bc

ORION

book_age16+
64
FOLLOW
1K
READ
student
drama
serious
mystery
straight
male lead
realistic earth
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Bagi orang lain yang melihat, kehidupan Orion Hartono itu sempurna. Bagaimana tidak, dia merupakan putra Mahesa Hartono dan Pratiwi Tjandra yang memiliki kekayaan hingga puluhan triliun. Selain itu, dia juga sangat dimanjakan oleh tantenya yang betah melajang dan seorang desainer terkenal.

Sayangnya, tak semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah gemerlap hidupnya yang penuh dengan harta dan kasih sayang, Orion merasa kosong saat sadar dirinya bukan bagian dari keluarga tersebut.

Orion berusaha mencari tahu siapa orang tuanya. Dia tidak keberatan kehilangan semua yang dia miliki asalkan tahu, siapa dia sebenarnya.

Akankah Orion menemukan apa yang dia cari?

chap-preview
Free preview
Orion Hartono
Hari Minggu yang rencananya mau kugunakan untuk tidur seharian, karena cuaca di luar cukup panas, harus berakhir di sebuah aula yayasan kanker. Chiki mengetuk pintu kamarku sebelum matahari menyembul. Dia menyunggingkan senyum, sehingga kedua pipinya menampilkan dekik. Deretan giginya yang rapi dan putih terlihat manis dan pas di wajahnya yang mungil. Semakin hari postur tubuhnya semakin mengecil. Dia mulai tenggelam dalam sweater marun favoritnya yang kami beli setahun lalu. Kalau sudah begini aku tak bisa menolak apa pun yang akan dia minta. “Kak Eon nggak ada acara, kan, hari ini?” Sebuah prolog yang membuatku langsung tahu, dia akan memintaku untuk menemaninya hari ini. Itu bukan hal yang sulit. Chiki bukan anak yang akan meminta kita untuk bercerita atau mendengarkan semua ceritanya. Dia gadis paling tenang yang pernah kukenal. Dia hanya butuh ditemani. Tidak apa-apa jika aku tertidur di sampingnya saat dia membaca buku. Keheningan membuatnya bahagia. Dia hanya takut sendirian. Itu saja. “Nggak ada.” Aku membuka selimut dan melirik sekilas jam digital di atas nakas. Empat-lima-dua. Bahkan belum ada jam lima dan dia sudah terlihat rapi. Gadis kecil itu berjalan masuk. Dia membiarkan pintu kamarku terbuka. Celana leging membalut kaki Chiki yang terlihat lebih jenjang. Gadis itu tinggal tulang dan kulit saja. “Benaran nggak ada, kan, Kak?” Chiki duduk di kursi belajarku. Dia memutar posisinya hingga bisa tepat lurus menghadap padaku. Aku menguap dan menyugar rambut dengan kedua tangan. Sisa-sisa kantuk yang biasanya kubiarkan melekat sampai tengah hari, karena ini Minggu, harus segera kuusir pergi. Gadis kecilku membutuhkanku sekarang. Aku duduk bersila tepat di depannya dan mengusap pipi putih yang sekarang tidak gembil lagi. Chiki telah banyak kehilangan berat badan sejak dinyatakan sakit. “Nggak ada. Mau ke mana, sih?” Chiki tidak pernah keluar dari rumah. Dia juga berhenti sekolah. Pengobatan rutin membuatnya tidak punya waktu lagi untuk belajar. Fokus kami sekarang adalah mengusahakan gadis itu sembuh dan sehat seperti sedia kala. Tidak mengapa harus mengulang pelajaran tahun depan, atau tahun depannya lagi. Itu yang sering Mama katakan saat Chiki bertanya kapan bisa sekolah. Lagipula dia tidak boleh terlalu capek. Aktifitas fisik bisa berpengaruh pada kesehatannya. “Hari ini ada acara di yayasan.” Gadis itu tersenyum lagi. “Kami akan berkumpul.” Kami yang dia maksud adalah dia dan teman-temannya sesama penyintas kanker. Mereka anak-anak yang berjuang untuk melawan penyakit paling mematikan di dunia tersebut. Awalnya Chiki menolak bertemu orang lain saat dia harus mencukur semua rambut di kepala. Dia mengurung diri di kamar. Bahkan suster yang selama ini menjaganya pun tidak diizinkan masuk. Akhirnya Mama mencari solusi supaya putri bungsunya ini tidak merasa sendiri. Mama membawa Chiki ke yayasan. Di sana dia bertemu dengan teman seumuran, bahkan ada yang lebih kecil darinya. Sejak itu kepercayaan diri Chiki mulai tumbuh kembali. “Nggak pergi pacaran, kan?” Chiki terkikik. Aku mengusap pipinya lagi. “Kak Rissa mau pergi, ya?” Chiki mengangguk. Clarissa, adikku yang beda umur hanya setahun denganku memang punya jadwal untuk jalan bersama teman-temannya tiap akhir pekan. Mereka biasa berkumpul untuk perawatan di salon, belanja, atau nonton. Beberapa kali dia memintaku ikut. Saat sadar bahwa salah satu atau lebih tepatnya teman-temannya yang meminta itu, aku mulai kreatif membuat alasan untuk menolak. Jalan dengan cewek teman adik sendiri itu pasti aneh. “Jam berapa acaranya?” Aku harap bisa melanjutkan tidur walau sebentar. “Jam sembilan. Kata Mama jam delapan sudah harus siap.” Chiki beranjak. Dia mendekat padaku dan mencium sebelah pipiku sekilas. “Terima kasih, Kak Eon.” “Jangan lupa bilang sama Mas Abdi untuk bangunin Kakak.” Aku kembali menyelinap di bawah selimut. Chiki mengacungkan jempolnya dan dia keluar setelah menutup pintu. *** Aula Yayasan Pelita Hati, tempat Chiki mendapatkan pendampingan selama ini, lumayan ramai. Mama bilang, akan datang seorang penyanyi dan putranya yang merupakan aktor remaja terkenal. Mereka akan menghibur para penyintas kanker yang rata-rata harus bersahabat dengan rumah sakit. Hiburan tentu saja sangat dibutuhkan sebagai dukungan secara moril. Anak-anak ini harus bahagia dan melupakan sejenak derita yang mereka pikul di usia belia. Beberapa donatur tetap juga hadir. Mereka menempati kursi khusus sebagai tamu kehormatan. Mama seharusnya berada di sana. Namun, Mama memilih duduk bersama kami, di sebelah Chiki, dan bergabung dengan ibu-ibu lain yang menemani putra-putri mereka. “Chiki boleh foto bareng Kak Vanno, kan, Ma?” Mama tersenyum dan mengangguk. Aku memandang Mama. Siapa Vanno? Chiki langsung terkikik. Dia menepuk lenganku yang tersimpan di pangkuan. “Kak Vanno itu artis, Kak.” Oh, oke. Aku tidak pernah menonton acara televisi. “Itu mereka sudah datang.” Mama ikut tepuk tangan saat Chiki dengan semangat melakukan itu. Senyum Chiki yang lebar memang mudah menular. Aku turut tersenyum walau tidak tahu siapa yang sekarang berdiri di atas panggung. Mungkin itu yang bernama Vanno. Cakep. Pintar juga Chiki memilih idola. Ibu Vanno mulai bernyanyi. Beberapa anak dan orang tua yang hafal dengan lirik lagu tersebut mulai ikut bersenandung, tak terkecuali adik kecilku yang sejak tadi tidak berhenti tersenyum. “Kakak ke belakang dulu, ya?” Chiki menoleh dan langsung mengangguk, diikuti anggukan Mama setelahnya. Aku berjalan cepat ke belakang. Lama-lama duduk di sana aku bisa tertidur. Bukan jenis musik yang akan membuatku terjaga saat aku kekurangan waktu tidur seperti sekarang. Andai Chiki memberitahuku lebih cepat, aku takkan tenggelam dalam kegiatan melukis di studio hingga pagi. “Mau ke mana, Mas?” Mas Abdi yang siaga di luar bersama asisten Mama langsung berdiri saat aku melewati mereka. “Toilet.” Aku berbohong. Aku hanya ingin duduk sendiri di suatu tempat. Mas Abdi dan Mbak Mega mengangguk bersamaan. Aku segera mengikuti penunjuk arah menuju toilet. Sudah beberapa kali aku ke tempat ini, tentu saja dalam rangka menemani Chiki, sehingga tidak perlu diantar ke belakang. Lagipula aku takkan kesasar. Luas tanah dan bangunan ini tak lebih besar dari rumah kami. Tepat di sebelah toilet terdapat jalan kecil menuju lapangan. Tempat itu biasa digunakan untuk kegiatan outdoor. Dapat dipastikan hari ini lengang, karena semua orang berkumpul di aula. Pada sisi lain lapangan terdapat pohon ketapang kencana. Daunnya cukup lebat hingga aku bisa berteduh di bawahnya. Memejamkan mata sejenak di sana, kurasa tak masalah. Mas Abdi akan mencariku satu jam kemudian kalau aku tidak kembali ke aula. Lumayan. Sayangnya ada orang yang mencuri tempat persembunyianku. Seorang gadis yang menggunakan kedua lengannya untuk menopang tubuh, hingga posisinya membentuk kemiringan hampir 45 derajat. Ujung rambutnya dia biarkan menyentuh rumput. Warna cokelat terang yang terlihat memerah karena tersapu cahaya matahari. Dia memejamkan mata dengan satu tangan terselip sebatang rokok yang menyala. Dia merokok? Aku duduk di sampingnya dan dia berjengkit. Matanya yang memiliki iris cokelat terang langsung menatapku. Dia terpaku. Lama. Apa dia mengira sedang melihat hantu? “Nggak berkumpul di aula?” Aku memandang jemarinya yang terlihat luwes mengapit rokok. Kira-kira dia sakit apa? Apakah penderita kanker boleh menambahkan nikotin pada tubuhnya? “Gue nggak suka sama penyanyinya,” jawabnya enteng. Kini pandangannya lurus ke depan. Kedua kakinya yang tadi lurus kini bersila setelah dia duduk tegak. Dengan santai dia mengisap batang yang masih panjang tersebut dan mengembuskan asapnya secara perlahan. Dia sama sekali tidak merasa terganggu. “Lagunya?” Gadis yang kutaksir seusia denganku itu menggeleng. “Penyanyinya gue bilang.” Dia mengisap rokoknya lagi, kali ini lebih kuat. “Kirain lagunya. Gue dengar cukup enak.” Dia terkekeh. “Siapa yang sedang lo bohongi? Kalau benaran enak, lo nggak bakal kabur kemari.” Aku tersenyum sendiri. Benar juga. Siapa yang sedang ingin aku bohongi? “Siapa yang sakit?” Dia menoleh. Kedua alisnya yang tebal hampir bertaut. Bulu matanya yang lentik berkedip beberapa kali. Dia cantik. “Adik. Kenapa lo tidak berpikir kalau gue yang sakit?” Dia tersenyum. Mengisap batang rokoknya lagi. Hal ini membuatku berpikir, bahwa yang dia lakukan itu cukup menyenangkan. “Lo takkan mau duduk dekat gue kalau lo yang sakit.” Dia menggoyang tangannya yang memegang rokok. Aku mengangguk. Benar juga. Berarti kemungkinan besar dia juga sedang mengantar keluarga ke sini. “Lo nganter keluarga?” “Ya, nyokap dan adik gue.” Dia berkata seolah itu bukan sesuatu yang besar. Ibu dan adiknya sakit. Lalu, dia merokok di sini? “Kenapa?” Dia menoleh. Aku suka dengan sikapnya yang blak-blakan. “Nyokap lo tahu lo ngerokok gini?” Dia mengangguk. “Emang lo kira dari mana gue punya uang buat beli beginian.” Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan dia sodorkan padaku. “Mau?” Aku menggeleng cepat. Belum pernah sekali pun terpikir di benakku untuk mencoba benda ini. Apalagi begitu Chiki divonis menderita kanker. Aku tidak mau menjadi orang yang akan memperburuk kondisi Chiki dengan mencoba-coba untuk merokok. Lagipula Mas Abdi bisa mengomeliku panjang lebar jika aku gegabah. Dia lebih cerewet dari perawan yang sedang PMS. Kadang aku bingung, sebenarnya siapa yang berperan sebagai bos di sini? Dia apa aku? “Dia tidak apa-apa?” Seharusnya sebagai penderita kanker, ibunya tidak memfasilitasi seorang anak yang belum bekerja untuk merokok. Kurasa dia masih sekolah. Atau kuliahlah minimal. Dari penampilannya yang kasual, seperti remaja pada umumnya, tidak mungkin dia sudah bekerja. “Nyokap gue juga merokok kadang-kadang.” Dia terkikik. What? Penderita kanker dan merokok. Sungguh pemahaman yang aneh. “Lo mau tetap di sini? Nggak dicariin bodyguard lo memangnya?” Dia mematikan rokoknya yang masih separuh. “Bau rokok, kan, lo, jadinya.” Dia menarik lengan kaus yang kukenakan lalu dia dekatkan ke hidung. Hanya sebentar dia menunduk di sebelah lenganku, tapi aku bisa menghidu wangi shampoo dari rambutnya yang tergerai. Dia pantas menjadi bintang iklan pencuci rambut. “Lo tahu siapa gue?” Gadis itu berdiri. Dia menepuk-nepuk panta*nya sebentar, hingga beberapa rumput kering jatuh. “Orion Hartono, kan? Lo nggak sadar apa kalau lo sangat terkenal?” Dia pergi begitu saja. ***    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.4K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook