Tangled Strings

1373 Words
"Apa kamu yakin, Agatha?" Lucas menoleh untuk menatap Agatha yang sudah kelihatan jauh lebih baik. Tangan gadis itu sudah diperbannya. Lucas berterimakasih dalam hatinya pada anggotanya yang menyimpan hal lain yang lebih berguna seperti kotak P3K ketimbang narkoba dan alkohol di markasnya. Agatha mengangguk sambil menoleh kerumah yang ada di dalam gerbang tinggi di dalam hutan itu. "Aku sekarang tinggal disini." Kata Lucas yang sadar kalau Agatha sedang meneliti rumah barunya. "Ada masalah dengan rumah lamamu?" Tanya Agatha. Lucas hanya mengangkat kedua bahunya lalu menghentikan mobilnya di garasi di rumah bergaya modern kontemporer itu. Hampir mirip dengan rumah ayahnya. "Aku hanya ingin punya suasana yang baru." Kata Lucas sambil tersenyum. Pria itu keluar bersamaan dengan Agatha lalu mendekap tubuh gadis itu sembari berjalan menuju pintunya. "Dengan siapa kamu tinggal disini?" "Sendirian." "Bukannya dulu orangtuamu tinggal di kota juga?" "Ya. Itu 'kan dulu." "Mereka dimana?" Tanya Agatha sambil menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu berlangit-langit tinggi itu. Lucas berjalan menuju dapur yang ada di ruangan sebelah ruang tamu itu dan mulai mengisi gelas kacanya dengan air mineral. "Ibuku di Jepang sekarang." Kata Lucas sambil menyodorkan segelas air mineral itu ke Agatha. Gadis itu meraihnya, "Lalu ayahmu?" Tanyanya sebelum ia menenggak airnya. Lucas menatap nanar ke lantai lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. "Dia sudah tidak disini lagi." Jawabnya sambil menghela napas. "Oh dia sudah tinggal bersama ibunu di Jepang?" Tanya Agatha. Lucas menoleh kepadanya lalu tersenyum simpul. "Dia gak tinggal bareng mamaku juga." "Oh, gitu." Agatha manggut-manggut sambil menyandarkan tubuhnya di sofa yang empuk. Pikirannya nanar ketika ia melihat ruang tamu yang remang-remang. Mereka hanya dicahayai oleh sinar rembulan. Hari sudah malam dan bunyi jangkrik serta suara deru AC adalah suara yang memenuhi telinga Agatha. "Kenapa kamu datang kesana?" Tanya Lucas tiba-tiba. "Ke markas." Agatha menggeleng. Ia pun tidak tahu. Ia berlari tanpa melihat jalan dengan benar. "Apa kau tahu aku akan kesana hari ini?" Tanya Lucas. Agatha menggeleng lagi. "Lalu kenapa?" "Aku tidak tahu." Kata Agatha sambil menyandarkan kepalanya ke sofa, matanya tertuju pada langit-langit gelap yang dihias bintik-bintik berbinar. Seperti bintang malam. Lucas meraih tangan Agatha dan menggenggamnya. Gadis itu menoleh. Menatap pria yang selama ini menghias hatinya. Lucas. Pria itu menatap Agatha balik. "Kamu mau cerita?" Tanya Lucas. Tapi Agatha kembali menggeleng. "Lalu bagaimana aku bisa membantumu?" Agatha terdiam lalu menghela napasnya. "Apa aku bisa meminjam teleponmu?" Tanpa pikir panjang, Lucas beranjak dan mengambil handphone yang ia taruh diatas meja marmer dapurnya. Pria itu menyodorkannya kepada Agatha. Gadis itu mengetikkan sesuatu dan mendekatkan benda itu ke telinganya. Ia hendak menelepon seseorang. Telepon segera tersambung setelah bunyi dering pertama selesai. "Halo? Miracle?" "Astaga! Agatha? Kamu dimana, sayang? Semua orang panik karena kamu pergi dari rumah Isaac. Apa kamu perlu dijemput, sayang? Beritahu posisimu." "Aku dirumah Lucas. Miracle, mana papa?" "Markus di sebelahku. Dia baru mau mencarimu. Untunglah kamu menelepon." Agatha menghela napasnya. "Miracle, bisakah kamu agak menjauh dari papa sebentar?" "Apa?" "Aku mau meminta sesuatu. Menjauh dari papa sebentar." Miracle terdengar diam sejenak lalu segera grasak-grusuk seperti beranjak dari sofa kulit. "Ok. Aku sudah di koridor." "Bisakah kamu kirimkan baju seragamku ke rumah Lucas? Jangan bawa Arnold. Aku tidak percaya pria itu." "Apa yang- Baiklah. Baiklah. Ada lagi, sayang?" "Tas, handphone, um.. apa bisa minta papa membuka rekeningku lagi?" "Untuk apa? Aggie.. hei.. kamu bisa memakai uangku dulu." Lucas mengernyitkan dahinya. Ia tahu Agatha tidak punya hubungan yang baik dengan ayahnya. Karena itu gadis itu tidak pernah memakai uang yang diberikan ayahnya untuk keperluannya lagi. "Bisa, sayang. Itu saja?" Kata Miracle dari ujung telepon. Agatha menoleh dsn tersenyum, ia mencium pipi kiri Lucas lalu berdiri dan berjalan menuju pintu kaca menuju halaman belakang. Ada trampolin disana. Mungkin Agatha akan bermain disana besok sore. "Um.. tolong rahasiakan posisiku pada Isaac. Dan papa." Kata Agatha. Gadis itu terhenyak kaget ketika merasakan dekapan di pinggangnya. Lucas menyandarkan kepalanya di pundak Agatha, mencium pipi dan leher gadis itu dengan lembut. "Apa yang terjadi, Agatha?" Tanya Miracle. Suaranya sedikit bergetar. "Um.. aku tidak bisa katakan." "Berjanjilah kamu akan beritahu aku ketika aku kesana." Agatha menghela napas. Ia menoleh kepada Lucas yang ikut mendengar dari sisi yang lain. Pria itu menoleh juga kepada Agatha. "Ya. Baiklah." Lalu Agatha memutuskan hubungan teleponnya. Gadis itu menyodorkan kembali handphone Lucas kepada pria itu. "Kamu tidak apa-apa?" Tanya Lucas yang kini berdiri di hadapan Agatha. "Apa yang terjadi, Agatha?" Tanya Lucas yang memeluk Agatha, menenggelamkan wajah gadis itu di dalam jaket yang harum tubuh Lucas. Agatha memejamkan matanya, menjawab pelukan Lucas. "Aku lelah." Kata Agatha. "Kalau dia membuatmu lelah, kenapa kamu mau bersama dengannya?" Agatha semakin membenamkan wajahnya di d**a bidang Lucas. "Aku tidak tahu." Kata Agatha dengan suaranya yang teredam. "Hei," panggil Lucas. Ia mengangkat dagu Agatha supaya gadis itu menengadah dan melihat kedua atensi Lucas yang menatap balik kepadanya. Pria itu sebenarnya enggan menanyakan pertanyaan ini. Bukan sifatnya untuk jadi lemah kepada siapapun Tapi ia ingin tahu. Tidak. Ia perlu tahu. "Apa kamu mencintainya, Agatha?" Tanya Lucas lirih. Agatha menengadah kepada wajah pria itu. Pertanyaan itu lagi. Lucas menatap gadisnya sejenak lalu menyapu ibu jarinya di bibir ranum Agatha. "A..Aku.." Agatha menggigit bibirnya sejenak, lalu menengadah kepada wajah Lucas sejenak tapi kembali menggigit bibirnya. "Em.." Lucas tersenyum simpul melihat tingkah laku Agatha. Lucas tidak memerlukan jawaban dari mulut Agatha. Tingkah lakunya yang ragu-ragu membuat jawabannya jauh lebih jelas. Lucas mendekap Agatha lagi. Menaungi gadis itu dengan tubuhnya sambil mengelus puncak kepala gadis itu. Seperti induk angsa kepada anaknya. Agatha sangat mungil di dalam dekapan Lucas. Pria itu merasa seperti sedang memeluk boneka panda. Ia mengecup bibir Agatha singkat. Tapi bibir manis Agatha seperti menariknya untuk menginginkan lagi. Pria itu mencium dan melumat bibir Agatha tanpa ingat untuk menarik napas. Ia terpikirkan banyak hal. Pikirannya penuh akan kemungkinan-kemungkinan yang menyakitkan. Kemudian Lucas berhenti. Ia menarik bibirnya menjauh lalu kembali menatap mata Agatha yang berbinar karena sinar memabukkan rembulan pada malam itu. "Kamu tidak perlu menjawabnya. Aku tidak perlu mendengarnya." Kata Lucas. "Kamu sekarang disini. Bersamaku. Itu saja cukup untukku." Katanya dengan senyum. Senyum yang rusak, itu yang Agatha lihat. Senyum yang terpaksa dan memilukan. Lucas sedang berusaha keras untuk menahan dirinya. "Lucas.." panggil Agatha dalam napasnya. Tapi Lucas melepas dekapannya. Ia memalingkan wajahnya sambil mengusap tengkuknya. "Sebaiknya kamu mandi dulu." Kata Lucas yang melepas jaketnya. "Kamu bisa memakai kamarku saja. Kamar tamu belum kubersihkan." "Terus kamu?" Lucas menoleh kepadanya namun hanya tersenyum. Ia tidak menjawab. "Aku keluar dulu." Katanya. "Kamu mau kemana? Lucas?" Lucas tak mendengarkan. Pria itu segera meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar. Agatha terdiam. Berdiri diterpa cahaya rembulan. Meremas kedua tangannya. Ia tidak tahu perasaan apa yang harus ia miliki sekarang. Rasanya hidupnya selalu saja sebuah buntalan benang kusut yang tidak pernah bisa diluruskan. Jadi ia harus bagaimana sekarang? *** Miracle bergegas menuju kamar Agatha untuk mencari barang-barang yang diminta Agatha. Markus, ayah Agatha, mengikutinya dari belakang. Ia tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyannya soal Agatha. "Miracle. Sayang. Beritahu aku sesuatu. Dimana Agatha sekarang?" Kata Markus sambil mengejar Miracle. Wanita itu mengacungkan tangannya pada Markus lalu mulai memasukkan pakaian Agatha. Mungkin Miracle perlu memasukkan pakaian lain selain baju seragam. "Dia minta aku untuk tidak memberitahu posisinya." "Tapi aku ini ayahnya. Aku berhak tahu." "Tolong ambilkan handphone, Agatha." Pinta Miracle, mengacungkan telunjuknya kepada meja belajar Agatha. Pria itu menoleh pada tempat yang ditunjuk dan menemukan benda yang dimaksud istrinya itu. Wanita itu meraihnya dan menakan tombol power-nya, bermaksud memeriksa kapasitas baterainya saat itu. "Apa dia aman? Miracle beritahu aku." Kata Markus mulai tidak sabaran. Miracle mengangguk, "dia aman. Dia aman." Katanya. Tapi perhatian Miracle segera tersita. Pada layar handphone yang sudah menyala itu. Markus melihatnya. Pria itu mengernyitkan dahinya. "Kamu sedang melihat apa?" Tanyanya. Miracle menengadah pada Markus dengan wajah terkejutnya. Ada yang tidak beres, pikir Markus. Pria itu mendekat dan ikut bersimpuh di lantai bersama Miracle. Wanita itu menyodorkan handphone Agatha padanya. Ini memang termasuk melanggar sifat privasi gadis itu. Tapi mereka terlanjur melihatnya dan mereka dengan tidak sengaja ikut campur. "I..Ini.." "Markus.." panggil Miracle. Wajah kaget Markus menoleh kepada Miracle. Lalu ia kembali menoleh pada layar handphone Agatha. Mereka tidak bisa membukanya. Tapi layar itu berisi notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab selama sebulan lebih. Dari banyak notifikasi pesan yang masuk, sebuah nama membuat Markus dan Miracle tertegun. Klinik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD