1

1616 Words
Terik mentari mulai menyinari bumi, sinarnya mulai memasuki celah-celah ventilasi rumah yang ada. Sinar yang sangat menyilaukan mata, membuat semua orang yang masih bergelut manja dengan selimut mereka terpaksa harus bangun untuk memulai aktivitas hari ini. Sama halnya seperti Vanya, seorang gadis yang terkenal bad girl ini mau tidak mau harus terbangun dari mimpi indahnya. Perlahan, Vanya mulai menggeliat dari tidurnya, tangan Vanya terulur untuk mengucek kedua mata miliknya yang masih terpejam. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil mengumpulkan nyawanya kembali untuk bangun tidur. Vanya langsung saja menatap ke arah jam weker kecilnya yang berada di atas nakas meja samping kasur king size miliknya. Jam weker itu menunjukkan pukul tujuh pagi, dengan spontan Vanya membulatkan kedua matanya dengan sempurna. Dengan gerakan secepat kilat, Vanya segera pergi memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Berbagai u*****n sudah berhasil lolos keluar dari mulut manis Vanya, dia juga terus saja merapalkan beberapa doa-doa agar dirinya tidak terlambat. Walau kenyataannya, datang terlambat adalah hobi yang dimiliki oleh seorang Revanya Putri Alexandra. "b**o banget gue! Bisa-bisanya gue terlambat bangun gini sih. Mau gue kasih alasan apa lagi nanti pak Bisma?" tanya Vanya kepada dirinya sendiri. "Untung aja, tugas dari guru galak itu udah gue kerjain. Tumben-tumbenan kan gue ngerjain tugas dari guru." lanjut Vanya dengan tangan yang masih sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tas ranselnya. Sejenak, Vanya melirik jam tangannya. Kini waktu sudah menujukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. Helaan nafas pasrah Vanya mulai terdengar, kini Vanya mulai menggendong tas ranselnya dan mengambil handphone miliknya yang berada di atas meja. Vanya mulai beranjak keluar dari kamarnya dan mulai menuruni satu persatu anak tangga di rumah besar dan mewah miliknya. Tatapan mata Vanya berubah menjadi dingin saat Vanya menoleh ke arah ruang makan, di ruang makan sudah ada Alexander, Ayahnya dan Revanda, Ibu tiri Vanya. Dengan secepat kilat, Vanya segera memalingkan tatapan matanya ke arah lain. Vanya tetap melanjutkan langkah kakinya menuju ke pintu utama, tanpa menyapa Ayah dan Ibu tirinya itu. Sekarang Vanya merasakan sesak dan perih di hati serta perasaannya saat dia melihat kebersamaan Alex dan Reva. Baru saja beberapa langkah, suara bariton milik Alex mulai memenuhi indra pendengaran Vanya. "Mau kemana kamu?" tanya Alex dengan keras sehingga suaranya menggelegar di segala penjuru ruangan rumah mewah miliknya. Langkah Vanya terhenti, Vanya menjawab pertanyaan Alex tanpa menoleh dan menatap sedikitpun kepada Alex serta Reva. "Sekolah." balas Vanya dengan singkat dan dingin. "Sudah jam berapa ini? Setiap hari kerjaan kamu terlambat terus!" sentak Alex. Vanya hanya diam tak bergeming, dia tetap berdiri dan menatap lurus ke depan tanpa mau menoleh ke arah ruang makan itu. "Mas! Sudahlah, mungkin Vanya terlambat bangun." ucap Reva sambil mengelus lembut bahu suaminya. "Terlambat bangun? Memangnya semalam tidur jam berapa dia? Pulang malam lagi kan pasti? Cih, kamu bahkan lebih cocok disebut sebagai p*****r yang bekerja di club malam dari pada menjadi seorang putri dari keluargaku!" ucap Alex sambil tersenyum sinis menatap punggung putri semata wayangnya yang berdiri tegap itu. "Mas! sudahlah. Semalam Vanya pasti di rumah, dia selalu di kamarnya Mas." balas Reva sambil memberikan tatapan memohon kepada Alex untuk menghentikan ucapannya yang mampu menggoreskan luka baru di hati Vanya. Seketika Vanya berbalik, sorot mata tajam serta dingin Vanya tujukan kepada kedua orang tua yang sedang duduk di ruang makan itu. "Vanya di rumah. Tolong jaga ucapan anda, saya bukan seorang p*****r seperti istri kedua anda yang anda nikahi setelah kepergian Bunda saya." ucap Vanya sambil menatap tajam ke arah Alex. "Dan, tolong ingat satu hal. Saya tidak pernah membutuhkan satupun pembelaan dari anda." ucap Vanya sambil menatap ke arah Reva. "Vanya! Jaga sopan santunmu, dia Ibumu!" bentak Alex dengan raut wajah yang sudah memerah padam. Vanya masih tetap diam, sejenak Vanya melirik kembali jam tangan yang melingkar manis nan indah di pergelangan tangan miliknya. Jam itu menujukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit, itu tandanya Vanya sudah sangat terlambat untuk ke sekolah sekarang ini. Satu helaan nafas Vanya pun mulai terdengar, sungguh Vanya sangat enggan untuk menanggapi perdebatan kecil yang selalu terjadi di pagi hari. "Bunda saya hanya satu, yaitu Bunda Melinda." balas Vanya dengan nada dingin. "Kamu memang benar-benar ..." ucapan Alex terpotong karena tiba-tiba tangan Linda menepuk pelan bahunya, dan mengisyaratkan untuk menghentikan perdebatan kecil itu. "Permisi." ucap Vanya sambil berbalik, dan mulai berjalan mendekati pintu utama yang berdiri kokoh di rumah mewah itu. Dengan langkah panjang, Vanya mulai memasuki mobil kesayangannya yang sudah terparkir rapi di halaman rumahnya. Kebetulan saja satpam penjaga rumah Vanya sudah membuka lebar gerbang rumah itu, jadi dengan mudah dan leluasa Vanya bisa pergi. Seperkian detik kemudian, Vanya mulai melajukan mobilnya ke arah sekolah SMA Garuda. Vanya mengemudi dengan kecepatan diatas rata-rata. Banyak suara klakson mobil ataupun motor yang ditujukan kepada Vanya, tetapi Vanya hanya mengacuhkan semua itu. Kini tujuan Vanya hanyalah sampai di sekolah sebelum guru fisika yang terkenal killer itu memasuki kelasnya. Kini perjalan Vanya sudah hampir sepuluh menit, mobil Vanya mulai berbelok ke arah gerbang sekolah. Tetapi nasib sial sedang berpihak kepada Vanya, pintu gerbangnya sudah tertutup rapat. "Ck, gue semakin terlambat kan gara-gara harus meladeni kedua orang tua menyebalkan tadi di rumah." decak Vanya sambil memukul pelan stir mobil miliknya. Tidak lama kemudian, tampak seorang satpam paruh baya yang membuka sedikit pintu gerbang itu dan mulai menghampiri Vanya yang masih berdiam diri di dalam mobilnya. Tok, tok, tok. Suara ketukan mulai terdengar di kaca pintu mobil bagian kemudi Vanya, Vanya menghela nafasnya berat, dia tau jika setelah ini dia harus berhadapan dengan seorang guru bimbingan untuk keterlambatan Vanya ke sekolah. Dengan sedikit keraguan, Vanya pun mulai membuka pintu mobil dan turun dari mobilnya. Dengan tatapan dingin Vanya menatap ke arah satpam paruh baya lewat lensa kaca mata hitam yang sudah bertengger manis di hidung mancung milik Vanga. "Maaf Nak, kamu terlambat lagi ya?" tanya satpam itu. "Iya." balas Vanya dengan singkat dan dingin. "Kalau begitu kamu tunggu disini dulu ya, biar saya panggilkan guru piket hari ini yang mengurus tentang keterlambatan siswa." ucap satpam itu sambil bersiap untuk beranjak dari hadapan Vanya. Seketika Vanya membulatkan kedua matanya dengan sempurna, dan berusaha mencegah agar satpam itu tidak memanggilkannya guru piket hari ini yang sudah pasti itu pak Bisma. "Eh Pak, tunggu dulu!" panggil Vanya sambil sedikit berteriak dan berjalan menghampiri satpam itu yang berada beberapa langkah di depan Vanya. Satpam itu pun berhenti, lalu menatap ke arah Vanya dengan penuh tanya. "Tidak usah memanggil guru piket, saya lewat belakang saja." ucap Vanya sambil memberikan tatapan memohon kepada satpam itu. "Tidak bisa begitu dong, tadi saja kamu bersikap dingin kepada saya, sekarang? Kemana sifat dinginmu itu saat saya mau memanggil guru piket hari ini?" tanya satpam itu sambil tersenyum remeh kepada Vanya. Sontak, ekspresi wajah Vanya berubah menjadi datar dan dingin kembali. Tatapan tajam Vanya seolah-olah menusuk ke dalam mata satpam itu. "Terserah Bapak saja." balas Vanya sambil berbalik menuju mobilnya. "Eh mau kemana kamu? Kamu sudah terlambat, ayo terima hukuman kamu!" tegur satpam itu saat dia melihat Vanya mulai memasuki mobil sports putih itu. Vanya tetap berjalan menuju mobilnya tanpa menghiraukan teguran dari satpam itu. Vanya memasuki mobilnya kembali, dan kini dia mulai memundurkan mobil miliknya serta memutar arah lalu melajukan mobilnya. Tujuan satu-satunya yang Vanya miliki kini hanyalah tembok belakang sekolah. Kini Vanya telah tiba di tembok belakang sekolah itu. "Gue parkir di seberang jalan aja deh." gunam Vanya sambil menepikan mobilnya di seberang jalan itu. Dengan gerakan cepat, Vanya mulai menggendong tas ransel miliknya dan keluar dari mobilnya. Sebelum Vanya menjalankan aksi memanjat tembok tinggi itu, Vanya terlebih dahulu mengunci mobilnya dan memasukkan kunci mobil itu ke dalam saku kemeja sekolah miliknya. Sejenak Vanya menatap tembok besar dan yang menjulang tinggi di depannya. Hembusan nafas pasrah Vanya mulai terhembus, kini Vanya sudah meyakinkan dirinya untuk memanjat tembok itu. "Okey! Jalan satu-satunya untuk masuk ke sekolah sekarang adalah memanjat tembok tinggi ini. Seorang Revanya harus bisa melewati tembok ini, semangat Vanya!" ucap Vanya sambil bermonolog kepada dirinya sendiri untuk memberi semangat. Vanya mulai memanjat tembok itu, pertama-tama Vanya memanjat pohon yang tingginya hampir setara dengan tembok itu. Lalu langkah kedua Vanya mulai beranjak ke ranting pohon yang kokoh itu, dengan sangat hati-hati Vanya mulai meraih bagian atas tembok besar itu. Kini langkah terakhir Vanya hanyalah melompat ke bawah, dan dia sudah memasuki sekolahnya. "Satu, dua, tiga!" ucap Vanya seraya meloncat ke bawah. Bruk.. "Aww ... b****g gue sakit sialan! Aduh rok gue kotor lagi." ucap Vanya sambil beranjak berdiri dan menepuk-nepuk pelan rok bagian belakangnya untuk membersihkan sedikit noda yang ada. "Untung aja gue jago dalam hal manjat memanjat, kalau enggak pasti gue udah di jemur di lapangan yang panas kayak gurun pasir itu." gunam Vanya. Beberapa saat kemudian, Vanya mulai melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kanannya itu. Waktu menunjukkan pukul delapan, itu artinya sekitar satu jam lagi jam istirahat tiba. "Sebentar lagi istirahat, gue ke rooftop aja deh sambil main game. Ngapain juga gue masuk, sebentar lagi juga bel istirahat." gunam Vanya sambil berjalan ke arah tangga yang menuju rooftop sekolahnya. Satu persatu anak tangga mulai Vanya lewati, kini Vanya sudah berada di rooftop sekolah SMA Garuda. Sekolah yang selama ini dia tempati dan menjadi saksi bisu hancurnya kehidupan Vanya dan keluarganya. Terpaan angin segar mulai menyapu wajah cantik Vanya, kaki jenjang milik Vanya mulai melangkah ke arah sofa lapuk yang berada di rooftop itu. Vanya mulai merebahkan dirinya di atas sofa lapuk itu, telinga Vanya sudah tersumpal oleh earphone berwarna biru miliknya. Tangan-tangan lentik Vanya pun sudah mulai menari-nari di atas handphone milik Vanya yang sedang memulai suatu video game. "Aduh tim gue b**o banget sih! Ayo dong lawan, lo bisa kalah kalau gitu b*****t!" umpat Vanya sambil terus memainkan game online itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD