2. Dating Someone

1331 Words
Langkah teratur sesuai dengan irama musik. Pinggul berlenggok, punggung berayun lembut dan lekuk tubuh terlihat semakin indah. Kilau keringat yang membasahi wajah, tapi tidak membuat mereka berhenti bergerak seirama. Seorang wanita dengan rambut potongan bob berwarna perak tampak seksama memperhatikan setiap gerak dan langkah para didikannya. Suara wanita itu tidak kalah dengan suara musik yang bersahutan di ruangan yang tidak terlalu besar itu. Dengan gigih dan sabar dia memberi arahan di antara riuh musik dan suara siswa yang berbincang. Musik berhenti, tepukan tangan riuh terdengar sekedar memberikan semangat bagi mereka yang baru saja selesai melakukan latihan itu. Para mahasiswa Fakultas Pendidikan Seni itu tengah berlatih untuk mengikuti festival kebudayaan yang akan diramaikan oleh beberapa Universitas lainnya. Bukan hanya mahasiswa Fakultas Seni saja, tetapi beberapa klub yang berhubungan dengan festival tersebut juga ikut meramaikan. Festival kebudayaan biasanya diadakan setiap akhir tahun menjelang pergantian tahun. Dan tahun ini pun akan sama. Kegiatan yang selalu ditunggu. Tahun lalu Freya datang bersama teman-temannya karena saat itu Sheila On 7 datang sebagai bintang tamu untuk mengisi acara. Siapa yang tidak tahu? Freya merupakan fans dari band papan atas tersebut. Sayang, Freya memiliki seorang kakak lelaki yang sangat protektif, sehingga sangat sulit baginya untuk bisa menonton konser atau datang ke festival-festival sejenis itu. Sekarang dia sudah menjadi mahasiswa Fakultas Seni di Bandung. Terlebih sang Kakak tidak lagi tinggal serumah dengannya karena memilih hijrah ke Australia, Freya jadi lebih bebas mengajak sahabatnya untuk menemani menikmati konser atau sekedar menonton festival kebudayaan. Gadis cantik itu mencintai tari tradisional sedari kecil, entah dari mana asalnya. Ayah dan Ibu sama sekali tidak memiliki darah seni, beruntung Freya memiliki orang tua yang selalu mendukung apapun cita-cita dan kegemarannya. “Eh, Fey.” Begitu biasa teman-temannya memanggil Freya. “Dengar-dengar lo kemarin ditembak Aditama, yah?” tanya gadis itu langsung duduk di dekat Freya dan Alin yang asyik membicarakan makanan dari kafe yang tadi malam mereka datangi. “Hah?” Freya terkejut tapi juga tidak menjawab. Alin juga diam. “Kenapa si nggak diterima aja? Aditama itu kan pintar, dia termasuk pria paling diinginkan dari Fakultas Ekonomi lo,” goda gadis lainnya yang ikut bergabung dengan mereka.  Freya menatap Alin. Sayang, Nanda tidak bersama mereka siang itu. Nanda sengaja bolos untuk merayakan hari jadi bersama kekasih tercinta. Sedangkan Bintang, baru saja keluar dipanggil oleh dosen mereka. Hanya ada Alin bersamanya. “Kabarnya dia udah nembak lo beberapa kali gitu, kan? Heboh tau!” tambah gadis itu. “Kalau kalian suka, kalian aja yang jadian sama dia!” Kalimat tajam dengan nada biasa saja. Mereka semua terdiam dan pamit menjauh. Freya terselamatkan lagi. “Lika …,” rengek Alin dan Freya serempak. Bintang Malika, mahasiswa Fakultas Seni yang juga merupakan incaran pria-pria di kampus. Cantik dan pintar, tapi Bintang terkenal dengan lidah setajam silet. Mungkin karena gadis itu selalu berbicara apa adanya. Bahkan Nanda yang keras kepala akan menyerah jika sudah berurusan atau bersenggolan pendapat dengan Bintang. Sedangkan Alin, perangainya mirip dengan Freya, penakut dan tidak berani menyuarakan keinginan mereka. Yang berbeda Alin adalah ratu kepo, semua informasi yang berkaitan dengan kehidupan percintaan kampus dan lainnya, dia akan menjadi orang yang pertama tahu dibanding dengan ketiga sahabatnya yang lain. “Gue antar lo balik dulu, ya,” ucap Bintang kepada Freya saat mereka sedang merapikan isi tas mereka dan bersiap pulang. “Eh jangan, bukannya lo masih ada les lagi? Arahnya kan beda, Ka,” balas Freya tampak tidak setuju dengan ajakan Bintang. Alin sudah lebih dulu pulang dengan terburu-buru, karena dijemput gebetan barunya. “Tapi, gue khawatir, Fey,” ucap Bintang dengan wajah yang benar-benar tampak tidak tenang itu. “Lo temanin gue sampe abang ojolnya jemput aja. Gimana?” tawar Freya kemudian. Bintang tampak setuju dan pasrah saja dengan pilihan sahabatnya itu. Tidak perlu lama menunggu, ojek online yang dipesan oleh Freya sudah sampai. Setelah Bintang melihatnya pergi dengan selamat dan aman barulah dia juga pergi meninggalkan kampus sore itu. Freya tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk ke kampus, padahal kedua orangtuanya menawarkan hal itu kepadanya. Tapi tampaknya dia lebih memilih naik ojek online atau nebeng bersama sahabatnya. Freya terlalu takut untuk belajar nyetir sendiri. “Kang, kita diikutin nggak sih?” teriak Freya melawan riuhnya suara kendaraan bermotor yang juga melaju di jalan yang dia tempuh. “Ah, sepertinya nggak, Neng,” ucap pengendara ojek itu tetap fokus menerjang belantara kendaraan yang saling mendahului seolah dikejar oleh waktu. Perasaan Freya tidak tenang, beberapa kali dia melihat ke belakang untuk memastikan dirinya tidak diikuti oleh siapa-siapa. Tentu saja Aditama menjadi tersangka utamanya. Pasalnya pria itu selalu membuntuti Freya pulang karena Freya menolak diantar olehnya. Setelah sampai dia buru-buru turun dan melepaskan helm yang dia pakai. Beruntung Ibunya berada di halaman depan sedang menyiram tanamannya. “Ibun,” pekiknya membuat wanita yang masih terlihat sangat cantik itu menoleh mencari asal keributan terjadi. Cepat dia meletakkan selang dan membuka pagar untuk putri bungsunya itu. Ibu tampak tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Kang ojol yang sudah mengantar putrinya. “Kenapa teriak-teriak sih, Fey?”  tanya Ibu penasaran. Freya tampak celingak-celinguk memperhatikan sekitar dan menarik lengan sang ibu untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah mereka. “Fey laper Bun, ayo cepet masuk,” ucapnya berbohong. Freya jelas tidak mau membuat khawatir kedua orang tuanya. Sejak tragedi yang terjadi di keluarga mereka beberapa tahun yang lalu. Kedua orang tuanya cepat merasa cemas dan gelisah jika menyangkut masalah anak-anak mereka. Freya hanya tidak ingin membuat keduanya khawatir, dan para sahabatnya mengerti. Itu lah mengapa mereka berupaya mencari cara agar Aditama segera menyerah terhadap perasaannya kepada Freya secepat mungkin. “Oh iya, tadi siang Kak Ares nelpon Ibun. Katanya mau pulang,” ucap wanita itu menyiapkan segera makanan untuk putrinya yang mengaku kelaparan itu. “Ih serius? Kok dia nggak ngabarin, Fey? Awas aja dia!” ucapnya kesal, tapi kemudian senyum-senyum karena mendengar kabar bahagia itu. “Lalu Bun, Kak Ares sendiri? Nggak bawa Charly?” tanyanya kemudian penasaran dan kegirangan. “Ya nggak mungkin Charly dibawa, sayang. Charly masih kecil, lagian kan Maminya kerja di sana,” ucap wanita itu tersenyum mendengar celetukan putrinya. Dia tahu bahwa putrinya itu sangat merindukan saudara laki-lakinya yang kini bekerja di Australia. “Nanti ya, kalau kerjaan Ayah sudah agak longgar, kita liburan ke sana buat ngeliat Charly dan Maminya, oke sayang?” ucap Ibu tersenyum cerah dan Freya pun mengangguk kencang. Keesokan paginya, kelas sudah riuh dengan bunga dan sebuah buku berpita yang diletakkan di meja Freya. Bukan lagi takut, wajah Freya lebih seperti lelah menghadapi kegilaan Adhitama yang semakin hari semakin terang-terangan. Membuat orang-orang di sekitar Freya berpikir dia adalah gadis berhati dingin yang tidak mau memberi kesempatan kepada Tama yang berusaha keras mengambil hatinya itu. Dia selalu mendapat pertanyaan, “Kenapa nggak di coba dulu sih, Fey?” atau sejenisnya. Sebenarnya jika dia tidak merasa dalam bahaya, mungkin dia akan mau mencoba kenal dengan Tama. Tapi karena Tama melakukan hal-hal yang membuat Freya takut akan keberadaannya itu membuatnya enggan mencoba, membayangkannya saja dia sudah bergidik ngeri. “Ya Ampun, lagi?” ucap Nanda dari balik punggung Freya yang masih membeku melihat mejanya itu. “Gue buang aja, ya?” tanya Nanda kemudian. Freya hanya mengangguk malas. Dia berjalan malas ke arah mejanya mendekati Bintang yang sudah duduk di tempatnya lebih dulu. “Gimana nih, Ka? Nggak ada rencana susulan apa? Ngomong sama Tama percuma banget tau. Sekarang malah makin gila dia,” rengek Freya lemah. “Ada kok!” dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Bintang berhasil membuat ketiga sahabatnya tertarik dan mulai mendekatkan diri mereka kepadanya. Secepat kilat Nanda membuang bunga dan buku berpita dari Tama itu, sebuah buku horor sepertinya. Pria itu sangat menyukai hal-hal mistis yang membuat Freya tambah tidak menyukainya. Ketiganya sudah duduk berkumpul dan mendekat. Mata mereka seolah berteriak agar Bintang secepatnya memberi tahu mereka rencananya. “Freya harus pacaran!” ucapnya singkat dan mampu membuat mata ketiganya seolah ingin meloncat keluar. “Freya pacaran? Apa tidak salah?” ucap Nanda masih dengan mata membulat tidak ingin percaya kalimat itu keluar dari seorang Bintang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD