Saya Hanya Pintar Bermain Kartu, Apalagi Judi!

2309 Words
Nenda tidak menyangka kalau resiko menahan cowok korban salah culik itu akan merepotkan seperti ini. Awalnya dia mencoba biasa saja. Lalu kenyataan menamparnya telak. Sesuatu yang awalnya dia kira akan berhasil padanya, dengan mengatasnamakan sebuah ketidaksengajaan kini mengantarkannya pada sebuah kesalahan. Sungguh, awalnya Nenda kira dia akan berhasil membuat Gita takluk padanya. Ketika dia diantarkan pada kesialan pun dia mencoba menerima. Dia punya kuasa penuh kalau memang harus berurusan dengan hukum. Dia sanggup menyewa pengacara kondang mahal untuk membebaskannya dari tuntutan. Dia biasa saja, tidak takut sama sekali. Kecuali soal ancamannya pada Gita. Dia akan membebaskan cowok ini asal Gita mau balikan dengannya. "Nenda, saya boleh minta tolong?" "Jangan sok akrab!" Nenda melotot tidak terima. Arbi melangkah cepat, mengabaikan teriakan Nenda sebelumnya. "Saya butuh kuas, palet, cat, dan juga tiga buah kanvas." "Heh!" Nenda melotot ganas. Arbi menghembuskan napasnya, lalu duduk dengan semena-mena di depan Nenda. "Kamu pikir aku orang tua kamu?!" keluh Nenda lagi. Arbi masih mencoba mengatur mimik wajahnya. Dia tidak boleh datar ketika meminta tolong. Jadi, dia mencoba untuk memasang mimik memohon. "Please..." Nenda terbatuk di tempat. "Apa-apaan, tuh?!" Wajah Arbi kembali datar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Perubahan mimik juga tidak berhasil. Dia harus membeli alat dan bahan lukis. Begitu lukisannya selesai, maka dia akan bisa menikmati masa liburannya di tempat ini. "Maaf, saya kelepasan." Arbi bangkit dengan kecewa, lalu kembali ke tempatnya berada. Nenda melongo tak percaya. Sungguh, apa yang sebenarnya ada di otak cowok aneh itu? Nenda mengernyit. Pantas saja orang menganggapnya aneh. Nenda merinding. Dia harus tinggal bersama dengan makhluk yang masih perlu diraba sifatnya. Itu artinya dia juga harus beradaptasi dan mengasuhnya. Kali ini sifat Nenda tidak bisa biasa lagi. Ketika langkah kakinya menapaki lorong villa besar miliknya, koki Nenda berlarian. Nenda curiga. Lantas karena yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres, maka cowok kaya raya itu menyusul sang koki. Matanya melotot sempurna. Membeku begitu saja. Di sana. Arbi sedang bermain-main di dapurnya. Bermain api. Benar-benar api dalam artian fisik. Dia membakar sesuatu. Arbi melotot, lalu berteriak kencang. "Kalian semua kenapa diam aja?!" Seisi dapur heboh. Arbi melongo, apalagi ketika korek di tangannya dirampas semena-mena. Nenda ngeri. Cowok aneh itu sedang bermain api di dekat tabung LPG. Dia... GILA! "Saya belum selesai memanggang," keluh Arbi, menggapai beberapa ikan yang sudah terpanggang – tidak, bentuknya sudah gosong dan menjijikkan. "Kamu gila?!" Nenda menarik lengannya kasar, menatapnya tajam. Arbi mengedikkan bahunya. "Saya lapar." "Mikir pake otak kalo mau ngapa-ngapain!!" Nenda sukses dilanda murka. Arbi mengerjap perlahan, lalu dia bungkam. "Saya memang sering dibilang gila." Nenda mengacak rambutnya gusar. Sudah! Cukup! Dia sudah tidak tahan dengan semua ini. Apalagi melihat raut Arbi yang sepertinya tidak merasa bersalah sama sekali. Cowok itu kembali menoleh dengan wajah mupeng. "Jadi, saya boleh pinjam piring?" Seisi dapur mendadak gemas setengah mati, meraung kencang karena batinnya seolah disiksa dengan berbagai kenyataan hidup yang tidak mengenakkan. Kenyataan paling ambigu sedang menghampiri mereka, dalam balutan si penghuni baru, yang entah bagaimana sekarang sudah menjelma jadi cowok absurd aneh nyeleneh dan selalu berkeliaran dengan bebas seolah sedang liburan. "Kamu!!" Nenda sudah siap meluapkan emosinya. "Ya?" Sayangnya Arbi tidak cukup tanggap untuk menganggap teriakan Nenda sebagai sebuah murka. "Jangan pernah deketin dapur!!" "Tapi saya lapar. Saya ingin memasak sendiri. Saya tidak menggaji koki anda, jadi saya harus membuat makanan saya sendiri." Absurd. No reason. See? "Kalian! Siapa yang berani mengizinkan dia masuk dapur, aku pecat kalian!" Kali ini kening Arbi berkedut. Dia melangkah cepat keluar dari dapur, mengabaikan pelototan Nenda untuknya. "Saya sudah di luar dapur." Saat itu Nenda tahu kalau cowok di depannya ini selain aneh juga... oon. Terlalu bodoh hingga menyebutkan kosakata itu. Dia bete mendadak. Ketika dilihatnya Arbi yang sudah melarikan diri kembali ke kamar "sekap"nya, Nenda memberikan petuah dan juga omelan pada koki dan juga asistennya. Mungkin, kesialan Nenda bukan hanya saat itu saja. Kali ini ada tragedi baru lagi. Cowok absurd itu kembali berulah. Nenda menjerit pagi-pagi ketika mendapati kolam renangnya sudah berubah jadi kolam angsa. "Ini apa-apaan?! Siapa yang bisa jelasin ini?!" Pembantu-pembantunya berkumpul mendadak dengan wajah takut. Mereka juga tidak tahu bagaimana bisa kolam renang milik majikannya berubah jadi kolam angsa. Terlebih lagi angsa yang berenang di atas kolam renang sang manjikan sangat kotor. "Ini pasti ulah cowok sinting itu!" Nenda bergerak cepat, sedikit berlari untuk menghampiri si pelaku. Beberapa hari ini kesabaran Nenda sudah diuji. Dia sering emosi karena ulah korban culiknya itu. Sifat kakunya berubah. Dia tidak lagi fokus pada dunianya sendiri. Sekarang dia terusik ketika seseorang dengan kebebalan yang luar biasa seperti sedang mengetuk pintunya. Mendobrak pintu itu, lalu masuk seenaknya. Ketika kakinya sudah masuk ke dalam kamar sekap Arbi, matanya melotot lebih lebar lagi. Arbi menghilang. Nenda bergerak gusar, bersiap berteriak pada anak buahnya. Namun matanya terpaku ketika melihat cowok itu sedang sibuk bermain di halaman belakang. Arbi, iya cowok itu sedang bermain dengan ayam dan juga unggas-unggas lainnya. Nenda curiga. Tidak mungkin ada ayam yang masuk ke dalam villanya. Nenda berlari kencang, mengabaikan rasa takut yang tampak di wajah para pembantunya. Ketika kakinya sampai di halaman belakang, dia menggeram emosi. "Siapa yang berani buka pintu belakang?!!" Harusnya Nenda tahu kalau pelakunya tidak jauh-jauh dari orang yang sedang mengerjap menatapnya dan terlihat menikmati hidup bersama ayam-ayam. *** Arbi disidang. Namun tetap saja percuma, karena Arbi tidak menganggap itu sebagai sidang. Dia hanya sedang duduk di depan Nenda, dengan raut datar seperti biasa. "Kenapa kamu berulah, heh?!" Arbi mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai. Lihat itu, Nenda! Sepertinya dia tidak merasa bersalah sedikit pun. "Apa salah saya? Saya tidak mengganggu hidup anda, Nenda." "Sialan! Nggak mengganggu?!" Arbi mengernyit. "Sebenarnya salah saya apa?" Nenda makin murka. Apalagi ketika melihat Arbi seolah sedang bermain-main dengan kalimatnya. Cowok itu tidak membawa baju ganti, jadi dia pinjam baju ke pembantu-pembantunya. Celana gombrong yang sudah dijepit dengan peniti, lalu kaos lusuh bertulisan "I Love You" yang terlihat norak itu dia pakai tanpa ngeri. "Yus!!" Nenda berteriak kencang, memanggil salah satu pengawalnya. Yusrizal keluar dengan wajah takut dan kaki tergopoh. "I... Iya tuan?" "Ikat dia! Jangan lepasin sampe dia sadar dan instrospeksi apa yang udah dia lakuin!" Arbi melongo, namun pasrah ketika lengan Yus mengamit kedua ketiaknya. Yus mengikat tubuh Arbi di kamar sekapnya, mengikatnya di kursi. Sebelum itu Yus sempat berpesan dengan wajah bersalah. "Maafin aku, ya Bi! Aku terpaksa." Arbi mengedikkan bahu. "Tidak masalah, saya maklum, kok!" Arbi menjawab santai. Perlahan Yus merinding. Kok ada ya orang diculik tapi santai begitu. Bukan hanya itu, cowok yang disebut tuannya sebagai cowok oon itu terlihat sangat menikmati masa penculikannya. Arbi diikat lagi. Dengan perut lapar seperti kemarin. Tapi dia senang. Dia hanya harus menahan lapar sebentar lagi. Namun dia tidak bisa masuk dapur. Kalau dia masuk dapur, maka koki akan dipecat. Arbi tidak ingin menyusahkan mereka. Ketika perutnya menjerit, bernyanyi dengan sebuah genre lagu – keroncongan namanya – pintu kamarnya terbuka. Seseorang masuk dengan sebuah piring di tangannya. "Mas?" "Ah, pak koki?" Arbi mengerjap. "Mas lapar, kan? Saya bawa makanan untuk mas. Tapi maaf, saya tidak bisa melepaskan ikatan mas." Arbi mengangguk pelan. "Tapi pak koki bisa menyuapi saya, kan?" Koki mengangguk mantap. Arbi disuapi. Dia mengunyah khidmad, seolah sedang menikmati hukuman sekaligus pelayanan itu. Koki terus menyuapi Arbi hingga nasi di piring itu tandas tak bersisa. "Mas udah kenyang?" "Iya, terima kasih ya pak koki!" "Saya punya nama, mas." "Saya tahu. Tapi saya lebih senang menyebutnya begitu." Koki itu tergelak geli. Lalu perlahan tatapannya berubah meredup. Dia merasa kasihan pada Arbi, namun dia tidak bisa melakukan sesuatu. Koki yang bernama pak Gito itu punya keluarga yang harus dihidupi, jadi dia tidak ingin dipecat dari tempat ini. Nenda sudah sangat baik memperlakukannya. Pak Gito pergi dari kamar Arbi, meninggalkan cowok itu dalam keadaan terikat. Arbi tersenyum dengan wajah miris. Ini pertama kalinya dia tersenyum di tempat ini. Atas kebaikan orang-orang yang belum dia kenal sebelumnya. *** Nenda bukannya orang jahat yang sanggup menyiksa seseorang lebih lama. Dia melepas ikatan Arbi setelah seharian. Arbi menjerit kencang ketika dia kebelet pipis. Dia berteriak hingga Nenda masuk ke kamarnya dengan mata melotot bengis. "Saya kebelet pipis. Saya bisa ngompol sekarang!" Nenda terpaksa melepaskannya dan tidak ada minat untuk mengikatnya lagi. Kini cowok absurd itu kembali dengan rutinitas sebelumnya. Bermain kartu bersama dengan pembantunya yang lain. Dia sudah menang banyak kemarin, sekarang lagi. Diam-diam Nenda penasaran. Arbi itu tipe orang yang sangat bodoh untuk merespon hal sekitarnya, sering tidak nyambung kalau diajak ngobrol, membenci angka, namun ketika dihadapkan pada kartu-kartu judi itu matanya berbinar. Meski dia tidak menampakkan ekspresi yang berarti, namun tetap saja Nenda mengakui kalau dia jago bermain kartu. "Sudah, mas! Saya nyerah." "Ini masih belum lama, pak." Arbi mengeluh. Mereka mundur teratur. Arbi selalu saja menjadi pemenang dalam permainan ini. "Mas Arbi ini selalu menang." "Ini hal yang saya bisa, pak! Saya bodoh kalau bahas pelajaran, tapi saya cukup ahli untuk main kartu. Mungkin saya bakat untuk judi." Mereka terus bermain kartu hingga sore. Namun hari itu bukan hari yang bagus untuk Nenda. Petir sedang menamparnya pada sebuah kenangan kelam di masa lalu. Petir dalam artian fisik, benar-benar petir. Dia punya pengalaman dan kenangan yang tidak mengenakkan dengan petir dan hujan. Dulu kedua orang tuanya ada dalam mobil ketika petir itu menyambar. Jalanan yang licin membuat mobil mereka mengalami kecelakaan. Mobil mereka menabrak pembatas jalan. Nenda mengetahui dengan pasti kejadian itu. Waktu itu ayahnya terkejut melihat petir dan kehilangan konsentrasinya hingga mobilnya menabrak. Hanya Nenda yang berhasil diselamatkan dalam kecelakaan waktu itu. Namun luka dan trauma masih jelas terlintas di otaknya. "Petir..." Pak Gito berdehem sekilas. Nenda sudah berlari kencang ke arah kamarnya yang kedap suara, namun sebelum dia sampai di kamarnya petir itu menyambar lagi. Spontan Nenda menunduk, berjongkok dengan kepala tertunduk di antara lutut. Pak Gito dan yang lain panik dan mencoba menghampirinya, namun Nenda menjerit kencang. Dia berontak dari orang-orang yang mencoba membantunya. Hanya Arbi yang melihat kejadian itu dengan ekspresi bengong. Dia tidak sepenuhnya bebal untuk ini. Arbi juga takut pada ketinggian, jadi dia paham bagaimana rasanya berhadapan dengan sesuatu yang ditakuti. Ketika para pembantu tidak mampu menolong Nenda yang sedang terguncang dengan tangis, maka cowok absurd itu melangkah ke arahnya. Berjongkok di depan Nenda dengan ekspresi datar. "Nenda, kamu takut petir?" Harusnya itu tidak perlu ditanyakan saat ini! Semua orang mendadak emosi dan juga kesal setengah mati. Nenda bereaksi sekilas. Kepalanya yang penuh dengan air mata dan dihiasi raut ketakutan itu mendongak. Rahangnya mengatup kencang, menatap wajah cowok oon yang bebalnya setengah mati itu. "Nggak tahu kenapa tiap kali lihat muka kamu, aku selalu mendadak emosi!" Lalu Nenda berdiri dengan tubuh gemetar, tertatih melangkah ke kamarnya seorang diri. Hanya Arbi dan pembantunya yang masih bengong di tempat. Nenda bisa melangkah ke kamarnya sendiri. Horee.....! *** Pasca kejadian kemarin itu membuat Nenda jadi labil. Dia selalu emosi tiap kali mengingat Arbi dan segala bentuk kepolosan atau keoonan yang sudah di atas normal itu. Nenda bangun keesokan harinya dengan kerusuhan yang masih terjadi. Ketika tangannya membuka pintu, kakinya berhenti. Arbi sudah duduk di depan pintu kamarnya, dengan kaki bersila. Nenda melotot ganas melihatnya. Tolong, jangan sekarang! Nenda sedang tidak ada nafsu untuk meladeni cowok absurd mencurigakan ini! "Ngapain kamu di sini?" "Saya ingin minta maaf." "Hah?! Buat apa?" "Karena saya tidak peka. Saya kira waktu itu Nenda hanya sedang terkejut. Saya malah bertanya apa kamu sedang takut." Arbi mengabaikan sapaan awalnya dari diksi 'anda' menjadi 'kamu'. Nenda malu setengah mati sekarang. Salah tingkah juga. "Maafkan saya, Nenda!" "Sana pergi!" Nenda dengan gamblang mengusir Arbi, namun cowok itu masih menggeleng kencang. "Nen...." "Jangan panggil namaku kayak gitu!" Nenda terusik. Arbi mengerjap. "Kenapa? Nenda terlalu panjang." "Nggak usah nanya! Lakuin aja!" Nenda malas menjelaskan pada cowok oon ini. Arbi mengangguk patuh. "Saya boleh minta sesuatu?" Ha! Sudah Nenda duga sebelumnya. Pasti cowok ini sedang ada maunya, karena itulah dia sengaja bersikap manis. Nenda menatap wajah Arbi dengan raut kesal. "Nggak!" "Nenda, tolong belikan saya alat lukis. Saya ingin melukis." Demi apa, Nenda sudah kesal setengah mati sekarang. Tidak ada lagi rasa sabar yang tersisa di hatinya, mengingat kalau cowok di depannya ini memang tidak pantas untuk diberi kesabaran. Nenda menatap Arbi gusar, dan dalam beberapa langkah dia mencengkeram lengan cowok mata sipit yang oon itu. "Jangan bertingkah di sini!!" teriaknya ganas. Hasilnya? Arbi hanya mengerjap, melongo, lalu kembali memasang wajah datarnya. Dia sempat tersenyum miris, namun pada akhirnya bibir tipis itu bersuara. "Saya tidak punya uang untuk membeli alat lukis, Nenda." Harusnya Arbi paham kalau bukan itu yang dimaksud Nenda! "Saya juga tidak akan diizinkan pergi dari sini." Arbi masih mengeluh. Harusnya Nenda sadar kalau dia sudah menculik cowok yang merepotkan! Semua ini gara-gara harga dirinya yang terlampau tinggi. Meski dia tidak merasa apapun ketika Gita memutuskannya. "Jadi, bisa saya pesan alat lukis beserta kanvasnya?" Nenda spontan menjitak kepala Arbi kencang. Arbi tidak mengaduh. Mungkin karena kepalanya sudah sekeras batu saking bodohnya. Arbi hanya menatap Nenda datar dan kemudian bicara dengan nada pelan. "Saya terinspirasi dari ketakutan kamu soal petir. Saya ingin membuat lukisan surealis soal trauma kamu." Nenda makin murka. Cowok ini memang tidak paham bahasa manusia, ya? Nenda tidak bisa menahan emosinya lagi, lantas berteriak kencang ke arah Arbi. "Jangan harap aku bakalan patuh sama perintah kamu!!" Setelah itu Nenda pergi meninggalkan Arbi yang masih bersila di depan kamarnya. Hari itu harusnya Nenda menyesali apa yang sudah dia katakan. Dia harus menyesal karena sudah menolak permintaan kecil seorang Arbi. Nenda tidak tahu kalau efek penolakannya akan jadi seperti ini. Tembok ruang tamu dan ruang keluarga penuh dengan coretan. Coretannya mencurigakan, entah dibuat dari bahan apa. Bahkan kalau Nenda tidak salah ada bagian lukisan aneh itu yang baunya seperti bau kari ayam, lalu lumpur dan juga bau daun-daunan. Nenda tahu kalau ini pasti ulah cowok absurd itu di samping kondisi kerenya. Nenda mendadak emosi! Murka memuncak dan membumbung hingga tak terelakkan lagi. Nenda sudah miris dan mencelos seketika. "Nenda, tolong belikan saya alat lukis!" Nenda berjanji kalau dia akan segera membelikan cowok absurd itu alat lukis! Yakin! TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD