Still

1495 Words
Dalam sejarahnya, Isaac tidak pernah mengalami situasi yang begitu membuatnya tegang dan marah sekaligus. Ia menoleh kepada Agatha yang tekun menyeruput sodanya dalam diam. Lalu menoleh kepada Lucas yang menatap Agatha dengan wajah yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Atau mungkin Isaac saja yang tidak mengerti wajah apa yang diperlihatkan Lucas. "Jadi kalian kenal sejak kapan?" Tanya Isaac tiba-tiba. Lucas menoleh padanya lalu kembali kepada Agatha. "Sejak SD." Kata Lucas. "Kau siapanya?" Tanya Lucas balik. Agatha menoleh kepada Isaac yang ikutan menatapnya. "Aku suaminya." Kata Isaac sambil tersenyum. Mulut Lucas menganga mendengar itu. Ia menoleh lagi kepada Agatha. Memelototinya, seperti meminta penjelasan. Isaac menyadari tatapannya. Agatha sedikit bergetar ketika ia merasakan dua tatapan menghujamnya. Tapi tangan Isaac menelusup kedalam tangannya, pria itu sadar Agatha tidak nyaman dengan situasi ini. Sebenarnya ini salah Isaac. Karena pria itulah yang mengajak Lucas untuk makan siang dengan mereka. Pria itu sengaja melakukannya karena ia dan Agatha sepertinya selalu berpapasan dengannya di setiap belokan. Sampai pertemuan-pertemuan mereka itu terasa bukan lagi kebetulan untuk Isaac. Makanya ia mengajak Lucas dan teman kencannya makan bersama mereka. Yah, seharusnya ia tanya dulu pendapat Agatha sebelum ia memutuskan. Awalnya Isaac berencana untuk membuatnya menjadi sebuah kencan double. Tapi ternyata teman kencan Lucas pulang duluan karena katanya ada urusan mendadak. Kini tinggallah Isaac dan Lucas dengan seorang Agatha yang duduk menunduk di sebelah Isaac. "Agatha, apa besok kau akan sekolah?" Tanya Lucas sambil meneliti kepada Agatha. Gadis itu menoleh lalu segera mengangguk. Lucas kembali bertatapan dengan Isaac yang memutar-mutar sedotannya. Ia belum pernah merasa kalah kalau melihat cowok lain. Tapi Isaac adalah segalanya yang Lucas bukan. Ia ingat kata-kata Agatha ketika malam hari ketika ia dan Lucas kabur dari acara kemah angkatannya dan pergi ke tebing, mengamati bintang. Lucas bukan fans terbesar kegiatan membosankan seperti itu. Tapi ia penasaran mengapa Agatha begitu menyukainya. Mereka berbincang soal banyak hal sebelumnya. Lalu Lucas menanyakan pertanyaan itu. Bagaimana tipe pria yang Agatha sukai. Lucas bukannya bermaksud untuk menyanggupi kriteria Agatha. Ia hanya basa-basi saja. "Pria yang tinggi." Jawab Agatha. "Pundaknya lebar dan dia pandai berbicara." "Bagaimana dengan wajahnya?" "Dagunya tajam. Mungkin kalau bisa matanya berwarna. Biru." "Bule?" "Mungkin." Lucas tidak bermaksud untuk mengingat-ingat percakapannya dengan Agatha yang itu. Ia tidak peduli juga awalnya. Tapi semakin ia ingin melupakannya semakin Lucas teringat setiap kata-katanya. Bahkan setelah ia pamit pergi kepada mereka berdua dan duduk di mobilnya yang menderu. Ia terus mengingat situasinya. Isaac adalah segalanya yang Agatha inginkan. Dan Lucas duduk di posisi kedua di hatinya. Itu yang pria itu rasakan. Pria itu memukul setirnya dengab keras. Ia kesal. Sangat sangat kesal. Apa itu terjadi ketika ia sedang di Jepang mengurus ayahnya selama sebulan itu? Atau mereka sudah terjadi lama sebelum itu? "Tapi kamu bilang kamu mau di rumah dulu?" Kata Isaac sambil menunduk untuk melihat wajah Agatha yang sedikit disembunyikannya. Mereka sudah pulang dan berganti baju. Agatha mendekap sebuah bantal sofa yang besar, cukup besar untuk menenggelamkan wajahnha disana. "Kurasa liburanku sudah cukup," jawab Agatha. Isaac mengangkat kedua alisnya. "Menurutmu liburanmu cukup, atau kamu ingin bertemu Lucas lagi?" Tanya Isaac sambil mendaratkan wajahnya di pangkuan Agatha. "Menurutku liburanku sudah cukup." "Aku tidak yakin." Kata Isaac sambil memainkan rambut panjang Agatha. "Apa kamu masih mencintainya?" Hati Agatha rasanya tenggelam di dalam darahnya sendiri ketika Isaac menanyakan pertanyaan retorika itu. Ia menoleh kepada Isaac yang kini menatapnya serius. "Apa kau masih mencintainya?" Ulang Isaac, menekan nada suaranya di setiap kata-katanya. Agatha memalingkan wajahnya ketika Isaac akhirnya duduk dan memutar tubuh gadis itu untuk berhadapan dengannya. "Agatha. Lihat aku." Kata Isaac. Kedua manik matanya sirna. Kesunyian dari Agatha membuatnya tidak sabaran. "Apa kau masih mencintainya?" "Darimana kamu tahu?" Agatha mulai kembali bergetar. Ia kembali takut. Pada pria di hadapannya. Ia kembali tertekan. Padahal ia sudah mulai nyaman disana. Padahal dia sudah mulai menerima keadaannya. Isaac menatap kedua manik mata Agatha dalam-dalam. "Apa kamu masih mencintainya? Agatha. Jawab aku, sial!" "Agatha!" "Iya!" Agatha menatap Isaac dengan matanya yang sudah seperti kaca. "Aku masib cinta sama dia, Isaac! Iya!" Suaranya bergetar. Sama seperti tubuhnya sekarang. Rahang Isaac mengeras. Pria itu melepaskan kedua cengkeramannya di lengan atas Agatha dengan keras. Ia berdecak lalu menyandarkannya tubuhnya di sofa. Agatha menunduk, terisak menangis. Tenggelam di dalam dukanya. Ia benar-benar mengatakannya. Perasaannya yang dipendamnya selama ini. Ia tidak pernah sanggup mengatakannya. Pada siapapun. Bahkan ayah dan ibunya pun tak tahu bagaimana perasaan Agatha. Agatha merasa ia pun membiarkan dirinya terbengkalai jauh di dalam sana. Isaac beranjak berdiri dan berjalan menuju sebuah meja. Tepatnya meja dimana ia meyimpan koleksi alkoholnya. Pria itu kemudian membuka sebotol vodka, alkohol favoritnya ketika ia ingin melupakan. "Kamu mau apa?" Tanya Agatha disela-sela senggukannya. "Mabuk. Apalagi?" "Tidak!" Agatha melarang. Ia segera berdiri dan mendaratkan tangannya diatas tangan Isaac yang sudah menggenggam sebuah gelas berisi cairan itu. Agatha mendekap Isaac. Cara yang sama seperti ia biasanya menghentikan Isaac. Pria itu melembek awalnya. Tapi ia kembali menggeram dan mendorong Agatha ke lantai. Gadis itu jatuh bersama dengan gelas yang ada di tangan Isaac. Agatha meringis ketika tangannya mengenai salah satu beling tajam, sisa gelas kristal Isaac. Pria itu mendengarnya lalu menoleh, khawatir. Tapi perasaan itu hanya hadir sejenak. Ia kembali sibuk membuka botolnya dan meminumnya langsung darisana. Agatha menatap tangannya yang perih; karena beling dan sedikit vodka yang mengenai lukanya yang terbuka. Matanya masih buram dari air mata yang tidak berhenti. Ia menoleh kepada Isaac yang menenggak habis alkoholnya itu. Pengecut. Umpat Agatha dalam hatinya. Gadis itu berlari keluar. Napasnya tersengal-sengal. Dadanya sesak. Telapak tangannya luka. Ia menjadi pemandangan yang mengejutkan bagi Wendy yang tengah lewat sambil membawa kain cucian. Agatha memalingkan wajahnya dan berlari keluar rumah tanpa alas kaki. Ia menabrak Kay yang sedang menaiki anak tangga menuju teras rumah. "Hey! Agatha! Lo mau kemana?! Woi!" Gadis itu mengacuhkannya. Ia tidak mendengarkan Kay yang memanggilnya berkali-kali. Gadis itu membuka sendiri gerbang besar dan berlari keluar rumah itu. Kay ingin mengejarnya. Tapi Isaac muncul dari dalam dan menahan Kay. "Dia mau kemana? Ini sudah sore." Tanya Kay sedikit panik. Tapi Isaac hanya menggeleng sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangannya. Agatha berlari dan berlari. Dengan tangannya yang mulai meneteskan darah jauh lebih deras dari sebelumnya. Kedua penglihatan gadis itu mulai nanar. Ia berlari mengikuti arahan hatinya yang sebenarnya pun sedang berkabut. Ia tidak tahu harus kemana. Kalau ia ke rumah ayahnya ia akan merasakan hal yang sama. Ia akan kesepian. Ia akan menderita dalam diam. Gadis itu berbelok dan berlari menembus angin yang mulai membeku. Matanya tidak bisa melihat dengan baik dari balik air mata. Tapi ia ingin pergi jauh. Dari kota yang menyakitinya ini. Dari Isaac. Dari ayahnya. Dari semua pria b******k yang mengajarinya dosanya untuk hidup sebagai perempuan. Lalu ia berhenti. Entah karena ia sudah sampai ke tujuan yang hatinya miliki atau karena ia ingin berhenti untuk bernapas dulu. Gadis itu menarik napas dalam-dalam tapi malah semakin menangis. "Agatha?" Panggil sebuah suara. Lucas. Ia tahu suara itu. Itu suara Lucas. Gadis itu menoleh dengan kedua matanya yang sudah mulai bengkak dan memerah. "Agatha? Kamu menangis?" Tanya Lucas sambil keluar dari mobilnya. "Kamu sedang apa disini? Apa anggotaku menyakitimu?" Agatha melihat sekitarnya. Semilir angin air asin menerpa wajahnya. Ia sedang di komplek gudang yang ada di pinggir lautan itu. Markas Lucas itu. "Hei. Hei," panggil Lucas sambil mendekat kepada Agatha yang terisak seperti anak bayi. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Hatinya rasanya hancur. Tapi kenapa rasanya seperti ini? Kepada siapa ia tengah berduka? Apa karena ia teringat ibunya juga? Ibunya yang meninggal? Wanita malang itu? Atau ia sedang menangis karena Isaac tidak mendengarkannya? "Kamu kenapa, sayang?" Tanya Lucas sambil menangkup wajah Agatha dan kedua tangannya. "Siapa yang menyakitimu?" Tanya Lucas sambil meraih tangan Agatha yang berdarah itu. Agatha hanya menggeleng sambil ikut menggenggam kedua tangan Lucas yang menangkup pipinya. Wajahnya mencetak senyum lebar yang membuatnya kelihatan semakin menyedihkan. "Si Isaac sialan itu?" Kata Lucas sambil menaikkan nadanya. "Oho! Aku sudah tahu dia akan menyakitimu! Lihat saja akan kuberi dia pelajaran yang membuatnya ingin mati duluan!" Lucas memutar badannya sambil menyingkap lengan jaket kulitnya. "Tidak!" Sergah Agatha sambil menahan tubuh Lucas dengan dekapannya. "Tidak? Apa maksudmu? Dia menyakitimu!" Kamu juga sama saja. "Temani aku." Lucas menoleh kepada Agatha yang lengket padanya. Ia bisa merasakan tubuh Agatha yang naik turun karena sesenggukan lalu ia menghela napasnya dengan berat. "Tapi dia menyakitimu, Agatha." Kata Lucas sambil kembali memutar badannya untuk menghadap kepada gadisnya itu. Agatha menggelengkan kepalanya. "Tidak ada gunanya. Kamu akan kalah." Kata Agatha sambil menengadah untuk menatap Lucas. "Aku tidak akan-" tapi Lucas menenggelamkan harga dirinya lalu membalas dekapan Agatha. Gadis itu ada benarnya. Ia lebih baik tinggal bersama Agatha untuk menenangkan gadis itu. Ketimbang bunuh-bunuhan dengan Isaac. "Baiklah. Baiklah." Agatha kembali terhenyak menangis. Ia sesak tapi bukan karena pelukan Lucas yang terlalu erat. Tapi karena perasaannya yang membuncah. Rasa lelahnya dikalahkan dengan keinginannya untuk menangis dan mengeluarkan semuanya. "Ayo ke rumahmu dulu. Kita pikirkan disana." Ajak Lucas. Tapi Agatha menggeleng. "Jangan. Jangan kesana." Katanya. Lucas mengernyitkan dahinya lalu menatap wajah Agatha yang memerah karena tangisannya. "Ke rumahmu." Kata Agatha. "Ayo kita ke rumahmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD