3

1801 Words
Liam's POV Malam ini aku sholat Maghrib dan Isya di Masjid yang lokasinya dekat dengan villa. Senakal-nakalnya aku dulu, aku berprinsip, sholat jangan sampai ketinggalan. Papa selalu kasih contoh bahwa laki-laki Muslim wajib hukumnya sholat berjamaah di Masjid. Aku suka villa ini karena lokasinya cukup strategis, dekat dengan Masjid dan pemukiman. Lumayan juga banyak jamaah yang datang. Sedang Ami sholat di villa. Bersosialisasi dengan warga lokal itu cukup menyenangkan. Mereka ramah dan tak sungkan untuk menyapa. Nama papanya Aluna sudah dikenal warga dan mereka tahu aku dan Ami pasangan pengantin baru yang sedang liburan di villa milik papa Aluna. Saat kembali ke villa, Ami sudah menyiapkan makanan di meja. Ada ayam bakar, lalapan dan sop. Wuih, begini ya rasanya punya istri. Suami pulang dari Masjid, sang istri menyiapkan makanan dan menyambut kepulangan suami dengan senyum yang begitu meneduhkan. Yang jomblo pasti gigit jari nih... "Wah enak banget, ini lo yang masak?" Kuamati menu yang begitu menggugah selera itu. "Bukan Liqm, ini uwa Kokom yang nganterin. Dia disuruh papanya Alana buat masak menu untuk kita. Tapi besok pagi gue udah minta uwa Kokom buat nggak usah nyiapin sarapan, coz besok gue yang bikin sarapan buat lo." Ucap Ami sambil menata piring. "Sip deh, masakan lo pasti enak Mi. Oya Lo udah sholat?" Kuamati Ami yang mengenakan sweater warna putih dan celana panjang. Malam ini rasanya lebih dingin dari sore tadi, pakaian panjang bisa membantu menghangatkan. "Udah tadi. Sekarang kita makan yuk." Ajaknya sambil mengambil nasi dan meletakkannya di atas piring. "Ayo, gue juga udah laper." Suasana makan malam kali ini terasa sangat romantis. Memang minus candle light dan bukan di kapal pesiar atau restaurant mewah, tapi bagiku apapun suasananya, dimanapun tempatnya, selama ada Ami di dekatku, semua terasa romantis. Bisik angin yang bertiup pelan seakan menamparku, "masa sih? Kalau di tempat dekat comberan yang banyak nyamuknya, masih mau bilang romantis?"--szzzttt diem lo, gangguin aja. Kuamati Ami yang tengah melepaskan daging ayam dari tulang dengan tangannya. "Mi lo tahu nggak kenapa makan ayam, sambel dan lalapan enaknya pakai tangan? Nggak cuma ayam aja sih, berlaku untuk makanan lain juga yang nggak pakai kuah." Ami tampak berpikir dan memutar bola matanya, "ya karena enak aja." Aku tersenyum, "makan pakai tangan itu sesuai sunah Nabi Mi. Papa pernah bilang, kalau makan pakai tangan itu bisa ningkatin kinerja sistem pencernaan." Ami tampak serius mendengarkanku. "Jadi kalau kita makan pakai tangan. Otomatis kan cuci tangan dulu. Ini bisa membunuh bakteri jahat, sedang bakteri baik tetap tertinggal di tangan, ini baik untuk usus. Udah gitu kalau kita megang makanan pakai tangan kita, kita bisa merasakan panas dinginnya, kasar lembutnya, beda kan saat kita makan pakai sendok? Jadi bisa langsung kirim sinyal ke otak tentang kondisi makanan kita ini, otomatis sistem pencernaan kita lebih siap untuk menerima." Ami tersenyum, "penjelasan lo keren juga Liam." "Ini belum cukup. Ada lagi penjelasan yang bakal bikin lo lebih takjub. Lo kan anaknya dikit-dikit ilmiah, dikit-dikir science, otak lo cespleng kalau udah soal science. Nah makan pakai tangan ini berdasar riset bagus untuk mengikat pergerakan bakteri. Jadi di jari-jari dan telapak tangan manusia ada enzim namanya RNAse. Enzim ini akan mengikuti laju makanan sampai saluran pembuangan. Dia bisa mengikat pergerakan bakteri. Kalau pakai sendok nggak ada enzim yang bisa mengikat laju aktivitas bakteri." Ami bertepuk tangan, "ternyata suami gue pinter juga, alim pula. Nggak nyangka gue." Aku terkekeh, "gue kan udah pernah bilang ama lo, meski di luar gue kelihatan selengekan, tapi kalo di rumah gue alim." Kunaikkan alis mataku. "Ini pasti pengaruh dari cara didik ayah lo juga Liam. Soalnya aku lihat kalian deket banget. Dulu gue sempet baca WA lo ama papa lo, lo nggak segan bilang i miss you atau i love you di akhir pesan. Sedang gue, sekangen-kangennya gue ama papa, kok rasanya sungkan untuk sekedar bilang i miss you." Ami mengunyah sesuap nasi sambil menatapku. "Kuncinya kebiasaan Mi. Dari kecil gue kadang biasa jauhan ama papa. Tiap selesai telpon suka diakhiri i love you, i miss you. Ngungkapin rasa sayang kan nggak harus ama pasangan aja, ama orangtua juga." Ami tersenyum, "lo udah banyak dikasih contoh oleh papa lo gimana caranya jadi ayah yang baik. Gue yakin lo bisa jadi ayah yang baik." "Ya, kalau nanti kita punya anak, gue bakal berusaha jadi ayah yang baik buat anak-anak kita kelak." Kami saling bertatapan. Serasa dunia berhenti berputar sekian detik. Kalau dulu ada rasa bersalah setelah menatap Ami lekat-lekat karena aku sadar benar, aku baru saja melakukan zina mata, tapi sekarang beban perasaan bersalah seolah lepas semua. Kami sudah halal. Memandangnya selama apapun sudah tak ada lagi dosa. Ami masih terlihat sedikit kikuk dan tersipu. "Mi ada sisa nasi di bibir lo." Ami tersentak. Tangannya hendak menyapu sisa nasi itu, tapi segera aku tangkap. "Biar gue yang bersihin." Kudekatkan wajahku lebih dekat dengannya. Sang angin kembali menelusup melalui celah-celah ventilasi seakan berkata, "emang si Liam pinter banget nyari peluang."--berisik, ngiri aja lo.. Ami terlihat nervous. Aku juga sebenarnya masih dag dig dug seerrr gini ya. Padahal ini akan jadi ciuman kedua kami terhitung dari sejak kami menikah, dan jika ciuman paksa itu masuk hitungan, berarti ini akan jadi ciuman ketiga kami. Harusnya aku bisa lebih menata hatiku untuk tak terlalu gugup. Kulumat bibirnya bersamaan dengan sisa nasi itu. Sepertinya Ami sudah mulai jago memberi balasan. Kami berciuman sekian detik, berhenti dulu lalu mulai lagi, lalu... "Udah Liam takut keterusan." Ami melepas ciumannya dan menjauhkan wajahnya. Dia terlihat sedikit cemas. "Nanggung Mi, udah halal kok Mi. Lanjut di kamar yuk." Kukedipkan mataku. "Tuh kan udah dikasih ciuman, sekarang nglunjak minta yang lebih." Ami melengos. "Minta yang lebih gimana? Emang gue minta lebih?" Aku tersenyum genit padanya. "Lha tadi ngajak ke kamar." Ujarnya sambil mengerucutkan bibirnya. Membuatku semakin greget aja. "Emang kalau di kamar mau ngapain Mi?" Ami mencubit lenganku dengan gemas. Aku tertawa puas. Setelah makan kami duduk-duduk di ruang tengah sambil memilih-memilih film yang menarik. Semua covernya bergambar cukup sensual. Rupanya teman-temanku sengaja menyediakan film-film ini. "Haduh filmnya nggak ada yang bener Liam, ini mah semi bokep semua." Keluh Ami. "Mereka emang sengaja nyediain film beginian. Namanya juga honeymoon Mi." Aku tersenyum. "Gue kok ngantuk ya Liam. Tidur yuk." Amber menutup mulutnya dengan telapak tangannya dan menguap. "Ayuk," tukasku cepat. "Kita tidur sekamar?" Ami memicingkan matanya. "Lo tega ngebiarin gue tidur di sofa? Kan dingin." Kupasang tampang memelas. "Iya.. Iya.. Kita tidur sekamar." Balas Ami. Kami duduk di ujung ranjang dengan perasaan... Awkward??? Rasanya sulit untuk dijabarkan. Aku ini laki-laki normal, sekamar dengan seorang wanita yang sudah menjadi istriku tentu menguapkan serangkaian fantasi liar yang bermain di kepala. Kabar buruknya aku harus menahan diri, membunuh hasrat yang sedang memuncak karena kesepakatan kami di awal menikah. Tidak ada kontak fisik sebelum umur 20 tahun, kecuali ciuman dan pelukan itu masih boleh. Rasa-rasanya untuk memulai mencium dia lagi pun jadi pikir panjang dulu, takut aku jadi menginginkan lebih dan akhirnya melanggar kesepakatan kami. Sepertinya malam ini adalah malam pertama yang begitu berat untukku. Tiba-tiba smartphoneku berbunyi. Kuambil smartphone di atas meja. Ada WA dari Satria. "Liam udah buka kotak kecil di meja belum?" Kupandangi meja rias di kamar dan mencari kotak kecil itu. "WA dari siapa Liam? Tanya Ami. "Dari Satria, dia nanyain kotak di meja." Mataku tertumbuk pada kotak kecil di ujung kanan. Kuambil kotak itu lalu aku duduk kembali di sebelah Ami. "Kotak apa itu Liam?" Ami mengamati kotak di genggamanku lekat-lekat. "Nggak tahu. Coba ya kita buka. Apa isinya. Saat aku membuka ada satu kotak kemasan. Satu kotak kardus kecil bergambar laki-laki dan berempuan yang berpelukan. Saat k****a tulisan di kotak itu, aku menganga sekian detik. "Kondom?" Aku dan Ami saling berpandangan. Ada lipatan kertas kecil di dalamnya. Aku buka kertas itu dan kudapati tulisan, Barangkali Ami belum siap hamil, pakai ini Liam. Tahu cara makainya nggak? Googling aja. Gue juga nggak ngerti. Ini gue beli di apotik sambil nahan malu, sumpah nekat. Moga bermanfaat ya hehehe. Satria, Rangga, Azril Rasanya mau pingsan saat ini juga. Benar-benar deh kelakuan temen-temenku. Unpredictable. "Ih apaan ini.. Pokoknya nggak ada seks, nggak ada kondom-kondoman, gue belum siap." Cerocos Ami. "Ya elah yang mau pakai kondom siapa? Yang mau make-love siapa? Tenang aja gue nggak akan nglanggar kesepakatan kita." Aku tersenyum pada Ami yang masih cemberut. Kupandangi kemasan itu. "Gue penasaran, isinya kayak apa ya." Di dalamnya ada beberapa bungkus, aku ambil salah satunya. Ngapain ya mereka beli sebanyak ini. Percuma nggak akan terpakai. Aku buka salah satu bungkusnya. Kupegang yang namanya kondom itu. "Elastis Mi, kayak karet." Kusodorkan kondom yang baru aku buka di depan Ami. Ami menjerit, "ih apaan sih lo, Jauhkan benda itu dari gueeee...!!!" "Ya ampun biasa aja Mi. Masa lihat kayak ginian takut, gimana kalau lihat....." "Gue nggak takut, tapi gue geli ama benda-benda elastis." Ucap Ami sambil begidik seperti abis digigit ulat bulu. Huaaa... Malam yang benar-benar aneh. Kami berbaring tapi ada pembatas sebuah guling di tengah-tengah kami. "Ini daerah gue, lo jangan melanggar ya, jangan sampai nglewatin gulingnya." Ami tersenyum padaku. "Haduhh, gue nggak bisa ngelonin lo donk. Kayaknya cuma lo satu-satunya istri yang takut diperkosa ama suami sendiri." Ami tertawa ngakak. "Buat mencegah kita untuk melanggar kesepakatan Liam." Balasnya. "Sebelum merem, boleh nggak gue minta satu hal?" "Apa?" Ami mengernyitkan dahinya. Aku beranjak dan duduk. "Lo duduk deh berhadapan ama gue." Ami bangun dan duduk menghadapku. Kupegang kedua pipinya. Kudaratkan kecupan di keningnya, "cintaku..." Bisikku. Lalu kukecup satu mata kanannya, "sayangku..", lanjut aku kecup mata kirinya, "manisku.." Selanjutnya kukecup pipi kanannya, "pujaanku..", kuteruskan mengecup pipi kirinya, "belahan jiwaku." Terakhir kukecup bibirnya dan kami sempat saling memagut singkat, "wanita penggodaku..." Ujarku setelah kami melepas ciuman kami yang ke...... Lupa ke berapa, tadi pas makan malam nggak aku itung ciuman berapa kali. "Kok w*************a sih?" Ami protes. "Iya, lo menggoda banget suer, bikin gue cenut-cenut..." Ami tersenyum dan pipinya bersemu merah. "Liam..." "Ya Mi.." "Lo nggak kecewa kan?" Ami menatapku dengan binaran mata yang begitu bening. "Kecewa kenapa?" "Karena kesepakatan kita." Aku tersenyum, "nggak apa-apa Mi. Dipikir-pikir gue juga belum siap." "Ya, kita masih 17. Tulang kita masih bisa memanjang ampe umur 20an, itu dari artikel yang gue baca. Mungkin untuk perempuan bisa stop di bawah umur itu. Seenggaknya kasih kesempatan buat tubuh kita untuk menyelesaikan masa pertumbuhannya." "Iya gue ngerti Mi. Lo tenang aja, gue nggak marah atau kecewa." "Dan satu lagi Liam. Ini bukan soal gue belum siap hamil atau gimana, mungkin ini lebih ke psikis. Namanya seks itu nggak cuma nurutin kebutuhan biologis atau nafsu kita, tapi butuh juga kesiapan mental, psikis. To be honest, i'm not ready to lose my virginity." Aku tersenyum dan menggenggam tangan Ami erat, "and I love you more than just my desire to have s*x with you. Gue sayang lo, ada atau nggak ada kontak fisik diantara kita. Lo tenang aja, gue bisa memahami perasaan lo." Amitersenyum. Kukecup keningnya sekali. "Have a nice dream my wife."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD