2

2144 Words
Beberapa saat kemudian, Vanya mulai melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kanannya itu. Waktu menunjukkan pukul delapan, itu artinya sekitar satu jam lagi jam istirahat tiba. "Sebentar lagi istirahat, gue ke rooftop aja deh sambil main game. Ngapain juga gue masuk, sebentar lagi juga bel istirahat," gunam Vanya sambil berjalan ke arah tangga yang menuju rooftop sekolahnya. Satu persatu anak tangga mulai Vanya lewati, kini Vanya sudah berada di rooftop sekolah SMA Garuda. Sekolah yang selama ini dia tempati dan menjadi saksi bisu hancurnya kehidupan Vanya dan keluarganya. Terpaan angin segar mulai menyapu wajah cantik Vanya, kaki jenjang milik Vanya mulai melangkah ke arah sofa lapuk yang berada di rooftop itu. Vanya mulai merebahkan dirinya di atas sofa lapuk itu, telinga Vanya sudah tersumpal oleh earphone berwarna biru miliknya. Tangan-tangan lentik Vanya pun sudah mulai menari-nari di atas handphone milik Vanya yang sedang memulai suatu video game. "Aduh tim gue b**o banget sih! Ayo dong lawan, lo bisa kalah kalau gitu b*****t!" umpat Vanya sambil terus memainkan game online itu. Beberapa menit kemudian, handphone milik Vanya berdering. Menandakan ada satu panggilan telfon untuk Vanya. Vanya berdecak kesal, karena dia merasa terganggu saat memainkan game online kesayangannya itu. "Ini lagi si Regan ngapain sih pakai acara telfon-telfon gue segala! Gue lagi main game juga," gerutu Vanya sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Regan disana. Dengan cepat Vanya pun menggeser tombol hijau di handphonenya untuk menjawab telfon dari Regan. "Halo, apaan si Re? Gue lagi main ini, lo ganggu tau gak!" ucap Vanya dengan nada sebal. "Halo Van! Sorry-sorry gue gak tau kalau lo lagi main, gue cuma mau kabarin lo tentang tim basket sekolah kita," balas Regan dari seberang sana dengan nada panik. "Ada apa sih? Kok lo panik gitu sih? Kenapa?" tanya Vanya dengan nada penasaran. "Lo kenal Arvin kan? Tim gue yang sering banget bercanda sama lo di basecamp itu," balas Regan. Vanya menautkan kedua alisnya. "Kenal, kenapa dia?" "Dia di serang sama anak tim basket putra SMA Perwira!" balas Regan. "b*****t! Berani-beraninya mereka gangguin anak tim basket sekolah kita!" ucap Vanya dengan emosi yang menggebu. "Mereka nyerang kita Van, disaat gue lagi gak ada di basecamp. Ketua tim basket mereka yang nusuk Arvin. Sekarang Arvin ada di rumah sakit Cempaka, dia kekurangan banyak darah tadi," jelas Regan dengan nada menyesal. "Sialan! Nanti sore kita kumpul di basecamp. Dan lo, atur pertemuan kita dengan geng sampah itu!" titah Vanya dengan wajah yang sudah memerah padam. "Siap! Kita tunggu lo di basecamp nanti jam empat sore ya," balas Regan. "Cari tempat yang aman, sepi dan jauh dari jangkauan warga sekitar. Kalau bisa bawa dia ke basecamp kita. Kemungkinan kita akan ada aksi baku hantam nanti," ucap Vanya. "Iya Van, gue akan urus semuanya sekarang. Thanks udah mau bantuin gue," ucap Regan. "Ck, lo gak inget gue siapa? Gue gak akan segan-segan membalas perbuatan siapapun saat itu melukai seseorang yang sama sekali tidak bersalah," balas Vanya sambil berdecak kesal. "Hahaha, iya deh bad girl multi talentanya SMA Garuda mulai beraksi nih," ucap Regan dengan terkekeh kecil. Vanya memutar bola matanya jengah. "Lebay lo! Udah ya, gue mau lanjut main game lagi, gue game over nih gara-gara lo telfon gue tadi." "Eh, iya-iya maaf. Ya udah sana lanjut main lagi Ratu," ucap Regan. Vanya menyrengitkan dahinya. "Ratu apaan?" "Ratu biang onar SMA Garuda yang terkenal multi talenta dan kenakalannya," balas Regan sambil tertawa. "Bacot lo Re! Udah sana lo atur pertemuan kita nanti sore," ucap Vanya seraya memutuskan sambungan telfonnya dengan Regan. Setelah Vanya memutuskan sambungan telfon itu, hembusan angin di rooftop mulai berhembus kencang, membuat surai rambut indah milik Vanya yang tergerai seakan-akan menari-nari mengikuti arah angin. Vanya mulai merasakan udara di rooftop itu mulai dingin, Vanya pun memutuskan untuk pergi ke kantin. Vanya mulai beranjak meninggalkan rooftop itu, satu persatu anak tangga Vanya turuni. Dengan earphone yang masih terpasang di telinga dan sambil bersenandung kecil Vanya mulai berjalan. Tatapan mata Vanya tetaplah dingin, disepanjang koridor, tidak ada satupun yang berani menegur Vanya. Hingga pada langkah ke sekian, ada suara yang menegur Vanya. "Vanya!" panggil Dinda, sahabat karib Vanya. Seketika Vanya pun menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Dilihatnya sosok Dinda mulai menghampiri Vanya. "Lo kemana aja sih? Lo terlambat lagi kan pasti?" tanya Dinda dengan nafas yang sedikit terengah-engah karena dia berlari kecil untuk menghampiri Vanya. "Iya," balas Vanya singkat. "Lo mau ke kantin kan? Bareng yuk!" ajak Dinda. Vanya hanya mengangguk menanggapi Dinda, kini mereka sudah berjalan beriringan ke kantin. Disepanjang perjalanan menuju kantin, banyak sekali yang menyapa Dinda, baik sekadar berucap 'hai' ataupun hanya tersenyum saja. Wajar saja jika banyak yang menyapa Dinda, karena Dinda merupakan wakil ketua osis yang sangat ramah, baik hati dan kepintarannya tidak jauh beda dengan Vanya. Sikap Vanya dan Dinda memang berbanding terbalik, Dinda terkenal akan kedisiplinan dan keramahannya. Sementara Vanya terkenal akan perilaku bad girl dengan segudang prestasi tetapi sangat dingin dengan orang sekitarnya. Kini Vanya dan Dinda sudah sampai di kantin, suasana ricuh pun sudah mendominasi kantin itu. Banyak tatapan siswa dan siswi yang tertuju kepada Vanya dan Dinda yang baru saja memasuki kantin. Terdengar banyak sekali bisikan-bisikan yang dapat Vanya dan Dinda dengar. "Wih bad girl multi talenta kita sama wakil ketua osis kita dateng tuh!" ucap salah seorang siswa laki-laki. "Gila! Nambah cantik aja nih neng Vanya," goda salah satu siswa yang bernama Jamal. "Eh enak aja lo! Yang ada juga si neng Dinda tersayang yang bertambah cantik," protes siswa laki-laki yang bernama Ando yang sedang duduk di sebelah Jamal. Vanya dan Dinda tetap berjalan menuju tempat duduk di kantin itu tanpa menghiraukan celotehan-celotehan para siswa-siswi itu. Vanya dan Dinda pun duduk di bangku ujung kantin itu. "Lo mau makan apa Van? Biar sekalian gue pesenin," ucap Dinda sambil menatap Vanya. "Bakso aja, sama es jeruk," balas Vanya dengan jari tangan yang sudah menari-nari diatas handphone berlogo apel miliknya. "Okay, tunggu ya gue pesen dulu," ucap Dinda sambil beranjak pergi menuju penjual bakso. Vanya pun melanjutkan aktivitasnya untuk bermain game yang sempat terjeda tadi. Tidak berselang lama, Dinda pun datang membawa nampan yang berisi dua porsi bakso dan dua gelas es jeruk. Kini mereka pun makan bersama, tidak ada pembicaraan yang ada ketika mereka makan. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang sedang beradu di mangkok bakso mereka. "Van, lo nanti sore bisa temenin gue ke toko buku gak?" tanya Dinda sambil menyerutup es jeruknya. "Gak bisa, gue ada urusan. Next time aja," balas Vanya sambil menatap serius ke arah Dinda. Dinda menautkan kedua alisnya. "Urusan apa? Tumben banget lo yang turun tangan langsung, biasanya juga anak buah lo yang atasin. Bukan urusan cafe kan?" Vanya menggeleng singkat. "Bukan, ini urusan tim basket Regan." "Regan? Kenapa dia? Dia sakit?" tanya Dinda dengan berbondong-bondong. Vanya memutar bola matanya malas. "Ck, bukan. Si Arvin, anggota tim basket Regan dia di serang sama tim basket SMA Perwira." "Hah! Kok bisa sih? Terus gimana keadaan si Arvin?" tanya Dinda dengan ekspresi terkejut. "Dia di rumah sakit Cempaka, dia kekurangan darah karena luka tusukan itu," balas Vanya dengan tangan yang sudah terkepal diatas meja. "Astaga! Kasihan banget Arvin," ucap Dinda dengan raut wajah sendu. "Maka dari itu gue, Regan sama anak-anak lain mau balas perlakuan mereka nanti sore," balas Vanya dengan sorot mata yang menampilkan amarah. "Jadi? Lo nanti sore mau serang balik mereka? Lo yakin Van?" tanya Dinda dengan raut wajah khawatir. "Iya gue yakin, gue gak sudi kalau tim mereka berbuat hal yang membahayakan untuk SMA Garuda. Mereka harus terima balasannya, berani berbuat berani bertanggung jawab," balas Vanya dengan kedua tangan yang sudah terkepal kuat di atas meja. "Lo hati-hati ya Van, pokoknya lo harus pulang tanpa luka lecet sedikitpun!" titah Dinda. "Iya tenang aja," balas Vanya sambil mengulas senyuman tipis. Vanya senang saat Dinda sangat perhatian kepada dirinya, Dinda memang tidak pernah berubah. Dinda selalu perhatian kepada Vanya. Sore harinya ... Seorang gadis berparas cantik rupawan mulai memoleskan bedak tipis di kulit wajah putihnya itu. Setelah menyelesaikan polesan bedaknya, kini tangan gadis itu terulur untuk meraih satu lip tint berwarna merah. Dia hanya memoleskan sedikit saja lip tint di bibirnya agar tidak terlihat pucat. Gadis itu sudah siap dengan memakai setelan jaket kulit hitam dipadukan dengan celana jeans hitam. Dering ponsel miliknya mulai terdengar nyaring, dengan cepat dia mengangkat telfon itu. "Halo Van!" sapa Regan dari seberang sana. "Halo, kenapa Re?" tanya Vanya. "Lo udah on the way ke lokasi yang gue share location tadi?" tanya Regan. "Gue masih di rumah, sebentar lagi gue on the way," balas Vanya seraya meraih sling bag hitamnya di atas meja rias. "Okay, hati-hati di jalan! See you," ucap Regan. "Hm iya," balas Vanya dengan singkat lalu memutuskan sambungan telfon itu. Setelah memutuskan sambungan telfon itu, Vanya segera mengambil kunci mobil sports miliknya yang terletak di atas meja riasnya. Dengan langkah cepat, Vanya pun beranjak keluar dari kamarnya. Satu persatu anak tangga mulai Vanya turuni, Vanya langsung saja menuju ke pintu utama untuk keluar dari rumah mewah yang sangat sepi itu. Vanya mulai menaiki mobilnya yang terparkir rapi di halaman rumahnya, satpam yang berjaga di rumah Vanya pun segera bergegas membuka pintu gerbang untuk Vanya. Mobil Vanya mulai keluar dari halaman rumah Vanya, Vanya melajukan mobilnya ke arah gudang tua yang telah Regan share tadi via chat. Disepanjang perjalanan Vanya hanya bersenandung ria, seakan-akan tidak akan ada yang dia perbuat nanti. Lima belas menit kemudian, mobil Vanya mulai berbelok ke arah gudang tua yang menjadi tujuannya. Vanya segera memarkirkan mobilnya dengan rapi, Vanya bergegas turun dari mobilnya dan tidak lupa mengunci mobilnya. Langkah kaki Vanya mulai memasuki gudang itu, suara langkah kaki Vanya pun mulai terdengar memenuhi gudang itu. Kini Vanya sudah berada di hadapan Regan, serta anggota tim basket putra SMA Garuda lainnya. Tatapan mata Vanya jatuh kepada seorang remaja laki-laki yang sedang duduk di bangku kayu rapuh dengan kedua tangan dan kaki yang sudah diikat. "Siapa dia?" tanya Vanya dengan sorot mata dingin. "Dia Gavin, dia yang nusuk Arvin kemarin," balas Regan. "Oh, jadi ini pengecutnya?" tanya Vanya sambil tersenyum remeh menatap Gavin. "Lepasin gue! Gue gak ada urusannya sama lo!" ucap Gavin sambil berusaha melepaskan tali yang melilit tubuhnya itu. "Apa lo bilang? Gak ada urusannya sama gue? Lo lupa ingatan atau gimana hah!" balas Vanya seraya mencengkram kuat dagu milik Gavin. Gavin pun hanya diam membisu. Dia tau jika dia tetap melawan perkataan Vanya, mungkin hidupnya akan berakhir di gudang tua ini. "Kenapa diem? Gak berani lo sama gue?" tanya Vanya dengan berteriak. "Dasar pengecut!" lanjut Vanya dengan tatapan mata tajam yang menatap ke arah Gavin. "Gue gak pengecut!" elak Gavin. Vanya terkekeh. "Wow! Bagus ya, lo udah berani berteriak di hadapan gue." "Gue gak takut sama lo, bagi gue lo cuma perempuan lemah yang bersikap seolah sok jagoan!" seru Gavin dengan menatap ke arah Vanya yang berdiri di depannya. Bughh ... Bughh ... Dua pukulan Vanya berhasil mendarat mulus di wajah Gavin. Aliran darah segar dari hidung dan ujung bibir Gavin mulai mengalir. "Gimana? Masih lemah? Mau gue tambah lagi?" tanya Vanya sambil tersenyum sinis. "s**t!" umpat Gavin sambil menahan rasa perih di sudut bibir nya. "Lepasin dia!" titah Vanya kepada Regan dan anak tim basket lainnya. Regan dan anggota timnya itu segera melepaskan ikatan di tubuh Gavin. Dengan spontan, Gavin berdiri. "Mau lo apa sih?" tanya Gavin dengan nada tinggi. "Gue mau lo tanggung jawab atas p*********n lo ke temen gue Arvin," balas Vanya dengan nada tenang. Gavin berdecih. "Cih, beraninya keroyokan." Seketika emosi Vanya pun memuncak, dengan langkah panjangnya Vanya mulai mendekat ke arah Gavin lalu melayangkan tiga pukulan ke pipi mulus Gavin. Bughh ... Bughh ... Bughh ... "Ini pembalasan untuk lo saat lo berani-beraninya nusuk Arvin dan menyerang Arvin saat dia sendirian!" ucap Vanya sambil berjalan mundur beberapa langkah. Satu tendangan dari kaki panjang Vanya pun sudah mengenai perut Gavin. Seketika Gavin pun jatuh tersungkur ke lantai. Mulut Gavin mulai memuntahkan sedikit darah karena tendangan kuat dari Vanya tadi. "Dan ini balasan yang lo terima saat lo meremehkan kemampuan gue," ucap Vanya. "Gue peringatin sekali lagi, jangan pernah main-main sama siapapun yang berasal dari sekolah gue. Jangan sampai lo habis di tangan gue! Gue gak akan segan-segan untuk bermain kotor saat lo yang memulai terlebih dahulu," ucap Vanya sambil beranjak meninggalkan Gavin yang masih tersungkur di lantai. "Urus dia, bawa dia ke rumah sakit kalau perlu," titah Vanya kepada Regan dan timnya. "Siap Van!" jawab Regan dan timnya secara serempak. "Gue balik dulu," pamit Vanya sambil beranjak keluar dari gedung tua itu. Jangan pernah meragukan seorang wanita, dan jangan pernah menganggap jika wanita itu lemah. Engkau tidak akan pernah tau jika seorang wanita akan berubah menjadi seseorang yang sangat kuat saat dia berada di posisi terancam. Jangan remehkan wanita karena fisiknya tak sekuat lelaki, karena sesungguhnya wanita lebih kuat soal hati dan perasaan dari pada seorang pria.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD