Vanessa Gilbert

1592 Words
Gue terkenal. Sejak semalam aku memikirkannya. Apa yang membuat orang asing langsung mengenaliku tanpa bertemu sebelumnya? Apa dia membaca majalah bisnis? Setahuku, gambarku terpajang di sana bersama Papa, itu juga sudah dua tahun lalu, saat seorang wartawan memberitakan tentang siapa yang akan meneruskan perusahaan. “Lo bengong dari tadi lagi mikirin apa, sih, Kak? Utang negara juga bukan urusan lo, kan?” Rissa yang duduk di sampingku dan sedang membubuhkan bedak pada wajahnya yang manis itu menoleh. Ucapannya membuat Mas Abdi yang sedang memeriksa layar tabletnya terkikik. Pemuda dua puluh empat tahun itu sampai menoleh ke belakang. “Gue terkenal, ya, Ris?” Clarissa menyimpan bedaknya ke dalam tas. Dia memandangku lama. “Lo baru sadar?” Lalu dengkusannya terdengar jelas. Kini Mas Abdi tertawa. “Sampai orang asing tahu siapa gue gitu pada pertemuan pertama?” Rissa menoleh lagi. “Gue nih berharap banget lo segera lulus dan kuliah di luar negeri. Gue nggak mau sekampus sama lo. Orang cuma mengenal gue sebagai adiknya Orion Hartono. Halooo, gue juga punya nama. Kenapa harus selalu tentang lo, sih.” Rissa menggerutu. Bisa dibilang dia sedang merepet. Bukan gerutuan pelan. Mas Abdi rupanya sangat menikmati ini, dia masih terkikik. “Mas diem, deh.” Rissa melotot. Sejak dua tahun lalu, Mas Abdi dan Mbak Tina bertugas untuk menjaga kami. Mereka akan siap sedia melayani apa yang kami butuhkan. Memang kesannya menjadi dua anak sombong yang harus dikawal ke sekolah. Sayangnya itu keputusan mutlak Papa setelah beberapa tahun lalu Kak Fema hampir mengalami penculikan. Anak sulung Papa itu sekarang sedang kuliah di Paris. Dia ingin menjadi desainer, seperti Tante Marisa, adik Papa yang sekarang menetap di sana. Bungsu Hartono itu jarang pulang ke Indonesia kalau tidak ada hal mendesak. Dia bosan mendapatkan pertanyaan yang sama, kapan akan menikah? Bukan dari Oma dan Opa saja, tapi dari kelima kakaknya yang kesemuanya laki-laki. “Entar malam tante kesayangan lo pulang, tuh. Seharusnya gue nggak boleh bilang, karena dia mau bikin kejutan. Sayangnya pagi ini gue lagi jengkel.” Rissa melengos. Mas Abdi dan Mbak Tina yang duduk di depan langsung diam. Mereka berdua pura-pura sibuk. Mbak Tina yang duduk di belakang kemudi justru menyalakan radio supaya tidak terlalu sepi. “Lo jengkel kenapa memangnya?” “Lo, kan, tahu kalau gue takut sama jarum suntik. Kenapa gue harus diperiksa?” Rissa menghadap padaku. “Nanti malam kita akan makan malam keluarga. Jadi, sepulang sekolah nanti kalian harus bersiap.” Mas Abdi menoleh. Mbak Tina memelankan volume radio. Dia juga ikut menoleh sekilas. Kadang aku heran, kenapa selalu Mbak Tina yang menyetir. Jarang sekali Mas Abdi berada di belakang kemudi, kecuali kami berdua saja yang pergi. Laki-laki ini direkrut langsung oleh Papa dari kampusnya untuk menjadi asistenku. Dia selalu mengikutiku ke mana saja. Dia telah lolos melalui serangkaian tes yang diberikan oleh Papa. Meskipun selalu bersamaku, dia tercatat sebagai karyawan Adinusa, perusahaan yang Papa kelola. “Semua anggota keluarga?” Rissa melotot. Pasti dia sedang memikirkan akan memakai baju apa nanti malam. “Kenapa Mama nggak bilang, sih. Tau gitu kemarin kita hunting baju, Mbak.” Rengekan Rissa ditujukan pada Mbak Tina. Wanita awal tiga puluhan itu memang bertugas melayani Rissa setelah Kak Fema berangkat ke luar negeri. “Baju Mbak Rissa, kan, banyak.” Rissa cemberut. “Tapi mereka, kan, sudah melihat bajunya.” Aku bersandar pada punggung jog. Urusan perempuan dengan busana memang selalu memusingkan. “Tante Marisa, kan, pulang, kenapa nggak minta baju padanya saja.” Rissa menjerit dan langsung bertepuk tangan heboh. “Benar juga. Pasti Kak Fema juga sudah bawa baju.” Aku langsung duduk tegak. “Kak Fema juga pulang?” Rissa mengangguk. Dia tersenyum. Kenapa Kak Fema pulang di tengah semester begini? Ada apa? Pasti sesuatu yang besar telah terjadi. “Tante mau menikah, ya, Ris?” Clarissa berkedip. “Dia, kan, tante kesayangan lo. Emangnya dia nggak bilang apa-apa gitu kalau mau nikah?” Sejak dulu Rissa selalu cemburu akan kedekatanku dengan Tante Marisa. Rissa sering ngambek kalau waktuku akan didominasi oleh Tante saat dia berada di Indonesia. Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Aku dan Rissa segera melepas seatbelt. “Jangan lupa, nanti langsung pulang.” Mas Abdi mengingatkan lagi. Sebelum kami berdua membuka pintu. “Iya-iya, Mas.” Rissa cemberut lagi. Mobil langsung melaju begitu kami keluar. Di depan gerbang sekolah sudah banyak siswa lain yang baru turun dari mobil dan mulai berjalan. Gerbang sekolah ini cukup jauh dari area kelas. Kami harus berjalan setidaknya seratus meter untuk sampai ke pendopo utama. Pada sisi kanan dan kiri jalan terdapat jalur pedestrian yang dilengkapi dengan kanopi sehingga kami tidak kepanasan pun kehujanan. Aku dan Rissa berjalan di jalan tanpa pelindung. Matahari pagi tidak terlalu terik. Cukup bagus untuk kami. Itu yang sering Mama bilang saat kami berkumpul. “Memangnya ada apa, sampai Kak Fema pulang?” Aku rasa, Rissa pasti tahu sesuatu. Sebuah rahasia yang disembunyikan dariku. Mas Abdi jelas berusaha mengalihkan bahasan Rissa tadi. “Lo benaran nggak tahu, ya? Apa ini rahasia?” Rissa balas memandangku. Titik-titik air mulai muncul di dahinya. Dia pasti akan mengomel setelah ini, karena bedak yang beberapa waktu lalu dia bubuhkan tidak lagi rata. “Tentang?” “Mama dan Papa nggak bilang, sih, kalau gue nggak boleh bilang sama lo. Berarti bukan rahasia, kan?” Rissa justru balik bertanya. Kedua tangannya memegang tali tas ransel yang tidak terlalu besar. Sebenarnya apa yang dia bawa? “Mama dan Papa khusus nemuin lo di kamar, gitu?” Perasaanku semakin nggak enak. Rissa mengangguk. Aku mengingat-ngingat, pada tanggal-tanggal ini ada momen apa? Siapa yang akan ulang tahun, atau siapa yang akan membuat acara besar, semacam pernikahan begitu. Apa salah satu paman kami akan mantu? Tapi, apa hal semacam itu harus dirahasiakan? Apalagi dariku. Aku juga tidak sedang akan berulang tahun. “Lo nggak harus ngasih tahu gue kalau emang rahasia.” “Tapi gue juga merasa aneh tahu, kenapa lo nggak tahu.” Aku memandang Rissa. “Jadi gini, Mama bilang Chiki butuh donor sumsum tulang. Menurut dokter, saudara kandung akan lebih besar prosentasenya untuk cocok. Dibandingkan dengan orang tua. Untuk itu gue sama Kak Fema akan diperiksa. Kenapa lo nggak? Jangan-jangan lo benaran bukan anak Papa, Kak?” Rissa berbisik. Meskipun di depan dan belakang kami tidak ada orang, namun banyak anak yang berjalan di jalur pedestrian. “Gue juga merasa begitu, sih.” Aku tertawa sumbang. Sudah lama desas-desus itu aku dengar. Xavier Orion Hartono adalah anak haram Mahesa Hartono. Rissa pernah ngamuk saat mendengar itu. Dia menyiram air seorang cewek yang menyebarkan berita tersebut. Videonya sampai viral. Mama harus bekerja keras supaya berita tersebut reda. Bukan Mama, sih. Mbak Mega, asistennya, yang melakukan itu. “Kak. Lo seriusan percaya kalau bukan anak Mama dan Papa? Atau anak haram Papa?” Sudah lama aku berdamai dengan gosip tersebut. Aku memilih tidak peduli. Mama dan Papa pun tidak mengatakan apa-apa mengenai hal ini. Mereka bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. “Kalau benar, gimana?” Mengakuinya saja membuat dadaku sesak. Memang ada penjelasan lain? Kenapa hanya aku yang tidak akan diperiksa? Ini untuk Chikita. Mereka bisa berpura-pura, kan? “Lo tetap kakak gue.” Rissa cemberut. “Bukannya lo nggak suka dibilang adiknya Orion Hartono, ya?” “Bukan gitu.” Rissa memukul lenganku. Aku terkekeh. Kalau dipikir-pikir kenapa aku harus memikirkan ini? Seandainya Mama dan Papa bukan orang tuaku, mereka sudah memberikan yang terbaik untukku. Namaku bahkan tercatat sebagai penerus perusahaan. Bukan Kak Fema, bukan Clarissa, bukan juga Chikita, meskipun kami memiliki jumlah saham yang sama besarnya. “Lo suka petualangan?” Rissa menhentikan langkah. Binar matanya mengatakan dia sangat menyukai tantangan tersebut. “Kita cari tahu, siapa sebenarnya gue.” Binar itu langsung redup. “Gue takut itu kenyataan.” Retakan itu aku rasakan, pecah di d**a dan luruh sampai ke perut. Bahkan Rissa percaya itu nyata. Apa yang membuatku takut? Jika itu benar, aku hanya harus melupakannya. Jika salah, bukankah aku patut bersyukur? “Gue akan tetap menjadi kakak lo, Riss. Apa pun itu.” Rissa masih cemberut. Kami sudah sampai di pendopo utama. Pembicaraan ini memang harus diakhiri. Banyak siswa lain yang berjalan beriringan. Saat itulah aku melihat gadis yang kemarin merokok di yayasan. Dia berjalan sendiri melintasi lapangan. Langkahnya mantap dengan rambut yang bergoyang-goyang. Rambutnya yang panjang itu dia kucir satu. Pantas saja dia mengenalku. Dia sekolah di sini rupanya. “Lo naksir dia juga, Kak?” Aku menoleh pada Clarissa yang turut mengikuti arah pandangku. “Maksudnya juga?” “Lo nggak tahu kalau Kak Nathan suka sama tuh cewek? Kalian berteman akrab, kan?” Kening Rissa berkerut. Nathan memang salah satu temanku. Bukan teman akrab. Kami hanya saling sapa dan sering bertemu saat ada acara perusahaan. Sama sepertiku, dia juga akan mewarisi usaha ayahnya. Yang membuat dia istimewa, Rissa sudah menyukai cowok ini sejak pertama masuk SMA. Aku tidak berusaha turut campur. Karena yang sering terjadi di keluarga kami, pernikahan sudah diatur oleh orang-orang yang lebih tua. Kami menikahi orang yang masuk dalam kriteria mereka. Jadi, kenapa harus buang-buang waktu dengan bermain-main? “Siapa namanya?” “Lo benaran nggak tahu siapa dia?” Rissa melongo. “Kalau gue tahu, nggak bakalan juga gue nanya.” Rissa menepuk jidatnya. “Gue tahu, jodoh lo sudah disiapin Papa dan Mama. Selama belum diumumkan, lo boleh deket sama cewek lain. Lo bakalan nyesel nanti.” Rissa berbisik di telingaku. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, sehingga membentuk corong yang langsung dia tujukan ke telinga. “Siapa namanya?” Rissa mendengkus. “Vanessa. Vanessa Gilbert.” Jadi dia bernama Vanessa. Menarik. Apa dia akan merokok juga di sekolah? ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD