Liam's POV
Adzan subuh berkumandang merdu. Kukerjapkan mataku. Kulirik Ami masih terlelap dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dadanya. Kubisikkan lembut di telinganya, "Ami sayang.. Udah adzan, bangun subuhan dulu."
Ami menggeliat. Aku suka melihat wajahnya saat baru bangun tidur. Katanya, kecantikan alami seorang wanita itu akan tampak saat bangun dari tidurnya.
Ami membuka matanya perlahan. Dia melirikku lalu spontan menjerit, "aahhh... Liam kenapa lo di sini?" Dia terlihat kaget setengah mati.
"Ami, lo pasti lupa, kita udah nikah dan sekarang kita lagi liburan."
Ami mengucek matanya, "astaghfirullah maaf Liam, kalau bangun tidur suka mendadak amnesia hehe."
Aku tersenyum, "gue ke kamar mandi dulu ya, mau siap-siap subuhan ke Masjid. Lo juga siap-siap."
Ami mengangguk dan tersenyum, "iya Liam."
Setelah sikat gigi, bersih-bersih, aku memilih baju koko yang kemarin sudah dipersiapkan Rangga. Rangga itu paling pengertian dan tahu banget kebutuhanku, makanya waktu packing kemarin dia menyiapkan barang-barang keperluanku cukup detail.
Ami masih duduk di ranjangnya. Saat aku membuka baju piyamaku, mata Ami terbelalak.
"Lo kenapa Mi? Kagum ama body suami sendiri?" Tanyaku sambil menyeringai.
"Tatto lo yang dulu gue lihat di ruang ganti kok nggak ada? Oalah ternyata cuma tatto temporer atau jangan-jangan lukisan henna."
Aku tertawa, "yang dulu itu Rangga yang gambar. Tujuannya buat menggertak lo, biar keren di mata lo. Nggak mungkin gue tattoan Mi, bisa disetrap ama papa kalau ampe bikin tatto."
"Gue lebih seneng lo tanpa tatto. Lebih keren."
Aku tersenyum sekali lagi padanya.
Jumlah jamaah sholat subuh pagi ini cukup banyak. Aku suka dengan nuansa religi yang kental di kampung ini. Aku jadi berangan jika nanti aku dan Ami diberi kesempatan untuk menua bersama, mungkin aku ingin tinggal di kampung ini bersamanya, menghabiskan masa tua di tempat yang sejuk dan indah, sounds so romantic.
Saat aku pulang ke villa, aku melihat Ami tengah memasak. Tak kusia-siakan kesempatan untuk merekamnya. Rencananya mau aku upload di youtube.
"Ami bisa nggak lo akting jadi chef yang lagi syuting buat acara memasak?"
Ami melirikku, dia sedang sibuk mengiris bawang.
"Nanti mau dimasukin ke youtubemu ya? Gue udah okey belum?"
"Oke banget lah. Lo selalu keren. Ini bakal jadi content menarik Mi. Mereka sering banget ngraguin lo sebagai cewek sejati. Mereka nggak tahu kalo lo pinter masak." Kuarahkan video recorder ini padanya.
"Hai hari ini aku mau masak nasi goreng buat sarapan. Bumbu yang dipakai itu simple, ada bawang merah, bawang putih, garam, kecap, cabai karena aku suka pedes, Liam kayaknya nggak begitu suka sih, jadi aku bikin nggak pedes-pedes amat."
Aku shoot bumbu-bumbunya lebih dekat, lalu kembali merekam Ami yang sudah siap menumis bumbunya dan menggoreng nasi. Aroma kelezatannya sudah tercium dan menggoda.
Selesai memasak Ami meletakkan sebuah lunch box di hadapanku. Tumben dia menata nasinya di kotak bekal. Saat aku melihat penampakannya, ternyata dia menghias nasi goreng yang ia masak dalam bentuk bento.
"Waw, bentonya lucu banget Ami." Aku tersenyum lebar.
"Lo suka nggak?" Ami tersenyum merekah.
"Suka banget. Unyu-unyu kayak yang bikin." Ucapku.
Ami tersenyum lagi, "mau gue bikinin teh nggak? Teh asli sini, kualitas ekspor lho. Gue baru tahu teh yang premium di sini tuh bentuknya kayak serbuk, lebih lembut dibanding teh tubruk. Kalau teh tubruk itu kan bentuknya besar-besar, kadang ada batangnya juga."
"Oh itu, gue sempet ngobrol ama jamaah abis sholat tadi. Kalau teh tubruk itu sisa-sisa dari daun dan batang yang nggak terpakai. Termasuk teh celup juga bukan yang kualitas ekspor. Untuk yang grade premium diekspor ke luar negeri, yang dijual kebanyakan di pasaran itu yang gradenya rendah, bukan kualitas ekspor so harganya lebih murah dan lebih menjangkau masyarakat kita. Kalau yang premium mahal. Miris nggak sih negara kita salah satu penghasil teh yang besar tapi masyarakatnya lebih banyak konsumsi teh yang sisaan atau yang gradenya menengah ke bawah?"
Ami tersenyum, "menyesuaikan daya beli masyarakat kita sih Liam. Daya belinya masih rendah. Ya udah gue bikinin dulu ya."
Ami mendekat
ke lemari kecil yang menempel di dinding di atas meja dapur. Dia ambil sebuah toples yang berisi teh.
"Lo suka manis nggak Liam? Biasanya butuh gula berapa sendok?"
"Nggak perlu manis-manis banget sih. Soalnya yang bikin udah manis."
"Ah lo gombal mah." Amber senyum-senyum, dia pasti tersipu.
"Beneran kok, lo emang manis. Apalagi pas udah jadi istri gue, auranya lebih keluar."
Ami tertawa.
"Eh Mi, nasi gorengmu enak banget. Gue nggak nyangka ternyata lo pinter masak. Padahal dari casingnya kan kurang meyakinkan."
Aku dan Ami saling tertawa.
"Makanya don't judge book by its cover," seringainya.
Setelah sarapan, kami mandi dan beberes semua. Percayalah berada di sini, rasa malas mandi itu seakan mendominasi ruang di otak, seakan mengirim sinyal untuk terus menunda mandi karena dingin. Tapi alhamdulillah ada air hangat jadi bisa mengurangi dingin. Waktu beres-beres tadi, aku ikut bantu nyuci piring. Kata papa, seorang suami harus siap berbagi tugas dengan istri termasuk mengerjakan pekerjaan domestik rumahtangga. Seorang suami yang mau membantu mengerjakan pekerjaan rumahtangga sama sekali nggak membuatnya turun wibawa, tapi akan terlihat semakin keren dan ganteng di mata istri.
Kami putuskan untuk berjalan-jalan menyusuri kebun teh yang lebih tinggi di ujung jalan. Butuh beberapa menit untuk sampai di sana. Udara yang bersih dan sejuk membuatku dan Ami seakan tak merasakan capek apapun saat berjalan menanjak. Kami berjalan di tengah hamparan teh dan sesekali mengabadikan kebersamaan kami dengan memfoto atau merekamnya.
Kami sempat berpapasan dengan para pemetik teh dan ngobrol-ngobrol dengan mereka. Tangan mereka begitu terampil dan cekatan memilah-milah pucuk teh yang dinamakan peko dan merupakan bagian dari daun teh dengan kualitas terbaik. Pucuk-pucuk teh yang telah mereka petik, mereka masukkan ke dalam keranjang yang bersandar dari punggungnya. Hasil petikan mereka nantinya akan disaring lagi, mana yang lolos dan memenuhi standar, mana yang tidak layak untuk pengolahan selanjutnya. Hasil petikan mereka ini nantinya akan ditimbang. Selama semingguan, hasil timbangan mereka akan diakumulasi untuk menentukan besar upah yang mereka terima.
Aku dan Ami sempat bergabung dengan mereka yang beristirahat untuk makan. Mereka belum sarapan di rumah dan baru makan setelah mereka memetik satu keranjang pucuk teh. Mereka membawa bekal masing-masing dan menghamparkannya di atas hamparan daun pisang. Ada yang membawa nasi, sayur kangkung, tempe tahu, bahkan ada yang membawa nasi jagung juga. Dengan ramah mereka mempersilakan kami untuk ikut makan.
"Ayo nak ikut makan bareng. Lauknya seadanya. Nggak enak kayak di kota." Ucap salah seorang ibu pemetik teh.
"Ini enak banget Bu, beneran. Ini pertama kali saya makan nasi jagung. Padahal tadi di villa udah sarapan, tapi nyicipin nasi jagung ini jadi pingin makan lagi." Ujar Ami dengan senyumnya yang selalu ramah.
"Iya bener Bu. Makan bareng-bareng seperti ini tuh moment yang mewah banget buat kami. Makanannya juga enak." Aku ikut bersuara dan begitu takjub dengan kekompakan dan kebersamaan para pemetik teh.
"Kirain neng sama aa nggak suka nasi jagung, soalnya kadang kami cuma mampu beli jagung dibanding beras. Beras lagi mahal neng." Ucap seorang ibu yang lain dan menurunkan gerimis di hatiku.
Moment ini benar-benar luar biasa untukku dan Ami. Kami ikut makan bersama dari atas hamparan daun pisang sembari belajar banyak hal dari kesederhanaan hidup. Wajah-wajah mereka terlihat bahagia dengan senyum yang selalu sumringah, menandakan rasa syukur yang senantiasa terucap meski hidup dalam keterbatasan.
Usai berbincang-bincang dengan para pemetik teh, aku dan Ami berjalan kembali menyusuri celah sempit diantara barisan tanaman teh. Sepanjang jalan, kami terus tertawa, bercanda, sungguh setiap waktu yang aku lalui dengannya selalu menjadi waktu terbaik dalam hidupku.
***
Aku dan Ami sudah berada di villa lagi. Kami duduk di ruang tengah sambil menonton tv dengan aroma khas dari seduhan teh yang hangat dan beberapa cemilan yang dibawakan girl squad.
Kutatap wajah serius Ami dari samping. Kadang aku masih tak percaya bahwa wanita tomboy yang dulu selalu mengacaukan hariku ini kini telah menyandang status sebagai istriku. Lebih dari itu, dia seperti bagian tulang rusukku yang lain. The other missing pieces of my heart.
Kami menikah muda karena sebuah insiden yang membuat orangtua kami tak bisa tenang membiarkan kami jalan bersama, sementara kami tak bisa berpisah karena kami benar-benar jatuh cinta dengan perasaan cinta yang begitu menggebu-gebu. Kenyataannya kami tak pernah melakukan sesuatu yang fatal, tapi ketakutan orangtua begitu besar. Mereka takut kami terjerumus ke hal yang lebih jauh. Dan menikahkan kami mereka anggap sebagai solusi terbaik untuk menghindarkan kami dari zina. Kami menghargai niat baik mereka dan menjalani pernikahan ini dengan kesepakatan bahwa kami tetap menjalani hari kami seperti saat sebelum menikah. Tinggal terpisah di rumah orangtua masing-masing, no s*x sebelum kami genap 20 tahun. Kadang orang berpikir ketika kami menikah muda itu artinya kami bebas melakukan apa saja termasuk melakukan hubungan seks dengan pasangan halal kita. Terdengar klise, tapi untuk usia semuda kami, menghadapi hal semacam ini itu butuh kesiapan mental dan psikis lahir batin. Yang paling lucu itu kala aku dengar selentingan kabar burung yang mengatakan Ami sudah hamil duluan. Aku hanya menyeringai dan tak perlu memusingkan anggapan miring orang lain yang tak tahu bagaimana kami sesungguhnya.
Ami balas menatapku. Dia mengulas senyum. Tangan kami saling berpaut, menggenggam begitu erat, seakan mengalirkan cinta yang sedemikian kuat dari tiap celah kosong diantara jari-jari kami. Allah telah menciptakan jari-jari kami dengan bentuk yang begitu detail dan kurasa hanya jari-jari Ami yang sanggup mengisi celah kosong diantara jari-jariku.
Kubisikkan lirih di telinganya, "i love you"
5
Liam's POV
Rasanya baru saja aku melalui kebersamaan yang romantis bersama Ami, my beloved wife di area perkebunan teh yang sejuk dan indah, sekarang harus kembali ke sekolah, jalani hari lagi sebagai seorang siswa. Tak banyak yang tahu tentang pernikahan kami, hanya teman-teman terdekat dan beberapa guru saja. Kata papa, biar orang tahu sendiri karena papa takut aku dan Ami mendapat perlakuan bullying dan diskriminasi di sekolah. Padahal aku santai saja menjalani semua dan siap dengan segala konsekuensinya.
Saat ini aku dan Ami duduk di taman dengan dua buku fisika tebal yang membosankan terpampang di hadapan kami. Ami itu senang sekali belajar. Padahal ulangan Fisika masih dua hari lagi, tapi dia sudah mempersiapkan dari sekarang.
"Ami..."
"Ya Liam" jawabnya tanpa menolehku. Tangannya terus aktif menulis jawaban latihan soal.
"Tadi malam gue transfer via m-banking, udah masuk belum?"
Ami menghentikan aktivitasnya dan menolehku, "udah. Kok banyak banget Liam? Uang jajanku sebulan jauh lebih kecil dari itu."
Aku tersenyum, "sisanya bisa ditabung. Lo mau beli apapun kebutuhan lo sekarang minta ke gue, jangan ke mama papa lo terus. Gue udah punya kewajiban buat nafkahin lo. Nafkah lahir, catet ya nafkah lahir." Aku menekankan artikulasi "nafkah lahir".
Ami menatapku datar, "ya ya ya, nafkah batinnya nyusul."
Kami saling tertawa pada akhirnya.
"Semua yang gue kasih ke lo itu dari kantong gue, bukan dari papa gue. Inget itu. Sejak jadi selebgram dengan follower 2 juta lebih dan banjir endorse merangkap youtuber, gue sekarang mandiri, nggak bergantung ke papa soal finansial. Next gue punya rencana mau bisnis kaos ala distro, design sendiri, Rangga bisa diajak kerja bareng buat urusan design. Pokoknya target kita lulus, nikah resmi ke KUA, kita udah punya tempat tinggal sendiri. Ya entah itu ngontrak, nyewa, syukur-syukur bisa beli sendiri."
Ami menatapku lebih lama.
"Kenapa Mi? Lo keberatan dengan target yang pingin gue capai?"
"Sama sekali nggak. Gue seneng lihat hidup lo penuh visi misi positif. Gue bakalan dukung. Meski kalau soal fisika lo rada berantakan dan dari tadi lo cuma lihatin gue ngerjain soal, meski lo suka kebalik-balik ngapalin hukum Pascal, archimides, dan newton, meski lo suka lupa rumus-rumusnya, tapi soal visi hidup lo keren banget. Bener-bener deh suami idaman." Ami melayangkan senyum dan tatapan mautnya.
"Lo bilang tadi fisika gue berantakan? Weisss... Lo nggak tahu sih kalau gue serius belajar, nilai gue bakalan bagus kok. Coba sini gue lihat." Aku coba membuka buku fisika. Aku baca sejenak. Soal akademis aku akui, Ami lebih unggul dan aku sering tergantung padanya untuk mengajariku. Tapi soal ciuman, aku lebih jago. Belum lagi kalau udah bobo bareng, soal di ranjang, aku pasti lebih......---. Apaan sih. Pikiran lo jangan ngeres terus Liam. Otak dikondisikan, sekarang waktunya belajar bukan berfantasi---kata angin yang berhembus menyibak dedaunan yang bergelantungan di ranting.
"Mi, bedanya kelajuan rata-rata, kecepatan rata-rata dan percepatan rata-rata itu apa sih? Mirip-mirip perasaan ya rumus dan definisinya."
"Sebelum gue ngejelasin perbedaannya, sekarang gue nanya lo tau nggak perbedaan jarak dan perpindahan?"
Aku terdiam sejenak, "kalau jarak kan kayak kita ini. Gue duduk di bangku ini, lo duduk di bangku sebelah gue. Antara kita terbentang jarak. Nah kalo perpindahan berarti ada yang pindah, misal lo jalan ke bunga mawar itu, berarti lo pindah kan?"
Ami tersenyum, "gue ilustrasiin gini ya, gue jalan ke bunga mawar itu ya, gue A ya, bunga mawar itu B, terus dari B jalan lagi ke pohon cemara, sebut aja titik C. Misal dari A ke B jaraknya 3 km, jarak B ke C 4 km, berarti total jaraknya berapa?"
"Tujuh kilometer." Jawabku.
"Nah itu jarak, kalau perpindahannya?"
Aku mengerjapkan mataku dan berpikir sejenak.
"Biar gampang gue bikin gambarnya, liatin gambarnya ya Liam."
Ami mulai menyiapkan kertas kosong dan pulpen. Aku malah terkesima menatapnya.
"Lihat ini Liam."
"Liam..." Suara Ami naik beberapa oktaf dan mengagetkanku.
"Ya wanita penggodaku.." Sahutku masih setengah kaget.
"w*************a lagi.. Ngasih julukan yang manis dikit kek. Kayak Nabi Muhammad Salallahu alaihi wasalam kalau nyebut istrinya Aisyah Radiallahuanha dengan sebutan humaira, si pipi merah. Papa mertua kalau nyebut mama Herlina dengan sebutan my beautiful queen, Zulkifli nyebut Sasha eneng cantik atau pernah gue denger my sweety pie, nah lo nyebut gue wanita penggoda."
Aku tertawa, "w*************a khusus buat gue, bukan buat yang lain. Lo emang menggoda banget."
"Ih.. Dasar. Sekarang belajar lagi. Lihat gambar ini Liam."
"Iya, iya, jangan galak-galak. Pas udah jadi bini kok malah tambah galak? Yang kemarin-kemarin itu pencitraan ya?"
Ami melotot dan seolah siap menerkamku.
"Ampuuunnn bu bos. Iya sekarang gue fokus." Kulihat gambar Ami baik-baik. Kulirik Ami sedikit tersenyum.
"Nih perhatiin ya Liam Jarak tempuh itu adalah panjang lintasan yang ditempuh benda selama bergerak. Tadi kita udah dapet 7 km kan, dari hasil penjumlahan 3 km + 4 km. Sedang perpindahan itu adalah besarnya jarak yang diukur dari titik awal atau A tadi menuju titik akhir C, di gambar ini aku gambarin pakai garis putus-putus. Sekarang pertanyaannya berapa perpindahannya? Cara mencarinya seperti ini Liam.."
Aku mengangguk, "sip gue paham."
"Nah sekarang lo udah paham kan bedanya jarak dan perpindahan. Sekarang kita belajar tentang apa itu kelajuan, kecepatan, dan percepatan rata-rata."
Kami saling bertatapan. Dia sedikit grogi.
"Perasaan lo lihatin gue terus. Lo paham nggak sih?" Tanyanya.
"Paham Mi. Gue natap lo ya karena lo..... Cantik."
Ami tersenyum tipis, "perasaan lo dulu bilang gue ganteng, nggak ada cantik-cantiknya."
"Dulu gue belum tahu sisi wanita lo sih hehe."
"Udah ah kita lanjut lagi. Gue coba jelasin pengertian kelajuan, kecepatan dan percepatan rata-rata. Kelajuan rata-rata adalah jarak total dibagi waktu total, satuannya meter/detik. Kecepatan rata-rata itu perpindahan dibagi selang waktu. Jadi kelajuan adalah besaran skalar yaitu besaran yang hanya memiliki nilai sedangkan kecepatan adalah besaran vector, selain memiliki nilai juga memiliki arah. Sampai sini udah paham belum?"
"Ya terus..." Aku masih menyimak.
"Kalau percepatan rata-rata itu perubahan kecepatan dibagi selang waktu. Aku rangkumin rumusnya ya."
"Okey sip, lo itu guru privat plus-plus buat gue."
"Plus-plusnya apaan tuh?" Ami memicingkan matanya.
"Plus-plusnya maksudnya status lo yang udah jadi istri gue." Aku menyeringai
"Hai pengantin baru, romantis banget belajar bareng." Azril datang mengagetkanku. Rangga dan Satria menyusul di belakang.
"Iyalah belajar bareng, selain membangun cinta, kita juga membangun cita-cita." Tukasku mantap.
"Ciyeee.. Keren, jadi pengin cepet nikah gue." Ujar Satria.
"Eh itu Angela ama Kris kenapa kejar-kejaran gitu ya?" Azril menerawang ke arah koridor.
Kris mengejar Angela. Berulang kali Kris berusaha meraih tangan Angela tapi Angela selalu menangkis.
"Angela kenapa ya? Jangan-jangan ada masalah." Ami menatap sahabatnya yang berjalan begitu cepat, setengah berlari.
Author's POV
"Aku udah bilang, cewek-cewek yang ada di instagramnya Viola itu cuma temen-temen aku." Jelas Kris. Angela masih terdiam duduk di teras depan kelasnya.
"Temen kok posenya gitu ya? Nempel-nempel, udah gitu di tempat dugem pula. Ternyata bener kata L. Kamu nggak pernah berubah. Kamu masih aja clubbing, minum terus deket ama cewek-cewek." Wajah Angela tampak datar.
"Nggak secepat itu untuk berubah. Kalau kamu memang cinta aku, harusnya kamu bisa menerima apa adanya."
Angela menatap Kris tajam, "cinta itu bukan seperti itu. Cinta itu selalu menginginkan orang yang dicintai bisa lebih baik. Bukan cinta namanya kalau kita ngebiarin orang yang kita cintai nglakuin sesuatu yang salah. Aku ngingetin kamu soal ini karena semua itu demi kebaikan kamu sendiri."
Kris tercenung, "apa yang aku lakuin masih dibilang wajar kan? Apa salahnya dengan clubbing? Banyak kok temen-temen yang begitu? Dan soal kedekatan aku ama cewek-cewek, itu sebatas teman."
Angela memejamkan mata sejenak, "prinsip hidup kita beda jauh Kris. Nggak ada titik temunya. Aku asing dengan semua duniamu. Kamu juga asing dengan duniaku. Dan satu hal yang aku yakini sampai sekarang, kamu sepertinya nggak bener-bener serius ama aku, nggak bener-bener cinta ama aku."
Kris balik menatap Angela tajam, "kenapa kamu mikir kayak gitu? Kalau aku nggak beneran cinta ama kamu, kamu udah aku tinggalin dari dulu."
"Masalahnya selama jalan ama kamu, aku seperti mencintai sepihak. Kamu bilang cinta tapi kenyataannya kayak nggak.. Aku lebih banyak nahan kesel, lebih banyak nangis, sakit, cemburu terutama kalau liat postingan temen-temen cewekmu kalau kalian lagi clubbing bareng. Lebih banyak makan atinya dibanding senengnya." Angela menunduk. Intonasi suaranya terdengar pelan.
"Jadi kamu ingin bilang kalau aku lebih sering bikin kamu menderita dibanding senengnya?" Kris menatap Angela dan mencoba mengamati ekspresi wajah Angela dari sela-sela helaian rambutnya yang menutupi sebagian pipinya.
Angela mengangkat wajahnya dan menatap Kris dengan bulir yang mengkristal di ujung matanya.
"Aku ingin kita udahan aja. Mungkin aku memang bukan yang terbaik buat kamu karena aku nggak bisa melakukan apapun untuk bisa membuatmu lebih baik."
Kris menatap kedua bola mata itu dan seakan menyelami perasaan terdalam Angela. Kris bisa merasakan kepedihan di sana.
"Maafkan aku Kris. Kadang kita memang harus nglepasin orang yang kita sayang, karena kita tahu mungkin orang itu bisa lebih baik dan lebih bahagia bersama yang lain. Aku nggak bisa bertahan karena aku tahu, hati kamu nggak sepenuhnya mencintaiku. Dan aku dalam tahap yang sangat lelah karena harus berjuang sendiri." Angela mulai menitikkan air mata.
Kris tercekat tapi hanya mampu terdiam.
"Kadang orang bilang aku bodoh apalagi nangis untuk seseorang yang bahkan mungkin nggak pernah nganggep aku penting. Tapi aku nggak bisa kalau harus pura-pura kuat, nahan sekuat mungkin biar nggak nangis.. Karena itu aku pilih mundur. Makasih untuk semuanya Kris." Angela berbalik dan berlari.
Kris mematung dan untuk pertama kalinya hatinya terasa begitu berat melepaskan seorang perempuan pergi dari kehidupannya. Untuk pertama kali dia merasa ada sesuatu yang hilang...