnya. Kay berlari dan berjalan cepat menuju mobilnya. Namun Isaac tidak mau mendengarkan umpatan dan kalimat-kalimat menyenangkan dari Kay itu jadi ia segera menginjak gasnya dan mengemudi ke arah rumah Lucas. Ia tahu rumah itu. Ketika ia membaca dokumen Lucas ia sempat membaca alamatnya juga—kalau-kalau dia perlu mengirimkan tukang pukul kepada pria itu. Tapi ia juga mengenal alamat rumah itu. Itu rumah yang pernah dilelang real estate yang juga menjual rumah Isaac sekarang ini. Rumah Lucas itu adalah rumah yang indah. Isaac sadar itu. Tapi ia tidak membeli rumah itu karena rumah itu sangat jauh dari kota. Sangat jauh. Isaac juga melihat dari berkasnya kalau Lucas ini punya dua alamat. Yang satu griya tawang di tengah kota dan yang satu lagi rumah di pinggiran ini. Kalau Agatha ingin kesana, gadis itu pastinya harus berkendara, karena bisa memakan waktu semalaman baginya kalau ia memilih untuk berjalan kaki. Tapi bagaimanapun Agatha sampai kesana, setidaknya dia aman. Di tempat yang hangat dan nyaman. Hanya itu yang Isaac syukuri. Pria itu berhenti di depan gerbang rumah yang besar itu. Ia sudah sampai, tapi ia bingung harus melakukan apa. Apakah ia harus membunyikan klakson mobil? Atau bagaimana? Tapi sebelum ia membunyikan klakson seorang gadis keluar dari dalam gerbang itu. Agatha. Isaac segera keluar dari mobil untuk menghampiri gadis itu. Agatha menoleh pada Isaac dan kelihatan sedikit kaget dengan penampilan Isaac yang bagai orang mati. Kedua matanya terbelalak pada Agatha dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Ujung hidungnya kemerahan dan kulitnya putih pucat. Ia seperti sedang sakit. "Kamu gak apa-apa?" Tanya Agatha. Isaac menggeleng lalu tersenyum. Ia mendekap Agatha dalam diam. Rasanya Isaac ingin menangis. Ia benar-benar takut yang semalam itu. "Jangan pergi lagi ya." Pinta Isaac. Agatha mendorong tubuh Isaac kecil, lalu menengadah untuk melihat wajah Isaac. Gadis itu menyapu garis rahang Isaac dengan jari jemarinya lalu tersenyum simpul. Ia tak berkata apa-apa untuk sejenak. Kemudian gadis itu memalingkan wajahnya lalu berjalan menuju pintu mobil. Isaac mengikut dan membukakan pintunya untuk Agatha. Gadis itu masuk dan Isaac menutupnya. Ia bernapas lega ketika Agatha sudah di dalam mobilnya. Rasanya hidupnya telah kembali lagi ke dirinya.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD