2

1480 Words
Liam's POV Rangga, Satria dan Azril tampak sibuk mondar-mandir menyiapkan baju, peralatan mandi, peralatan sholat, semua mereka tata rapi di dalam koper. Aku masih melongo dan bertanya-tanya, hendak dibawa kemana aku ini. "Udah selesai. Ayo kita berangkat." Azril melirikku. Aku masih bengong. "Ayo Liam, cepat berangkat. Tadi Freya WA, mereka udah berangkat." Rangga menarik tanganku. "Bentar, gue ambil kamera dulu." Sayang kalau pergi liburan gini nggak jepret spot-spot yang menarik. Kami menaiki mobil milik Rangga. Pak Asep, supir keluarga Rangga yang menyupir. Feelingku bakalan agak jauh karena Rangga meminta pak Asep untuk mengantar. Sepanjang perjalanan sesekali aku mengirim pesan WA pada Ami. Dia juga tak tahu tujuan perjalanan hari ini. Girl squad tidak memberi tahu. Bener-bener nih teman-temanku paling pinter kalau menyusun kejutan seperti ini. Sepanjang jalan teman-temanku tak henti-hentinya bercerita tentang apa saja, mulai dari sepakbola, basket, musik, film, sampai masalah cewek dan guru-guru di sekolah juga ikut diperbincangkan. Aku malah mengantuk. Kupejamkan mataku sembari menikmati suara deru kendaraan yang berlalu-lalang. *** "Liam bangun.." Tepukan tangan membuatku terkesiap. "Udah sampai," ujar Rangga. Aku menilik keluar kaca jendela. Tempat ini bagus sekali viewnya. Seperti sedang melihat permadani hijau yang menghampar. Teman-temanku membawaku ke sebuah villa yang dikelilingi kebun teh. Udaranya begitu bersih dan mulai kurasakan dingin menyergap, menembus sampai tulang rusuk. Ami dan girl squad sudah tiba di sana. Melihatnya sekarang, rasanya kok kangen sekali, seolah sudah berbulan-bulan tak bertemu. Aku tersenyum lebar dan mendekat padanya. "Amii..." "Liam, gue seneng banget diajak ke kebun teh. Padahal tadi pagi sempet ngajak lo kesini ya." Senyum Ami begitu mengembang. Aku mengelus pipinya. Kerinduan ini serasa ingin diluapkan saat itu juga. "Eit sabar Liam, masih siang. Nunggu ntar deh setelah kita selesai beres-beres." Seringai Azril meledekku. Aku jadi malu sendiri. Teman-teman semua memindahkan baju-baju yang ada di koper ke lemari. Mereka sempat berfoto-foto sejenak, makan dan minum dari makanan yang sudah disediakan di villa. Villa ini milik papanya Aluna. Teman-teman memang sudah merencanakan memberikan kado liburan untukku dan Ami beberapa hari sebelum pernikahan kami. "Ami, Liam, di kulkas udah ada stok buah dan sayur. Ami kan suka masak, nanti bisa deh masak buat suami tercinta." Ucap Aluna, menekankan kata "suami tercinta" disusul tawa cekikikan oleh yang lain. "Kalau nanti butuh apa-apa, aku tadi udah kirim nomer penjaga villa ini ya. Misal malas masak, bisa minta tolong ama uwa Kokom, tadi aku udah kirim nomernya juga. Pokoknya kalian manfaatkan waktu yang singkat ini untuk honeymoon. Kalau mau nonton film, udah ada DVDnya, tinggal setel aja. Selamat bersenang-senang ya, kita mau pulang." Aluna tersenyum manis, teman-teman yang lain ikut tersenyum. "Makasih banyak ya semuanya. Gue jadi terharu juga disiapin liburan romantis kayak gini." Kutatap Rangga, Azril, Satria, Aluna, Freya, Sasha dan Angela satu per satu. Aku begitu beruntung dikelilingi sahabat-sahabat sebaik mereka. "Oya surat keterangan nikah udah dimasukkan juga ke tas Ami. Papa Aluna udah ngejelasin sih ke pengurus villa dan pak RT di kampung sekitar villa ini kalau kalian pasangan nikah muda, takutnya dikira pasangan pacaran yang belum nikah." Cecar Freya. "Iya peraturan menginap di villa ini untuk pasangan harus pasangan sah." Aluna menambahkan. "Ya udah guys, kita pulang yuk." Aluna memandang lepas ke arah teman-temannya. "Sekali lagi makasih ya semuanya. Ini kado pernikahan termanis untuk gue dan Liam," senyum Ami. "Udah santai aja. Selamat bersenang-senang ya Liam dan Ami." Rangga mengulas senyum. Kutatap dua mobil yang membawa mereka melaju ke luar halaman, lalu menderu melalui jalan dan berlalu dari pandanganku. Aku dan Ami saling bertatapan. "Masuk yuk. Udah sore, gue pingin mandi." Ucapku. Ami mengulas senyum dan mengangguk. Aku mandi terlebih dahulu, sedang Ami menonton televisi. Padahal pinginnya sih bisa mandi bareng, tapi Ami masih malu-malu kucing. Selesai aku mandi, gantian Ami mandi di kamar mandi yang letaknya di dalam kamar. Aku menunggunya sambil menonton tv. Aku suka villa ini. Minimalis tapi elegan. Ada ruang tengah, satu ruang kosong di sebelah ruang tengah yang agak luas, dapur, ada satu kamar besar beserta kamar mandi di dalamnya, ada tv dengan layar yang cukup besar, jendela di sebelah ruang kosong yang full dilapisi kaca dari atas hingga ke bawah, membuat penghuninya bisa menatap lepas panorama di luar jendela yang begitu indah. Kedua mata akan dimanjakan dengan hamparan perkebunan teh yang terlihat begitu menawan dan natural dengan d******i warna hijau. Villa ini terletak dekat dengan pemukiman warga yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pemerik teh dan bekerja di pabrik teh yang lokasinya tak jauh dari pemukiman. Ami begitu lama. Aku coba mengetuk pintu kamar. "Ami lo lama banget mandinya." "Bentar Liam..." "Buka pintunya Mi.." "Buka aja Liam, nggak dikunci," pekik Ami. Mataku terbelalak melihat Amber berdiri dengan terbalut selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Persis seperti kepompong. "Lo kedinginan? Kok pakai selimut tebel gitu?" "I..i..iya," jawabnya gelagapan. "Tapi lo nggak perlu pakai selimut kayak gini. Pakai sweater atau jaket cukup kan?" Kuamati selimut yang menutupi tubuh Ami. Rasa-rasanya ada sesuatu yang disembunyikan Ami. Mataku semakin membulat kala kulihat selimutnya sedikit tersingkap dan menampilkan paha mulus Ami. What? Aku makin penasaran pakaian apa yang sedang dikenakan Ami sekarang. "Ami ada tikuusss di bawah.." Aku pura-pura kaget, setengah berteriak sambil menunjuk ke lantai bawah. Kenyataannya tidak ada tikus di sana. Ami terkesiap. Dia menjerit dan berjingkrak. Saat itulah selimut yang membungkus tubuhya terlepas, turun dan tergeletak di lantai. Wow, aku lihat Ami begitu seksi dengan dress super mini ala Ariana Grande. Ami tampak kikuk. Tangannya menutupi belahan dadanya yang modelnya lumayan rendah, lalu bergantian menutupi pahanya yang terekspos sedemikian menggoda. "Awww, ternyata lo mau kasih surprise ya Mi." Kutatap Ami dari ujung kepala sampai kaki. Oh damn, she is so hot. "Bukan gitu Liam.." Jawab Ami gelagapan. "Ah jangan berkelit. Gue tahu lo menginginkannya juga kan?" Aku berjalan mendekat kepadanya. Ami sedikit mundur, "enggak gitu Liam.." "Halah nggak usah pura-pura. Lo pasti pingin ngegoda gue kan? Nggak usah malu-malu, kita kan udah nikah." Aku berjalan lebih dekat lagi. Ami mundur dan tanpa harus kudorong dia sudah menghimpit tembok. "Ini nggak seperti yang lo bayangin." Aku sandarkan telapak tangan kiriku di tembok. Kutatap Ami yang terlihat kikuk, wajahnya memerah menandakan dia malu tapi mau. Ih Ami bikin aku tambah gemes. "Gue suka lihat lo pakai baju ini." "Fix temen-temen ngerjain gue Liam. Di lemari cuma ada baju kayak gini doank. Mereka nggak bawain baju gue yang kayak biasanya. Ini mereka pasti dibela-belain beli baju kayak ginian." Tampang Ami terlihat begitu memelas, cemberut, kesal tapi juga malu. Aku melongo lalu tersenyum. Jujur aku suka sih dengan ide girl squad kali ini. "Tapi baju ini cocok buat lo. Lo seksi banget Mi." Aku berbisik lirih. "Gue malu Liam. Gue pakai baju lo ya. Dingin." "Kalau dingin, gue yang angetin. Mau gue peluk?" Ami terdiam. Aku langsung memeluknya. Bisa kurasakan degup jantung Ami terdengar begitu cepat dan kencang. "Ini pertama kalinya kita pelukan lho Ami. Moment romantis kita cuma saat lo meluk pinggang gue waktu kita boncengan plus kalo gue main dorong-dorong lo di koridor berhantu." Ujarku masih sambil memeluknya, erat. Pinggang Ami begitu ramping. Ami membalas pelukanku. Rasanya kok nyess banget ya. Hangat, romantis.. Aku pegang kedua pipi Ami, "ntar gue cari koper lo. Kayaknya anak-anak sengaja ngumpetin. Tapi sebelum itu gue pingin..." Mata kami saling beradu. "Gue pingin kita nuntasin ciuman kita yang waktu itu batal." Ujarku sambil terus menatapnya. "Gimana caranya?" Desis Ami. "Lo merem, pokoknya dihayati. Bibir lo jangan ngatup terus, agak dibuka dikit, kayak di film-film." Ami memejamkan matanya. Sepertinya dia begitu kuat memejam. "Meremnya jangan kuat-kuat, yang rileks aja. Kayak pas lagi yoga di teater Mi, dibikin santai." Ujarku. Ami mengangguk pelan. Aduh, aku jadi deg-degan gini. Kuhirup napas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Kudekatkan wajahku padanya. Kufokuskan pikiranku hanya terpusat di bibirnya yang merona. Kukecup bibirnya sebelum akhirnya bibir kami saling berpagut, semakin lama semakin dalam. Tanganku mulai menjelajah menyusuri punggungnya, tapi buru-buru diturunkan oleh tangan Ami, sementara kami masih terus berciuman. Sepertinya Ami tak ingin tanganku ini bergerilya menjelajah tiap lekuk tubuhnya. Kami menyudahi ciuman kami dengan debaran jantung yang tak menentu, napas tersengal dan memburu. Kami saling menatap dan tersenyum. "Kalau yang ini namanya benar-benar ciuman, bukan ciuman paksa apalagi pencurian." Ami tertawa. "Lo kok bisa ya Mber? Apa lo latihan dulu?" Ledekku. Ami tertawa lagi, "latihan gimana? Gue ngikutin insting Liam." Aku tersenyum. Kugigit bibir bawahku. "Kenapa tadi lo nyingkirin tangan gue?" "It will lead us to do something more Liam. Belum saatnya..." Ucapnya lirih. Aku sedikit mundur. "Bahaya kalau deket-deket lo terus Mi. Mana gue jadi tegang. Tanggung bentar lagi Maghrib. Romantisannya kita lanjut abis Isya ya. Sekarang gue cari dulu koper lo." Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Aku coba mengintip di balik kolong ranjang. Terlihat sesuatu benda yang membelalakan mataku. Sepertinya ini koper Ami. Aku tarik kopernya. "Wah itu dia koperku." Mata Ami berbinar. Aku tersenyum padanya, "ya udah gue tunggu di luar ya. Lo ganti baju aja dulu." Amber tersenyum. Aku keluar dari kamar. Kuraba bibirku dan senyum ini tak lepas menghiasi wajahku, "akhirnya gue dapet muach yang real dari Ami."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD