Pertemuan Kedua

1002 Words
"Jika pertemuan pertama kamu beri nama kebetulan, lantas sebutan apa yang kamu berikan untuk pertemuan kedua kita?" *         Dewa berlari menuruni tangga untuk mencapai waktu tercepat sampai ke parkiran. Tidak tanggung-tanggung, dua anak tangga langsung dilangkahinya. Hanya benda yang ada di tangannya-lah yang menahan Dewa untuk tidak langsung melompat dari ketinggian tiga setengah meter itu. Waktunya tidak banyak, satu menit saja ia terlambat maka ucapkan selamat tinggal pada tender besar yang setengah mati telah ia usahakan.         "Wik!!" Teriakan itu terdengar bersamaan suara patahan dari miniatur sebuah resort yang Dewa buat sejak beberapa bulan yang lalu. Seolah tidak cukup dengan kehancuran dari kerja kerasnya tersebut, semesta masih membuat Dewa merasakan sakit kala tubuhnya ditimpa oleh sesuatu. Seseorang lebih tepatnya.         "Aduh."         Suara mengaduh itu membuat Dewa menyadari bahwa seseorang yang menimpanya adalah seorang wanita. Kemudian matanya tidak bisa untuk tidak terbelalak ketika mendapati seseorang yang minggu lalu menjadi sumber kekesalannya.         "Lo lagi?!" Dewa berteriak sebelum mendorong Dewi dari atas tubuhnya.         Antara tenaganya yang terlalu kuat atau perempuan itu yang terlalu lemah, Dewi terpelanting menghantam lantai. Membuat perempuan berambut cokelat sepunggung itu menjerit kesakitan.         “Wik, lo nggak papa?” Anye langsung berlari, berlutut di depan Dewi yang memegang sikutnya.         “Tangan gue patah.”         “Jangan bercanda,” sahut Anye kesal, tapi terselip kekhawatiran dalam suaranya.         “Mata lo buta?!” teriakan itu membuat keduanya terlonjak kaget, tapi Dewi langsung menatap Dewa garang.         “Otak lo nggak ada?!” balasnya berteriak. “Sadar nggak badan lo segede apa? Bisa kali nggak usah main banting-banting.”         Dewa menggertakkan giginya. Lalu menarik tangan Dewi kasar, membuat perempuan itu merintih sakit.         “Sakit,” erang Dewi.         “Tangannya baru kebentur lantai, lo bisa kan nggak usah kasar?” tanya Anye menghentikan pergerakan Dewa dari menyeret Dewi.         “Lo siapa?” tanya Dewa datar.         “Gue ….”         “Gue nggak peduli lo siapa, gue nggak ada urusan sama lo,” sela Dewa memotong perkataan Anye. Lalu Dewa kembali menyeret Dewi, sekali lagi hampir membuat Dewi terpelanting ke atas lantai yang keras karena dorongan Dewa yang terlalu kuat.         Tubuhnya yang terhuyung langsung membuat kepala Dewi bagaikan dihantam palu godam. Kedua matanya berkunang-kunang dan perutnya mual.         Sial.         Sebenarnya siapa manusia garang di depannya ini?         “Lo lihat itu?” bentak Dewa. “Belajar sampe kepala lo botak pun, lo nggak akan bisa buat yang kayak gitu,” ujar Dewa dengan nada tinggi.         Dewi melihat kayu-kayu stik es krim, korek api, tripleks, Styrofoam dan benda lainnya yang Dewi tidak pernah lihat sebelumnya. Masih dengan kebingungan yang begitu nyata, Dewi melihat kembali kepada Dewa yang sudah siap membunuhnya hanya dengan tatapan mata.         “Ke-rajinan tangan, Lo?” tanya Dewi terbata.         “Lo pikir gue anak TK?” Dewa kembali membentak. Tidak peduli bahwa kini lorong gedung kampus itu sudah dipenuhi oleh sekumpulan orang-orang yang penasaran. Sebagian terlihat kasihan kepada Dewi, termasuk Anye yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Melihat Dewa yang sangat enteng dalam membanting Dewi ke sana ke mari, membuat nyalinya menciut untuk membantu sahabatnya itu lebih lanjut.         Dewi menggeleng otomatis. Membuat Dewa semakin mendidih dan sudah akan menarik Dewi ketika tubuhnya ditahan dari belakang.         “Lo ngapain, Anjir?” Revo, sahabat Dewa menahan tubuh pria itu.         “Minggir, Lo,” ketus Dewa.         Revo mengabaikan pengusiran Dewa, sebaliknya ia malah menyeret sahabatnya itu menjauh dari kerumunan. Menciptakan protes yang tak tanggung-tanggung dari Dewa.         “Eh, t*i Kambing,” umpat Dewa. “Lo ngapain narik-narik gue ke sini?”         Revo melepaskan tangannya dari tangan Dewa. Baru sadar sepenuh bahwa cara ia menarik sahabatnya itu pergi persis sama dengan cara cowok menarik lengan kekasihnya.         “Lo sadar nggak sih kalo lo hampir ngebunuh itu cewek?”         “Gue nggak peduli,” kata Dewa.         Revo berdecak kesal. Sahabatnya yang satu ini memang tidak pernah meninggalkan kemarahan dari dalam dirinya. Apa saja mampu menyulut emosinya sampai ke ubun-ubun. Celakanya Dewa tidak pernah melihat jenis kelamin, ia akan menyamaratakan semua orang untuk melampiaskan kemarahannya.         “Minggir, Lo.” Dewa berkata ketus lagi, menyingkirkan Revo dari pintu mobilnya.         “Mau ke mana, Lo?” tanya Revo. “Kita masih ada kuliah.”         “Dan gue nggak peduli,” kata Dewa sebelum menutup pintu mobilnya.         Ketika mobil sport itu melaju kencang meninggalkan area parkiran, Revo hanya bisa menghela napas. Kenapa pula semesta menjadikan dirinya ditimpa kesialan karena harus terlahir sebagai sahabat Dewa Prasetyo.         Ck.         Dewa kemarahan adalah sebutan yang cocok untuk pria muda bertubuh tinggi tegap itu.         *         Sepeninggal Dewa, kerumunan mulai bubar seakan dikomandoi. Sementara Anye langsung mendekati Dewi, meneliti keadaan Dewi dari atas sampai bawah sebelum berkacak pinggang, bersiap ingin memarahi sahabatnya itu.         “Gue bilang juga apa?” tanya Anye galak. “Kalo jalan, itu mata dipake buat ngeliat jalan. Jangan celingak-celinguk nggak jelas.”         Dewi menatap pada bahan-bahan  yang sudah tidak berbetuk dan sangat berantakan itu. Mengabaikan Anye yang mengomelinya seperti seorang ibu. Ia menahan nyeri di sikutnya, lalu berjongkok dan mengambil bahan-bahan tersebut untuk dibawanya.         “Ini apa sih?” tanyanya.         “Lo nanya gue?” tanya Anye.         Dewi mengangguk.         “Menurut lo gue tahu?” Anye bertanya lagi dengan kejengkelan yang tidak ditutup-tutupi lagi.         Dewi menggeleng.         Anye mendengus. “Mau lo apain itu?”         Dewi melihat pada benda-benda yang dikumpulinnya, lalu mendongak untuk melihat Anye. “Nggak tau.”         “Ini punya sahabat gue,” sela seseorang yang membuat kedua gadis itu menolehkan kepalanya.         “Sori, Gue Revo,” ujar cowok dengan perawakan tinggi itu. “Lo nggak papa?” tanya Revo sambil menatap Dewi.         “It’s okay.”         “Gue aja yang bawa ini,” kata Revo sambil mengambil benda di tangan Dewi.         Dewi memberikan benda tersebut sembari bertanya, “Gue harus ganti berapa?”         Revo menatap Dewi lama, lalu mengangkat bahunya acuh. “Lo tanya ke orangnya langsung deh,” jawab Revo. “Tapi saran gue pura-pura nggak tau aja kalo lo nggak mau berhubungan lagi sama dia.”         Kemudian cowok itu pergi dari sana. Meninggalkan kerutan dalam pada dahi Dewi.         “Gue belum selesai sama lo,” kata Anye sambil menyeret Dewi untuk kembali ke kelas mereka.         *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD