Dilema

1994 Words
Miracle keluar dari pintu depan, diikuti oleh Markus. Gadis itu masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi. Ia menoleh kepada Markus yang sudah bertengger di jendela yang terbuka. "Kalau ada apa-apa, hubungi aku Miracle." Kata Markus. Miracle mengangguk dan mencium bibir kekasihnya sekilas. Bunyi suara deru mesin mobil melingkupi mereka untuk sekilas, lalu Miracle menarik rem tangan dan mulai berkendara ke rumah Lucas. Wanita itu tahu dimana rumah Lucas dan siapa pria itu. Ia tidak mengenalnya begitu dalam, tapi cukup untuk mengetahui bahwa Lucas adalah anak dari pemilik Henson Group yang berasal dari Jepang. Ayahnya orang Jepang dan ibunya orang Indonesia. Agatha dikelilingi banyak pria blasteran, itu yang sekilas terpikirkan oleh Miracle. Tapi jelas-jelas pria blasteran yang satu lagi adalah pria yang benar-benar sebuah paket masalah yang lengkap. Isaac. Dia pemabuk dan mantan pemakai narkoba. Anak geng ketika masih di sekolah dan suka main wanita. Miracle dengar dia pernah membunuh, tapi ia tidak begitu yakin karena tidak ada dokumen yang bisa ia dapatkan. Tentu saja memusnahkan dokumen itu sangat mudah untuk dilakukan orang-orang Tuan Imo Hilton, mendiang ayah Isaac yang menyayangi anaknya dengan segenap jiwanya. Miracle berputar di sekitar Greeneth Street dan masuk ke jalur pribadi menuju rumah Lucas. Jalurnya dihiasi lampu jalan yang temaram, tidak ada siapapun disana, membuat Miracle sedikit merinding. Ia bisa saja bertemu orang aneh di jalanan yang tidak diamankan petugas apapun. Tapi wanita itu harus tetap tenang, ia harus bertemu Agatha. Mungkin ia akan menginap untuk menemani Agatha. Tapi hal itu belum pasti untuknya, ia hanya akan mendengarkan permintaan Agatha untuknya. Wanita itu berhenti di depan gerbang, hendak keluar untuk membuka sendiri gerbangnya. Tapi gerbang itu terbuka otomatis dan Miracle segera mengemudi masuk. Agatha sudah berdiri di teras rumah, menatap mobil Mustang milik Miracle masuk ke dalam pekarangan. Wanita itu turun dari mobilnya dan melihat sekitarnya yang gelap. "Apa memang lampunya tidak dihidupkan?" Tanya Miracle yang meneliti sekelilingnya. Agatha menoleh kepada suasana gelap yang dimaksud Miracle, "Aku sedang tidak ingin rumah yang terang. Lagipula ini bukan rumahku." Kata Agatha. "Agatha." Panggil Miracle. Agatha menoleh untuk mendapati handphone-nya berada di tangan Miracle. "Maaf kalau aku kedengaran ikut campur. Tapi pesan di handphone-mu ini. Itu pesan dari klinik apa, sayang?" Agatha mengernyitkandahinya selagi tangannya merampas handphone-nya itu. "Agatha, sayang. Kamu bisa cerita padaku. Kamu tahu itu 'kan?" Kata Miracle sambil mengusap lengan atas Agatha. Gadis itu mundur sedikit sambil menatap Miracle dengan wajah kagetnya. "Aku bisa mengurusnya sendiri, Miracle. Pulanglah." "Kumohon, Agatha. Bicaralah padaku." Kata Miracle ketika Agatha meraih tas yang diletakkan Miracle di lantai di dekatnya. "Agatha..-" "Pulanglah, Miracle. Papa pasti sedang mencarimu." Agatha lelah. Dia terus mengatakannya dalam hatinya. Kalau ia lelah. Ia tidak bisa melanjutkan hidup yang begini terus. Ia ingin pergi. Meninggalkan 'Agatha Ivy' dan pindah entah kemana dengan identitas yang baru. Meninggalkan Isaac, Lucas, Miracle, ayahnya dan hantu masa lalunya. Orang-orang ini terasa seperti beban untuknya. Menghimpitnya. Ia ingin lebih bahagia. Lebih bersyukur. Tapi tempatnya ini tidak bisa membuatnya puas dengan apa yang ia miliki di hidupnya. Itu masalahnya. Ia perlu memulai lagi. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk pergi ke manapun. Ia harus benar-benar memutus hubungan dengan siapapun yang sedang berusaha menjahit sebuah ikatan hubungan dengannya. Perlahan-lahan. Ia butuh waktu sedikit lagi. Agatha terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar suara deru mobil di luar sana. Ia masih belum menghidupkan seluruh lampu rumah. Jendela-jendela di rumah itu cukup besar untuk memancarkan sinar dari luar, karena itu Agatha tidak menghidupkan lampu. Ia berjalan perlahan dalam cahaya rembulan yang sangat terang malam itu. Lucas keluar dari mobilnya dan membawa dua plastik di tangan kanannya. Agatha membuka pintu dengan hati yang berdebar-debar. Ia kira pria itu akan pergi dan melupakan Agatha. Ia berdebar-debar karena merasa lega dan sedikit senang karena Lucas kembali. Wajah pria itu datar, tapi kelihatan sangat kelelahan. Lucas menengadah ke terasnya untuk melihat Agatha yang keluar dari pintu depan dengan kedua matanya yang bulat, menatap Lucas dalam diam. "Kamu kenapa? Seperti baru lihat hantu." Agatha menggeleng sambil meraih dua kantung plastik di tangan Lucas. "Jangan. Berat." Kata Lucas sambil menjauhkan tangannya dari jangkauan tangan Agatha. Gadis itu menurut dan mengikuti pria itu dari belakang. "Aku membelikan makanan kesukaanmu dulu. Aku tidak tahu apa kamu masih suka atau tidak." Kata Lucas ketika mengeluarkan martabak isi. Mata Agatha berbinar ketika melihat makanan itu. Sudah lama ia tidak memakannya. Pastilah suapan pertama akan menariknya ke kenangan-kenangan manis ketika ia masih kecil. "Aku masih suka kok." Kata Agatha sambil tersenyum manis. Lucas balik tersenyum lalu duduk di bangku meja marmernya. Ia menatap Agatha yang kelihatan berbeda dari terakhir ia menemui gadis itu sebelum ke Jepang. Gadis itu lebih pucat. Bibirnya pun sedikit lebih pucat dari yang Lucas ingat. Dibawah matanya ada kantung dan lingkaran hitam. Apa gadis itu tidur dengan nyenyak? Apa dia selama ini baik-baik saja tanpanya? "Maafkan aku, Aggie." Ujar Lucas. Agatha menengadah kepada pria itu sambil memasukkan sepotong martabak. "Kenapa? Kamu salah memilih isian martabaknya? Hm, enggak kok. Ini daging ayam." Kata Agatha mengecap martabak yang dimasukkannya ke mulutnya tadi. "Bukan. Bukan itu, sayang. Duh, kamu receh banget. Gemas." Kata Lucas sambil mencubit pipi Agatha sekilas. "Kamu minta maaf karena apa?" "Yang kulakukan padamu itu salah." Katanya. Agatha mengernyitkan dahinya. Yang mana? Ada apa ini? Meminta maaf seperti ini bukan habitat normal Lucas. Agatha mengenalnya sebagai pria yang tajam dan keras sekaligus lembut dan memabukkan. Tapi meminta maaf bukanlah hal yang dilakukan Lucas, bahkan pada Agatha sekalipun. "Kamu kenapa? Jangan gitu dong, aku takut." Kata Agatha. Lucas menggelengkan kepalanya. "Sebelum aku ke Jepang. Aku memperlakukanmu sangat buruk waktu itu." Katanya. "Tidak seharusnya aku menjauh darimu." Lucas terpikirkan oleh perasaannya terus. Ini situasi yang baru untuknya. Dan ia merasakannya hanya kepada Agatha. "Agatha," panggil Lucas yang meraih sekaleng soda dari salah satu plastiknya. "Apa kamu tidak akan mengatakan sesuatu?" Mulut Agatha kelu. Apa yang harus dia katakan lagi? Entahlah. Terima kasih? Karena sudah sadar akhirnya? Entahlah. Agatha tidak tahu. "Agatha, aku rasa.." Lucas menggenggam kaleng sodanya dengan kedua tangannya, mulutnya sedikit tergagap untuk mengatakan kalimat selanjutnya. Tapi perasaan itu nyata baginya. Dan Agatha perlu tahu perasaan itu. "Aku rasa aku sudah mencintaimu." Agatha bisa melihat dunianya runtuh di belakang Lucas. Seperti ada yang tenggelam di dalam Agatha dan ia rasa itu adalah perasaannya. Gadis itu tak sadar setetes air mata jatuh dari matanya. Secepat itu perasaan menyergapnya. "Hei, hei. Agatha." Lucas berjalan mengitari meja untuk berada di sisi Agatha. Gadis itu terisak menangis. "Kamu menangis lagi? Apa ini karena aku atau kau teringat sesuatu?" Agatha merasakan dua tangan yang mengelus setiap inci kepalanya lalu berhenti di pipi gadis itu. "Aku hanya tidak menyangka kamu akan mengatakan itu." Katanya di sela-sela tangisnya. Lucas tak kuasa menahan senyumnya. Agatha sangat menggemaskan, bahkan ketika ia menangis sesenggukan seperti ini. "Aku tidak pernah memikirkan perasaanmu selama ini. Maafkan aku. Aku selalu kepikiran tentangmu. Meski aku pernah mengatakan kalau aku tidak mau punya hubungan istimewa dengan siapapun." Agatha membenamkan wajahnya di d**a Lucas. Lega rasanya untuk Agatha mendengar Lucas bisa jujur dengan perasaannya sekarang. Entah apa yang terjadi selama sebulan ia berada di Jepang, tapi Agatha suka dengan perubahannya. Pria itu terkekeh kecil melihat Agatha yang salah tingkah. "Karena itu, Agatha. Akhiri hubunganmu dengan Isaac. Untukku. Lakukan itu untukku." Agatha menengadah kepada Lucas yang menatap kepadanya serius. Ia segera melepaskan pelukannya lalu mengusap air matanya yang mengalir. "Tidak," Katanya dengan suaranya yang sedikit serak. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa? Karena kamu mencintainya?" Agatha menggeleng, "Aku.. tidak ingin berbicara tentang perasaanku." "Lalu karena apa?" Agatha ragu untuk mengatakan semuanya. Meski perasaannya adalah hal yang menjadi dilemanya, tapi Agatha masih sepenuhnya milik Isaac sekarang ini. Sehebat apapun perasaan Agatha pada Lucas akan bisa segera dipatahkan dengan adanya kontrak itu. "Isaac.. Menjebak ayahku dengan utang. Aku juga tidak begitu mengerti." Lucas menatap Agatha sejenak lalu menghela napasnya berat. Karena itu rupanya. Ia memijit batang hidungnya sambil berkacak pinggang. Ia harus kesal pada siapa saat ini? "Kamu mau cerita sekarang?" Tanya Lucas. Agatha menggeleng. Lucas kembali berpikir. Ia harus berpikir keras. Jelas-jelas Agatha yang dirugikan disini. Ayah macam apa yang menjual anaknya karena harta dan kekuasaan? Yah, Ayah macam yang Agatha punya. "Agatha," panggil Lucas, "Semua akan baik-baik saja. Aku bisa memanggil orang-orangku untuk mengurusnya." Kata Lucas. Agatha menengadah pada Lucas. Wajah pria itu kelihatan sangat serius. Ia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Agatha tidak tahu sebesar apa kekuatan Lucas dan orang-orangnya. Tapi ia juga tidak tahu seberapa besar kekuatan Isaac yang sebenarnya. Dari cerita-cerita Kay, tampaknya Isaac memanglah raja kota itu. Ia menaungi segala sektor. Tapi permasalahan lainnya adalah sebesar apa Isaac akan mengerahkan kekuatannya untuk merebut Agatha kembali. Karena pria itu kelihatannya jauh lebih mencintai alkohol-nya ketimbang Agatha. Tapi bukannya Agatha juga ingin ke-geer-an karena ia pun tidak tahu apa Isaac mencintainya atau hanya suka dengan tubuhnya. Ini permainan berbahaya. Dan Agatha sudah terlibat terlalu jauh hanya karena ia lahir di keluarga Ivy. *** Isaac terbangun di sofa ruang tamunya. Kepalanya sakit dan hari sudah pagi. Kay duduk di sebelahnya dengan sekantong es. Isaac menoleh kepadanya lalu menyodorkan tangannya kearah Kay, meminta kantongan es itu. Kay berdecak kesal lalu melempar sekantong es itu ke pipi Isaac. Pria itu menoleh dengan wajah bingung bercampur kesal. "Lo itu anak haram banget." Kata Kay sambil menunjuk-nunjuk Isaac. Pria itu berdecak lalu menghela napas dan menjatuhkan kepalanya ke sandaran sofa. "Dimana dia?" "Oh? Agatha? Gue gak tahu. Dan gue yakin dia juga gak mau lo dan gue tahu. Lo itu bego banget, sial." Kata Kay sambil berdiri lalu melayangkan sebuah tinju ke wajah Isaac. Ia kesal. Sangat teramat kesal. "Gue tahu, bego! Bacot lu tai! Mana dia?" "Kalo lo tahu mau lo apain lagi hah? Lo marahin? Lo pukul? Anjing lo, sial. Lo bilang ke gue kalo lo gak bakal nyakitin cewek lagi sialan!" Kata Kay kembali memukul wajah Isaac. Tapi kini Isaac membalasnya dengan melayangkan pukulan ke wajah Kay juga. "Gue gak nyakitin dia bego!" "Terus dia nangis karena apa? Ngupas bawang? Sampe lari gitu karena dia ngupas bawang? Ah lo kayak tai ya lama-lama! Kalo gue bisa bunuh lo, gue bunuh aja sialan!" "BUNUH AJA GUE SIALAN! LO KIRA GUE MAU BANGET HIDUP?! HAH?!" Kay terdiam. Ia tidak menyangka Isaac akan mengatakan itu padanya. Pria itu melepaskan cengkeramannya di kerah baju Isaac lalu kembali berdiri tegap. Ia memijit kedua matanya yang terasa berdenyut. Benang kusut. Isaac benar-benar sebuah benang kusut. "Lo kira gue mau banget hidup hah?" Kata Isaac dengan suara seraknya. "Karena itu lo masih minum-minum? Karena lo mau mati pelan-pelan?" Isaac mendelik dari balik matanya yang berkaca. Perasaannya sedang meluap-luap. "Lo kira Agatha gak punya perasaan kali ya, sial? Lo pake kayak barang, terus lo tinggalin pas bosan. Lo gak ngomong ke dia. Gak ada komunikasi. Tapi lo kurung lama di rumah gede lo yang sunyi ini. Tuh cewek kalo milih bunuh diri, gue gak bakalan bingung karena apa. Ya pasti karena lo lah, b*****t!" Kay kembali duduk di sofa lalu menghela napas ke udara. "Itu bukan salah gue." Kata Isaac. "Bukan salah gue dia lari. Dia semalam-" "Gue gak perlu cerita dari sisi lo." Potong Kay. "Gue gak perlu cerita lo. Gue gak perlu pembelaan lo. Agatha sakit hati dan dia sekarang gak tahu dimana. Gue gak bisa lacak karena handphone-nya gak dibawa." "Gak usah lo lacak lah." "Hah?! Lo masih ngerasa dia kayak burung merpati gitu? Yang bakal balik lagi ke tuannya? Lo kira gitu ya?" "Dia masih cinta sama si b******k itu! Gue mau apalagi?!" Kay mengatupkan mulutnya lalu duduk bersandar lagi. Ia sedang menyesapi masalahnya. Jadi begitu yang terjadi. Agatha masih cinta pada Lucas. Atau setidaknya itu yang dikatakan gadis itu pada Isaac. Ia menyandarkan kepalanya sepenuhnya kepada senderan sofa. Ia menatap langit-langit ruang tamu dengan nanar. "Tapi itu bukan alasan lo bisa nyakitin dia." "Gue kurang baik apalagi sama dia." "Ya banyak kalo lo nanya gue. Lo gak sentimen. Lo gak ngomong sama dia. Lo gak bakat ngetuk hati dia. Intinya lo itu gak pantas buat dia. Dan Isaac," Isaac menoleh kepada Kay yang menelengkan kepalanya yang berisitirahat di sofa. "Agatha itu lebih hebat daripada yang lo tau. "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD