Part 2

1526 Words
“Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” QS. An Najm : 38-39 ❤️❤️❤️ Setiap hari selama satu minggu, Talita merasakan Jesy menjauhinya, menghindari duduk berdua dengannya. Selalu seperti itu setiap pertengkaran mereka terjadi. Ia lebih suka begitu, dengan dunianya sendiri bukan dengan Jesy yang harus menambah rasa tertekan dalam dadanya. Talita berjalan ke tempat tidur, tempat ponselnya tergeletak dan berteriak. "Ada apa?" "Seperti biasa. Bawa baju ganti dan datang kemari. Aku akan mencampakkan seseorang lagi," jelas Rafael. Talita memainkan rambutnya. "Aku malas." "Kau perlu sedikit sensi sayang. Berhenti memikirkan calon suamimu yang patah hati itu, dan bersenang-senang bersamaku." Talita tidak menganggap seseorang itu calon suami, tapi Tuan, pemilik dirinya. "Di mana?" Talita segera mengganti pakaian. Ia pergi tanpa minta izin, hanya pemberitahuan tidak sopan. "Talita pergi Bu," teriaknya lalu menutup pintu. Talita mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal. Ia kembali berpikir tentang hidupnya. Sepasang kekasih sedang bergandengan tangan di terotoar, mereka tertawa dengan langkah pelan. Talita pikir ia tidak akan pernah seperti itu, karena hatinya yang mati dan karena calon pemiliknya yang mungkin juga tidak punya hati. Talita dulu pernah ingin seperti ibu dan ayahnya, mereka rukun dan bahagia. Tapi harapan itu sekarang mustahil baginya. Ia tidak bisa merasakan emosi dan ia tidak bisa memilih pasangannya sendiri. Talita sampai di tempat tujuan. Sebuah restoran baru berdiri indah di depannya. Nama restoran itu aneh, Survive. Ketika Talita membuka pintunya, ia tidak mendengar suara musik seperti restoran umumnya, tapi malah suara nasyid. Rafael melambaikan tangan, "Di sini." Talita mendekat, "Kau harusnya bersyukur punya sahabat sepertiku." "Duduklah. Tentu saja aku bersyukur. Alhamdulillah." "Kau akan membuat kesan buruk di tempat ini?" Rafael tersenyum, "Ini nuansa yang damai untuk seorang yang hatinya gerah." "Kenapa kau selalu mengajak korbanmu bertemu dan membawaku sebagai alasan putus?" Rafael menatapnya, "Karena aku mencintaimu. Berapa kali pertanyaan ini sudah kau tanyakan?" Talita membuang muka. Ia hanya ingin mendengar alasan lain yang lebih logis. "Ada alasan lain?" "Tidak ada." "Jadi, sahabat bagimu apa?" "Kau. Sahabat bagiku adalah kau. Dan cinta bagiku adalah kau. Hidup bagiku adalah kesenangan. Dan kau adalah hal paling menyenangkan dalam hidupku. Apa itu cukup jelas?" Talita menggeleng heran. Kenapa dirinya bersahabat dengan orang gila. Bagaimana ceritanya lima tahun Talita sanggup bersamanya. "Kau sahabatku, harusnya hidupmu menyenangkan sepertiku," kata Rafael lagi. Talita membuka mulut, tapi ia menutupnya lagi. Kali ini rambutnya benar-benar ditarik tanpa ampun. Ia mendongak terpaksa. "Jadi kau, calon istrinya?" tanya seorang wanita berambut pendek dengan warna pirang. Talita memejamkan mata sesaat. "Ini sakit, bisa tolong lepaskan?" "Sebagai seorang wanita aku menasihatimu, sebaiknya kau lebih waras untuk tidak menikahinya." Talita tersenyum geli. "Terimakasih. Aku juga ingin kau sadar betapa beruntung dirimu putus darinya." Wanita itu diam sesaat, lalu mengambil minuman Rafael dan menumpahkan ke wajah lelaki itu. "Sudah puas, sayang?" tanya Rafael dengan senyum mengejek. Wanita itu pergi, dan seorang wanita lagi menghampiri mereka. Rafael mengeringkan rambutnya dengan tisu. "Berapa?" tanya Talita masam. Ia bahkan belum sempat meredakan sakit barusan. "Hanya dua," jawab Rafael senang. "Apa dia wanita yang kau bandingkan denganku?!" tunjuknya menuding Talita. "Ya. Kau bisa lihat, dia lebih cantik darimu," jawab Rafael tanpa ragu, malah terkesan memprovokasi. Wanita itu menampar Rafael, lalu menarik kerah kemeja yang Talita kenakan. Talita tidak melawan, tapi ia terkejut saat bahan rayon itu sobek dan kancingnya terlepas. "Kau keterlaluan," kata Rafael berdiri sambil melepaskan tangan wanita itu dari Talita. "Kau merobek bajuku. Karena aku tidak bisa merobek bajumu, dia sebagi gantinya." Dia menarik rambut Talita, "Kau bisa merobek bajunya sebagai ganti bajumu." Talita tertawa saat wanita itu pergi. Ia merasa lucu sekali. Tidak ada wanita yang berterimakasih padanya karena telah menunjukkan sisi buruk Rafael. Rafael berdiri mengusap kepala Talita. Namun Talita cepat menyingkirkan tangan Rafael, sementara orang lain melihat mereka Talita tetap dengan tawanya. Tiba-tiba tawanya terhenti. Entah kenapa suara sebuah langkah terdengar begitu nyaring di telinganya. Seseorang mendekat, laki-laki. Talita menatap mata birunya yang sejernih dan setenang lautan lalu sebuah kain, pashmina melingkar di bahunya, menutup kaos dalam yang tadi dipamerkan mantan kekasih Rafael. "Aku minta maaf harus memaksa kalian keluar. Tempat ini dilarang untuk wanita tanpa hijab, dan untuk pasangan belum halal, kecuali dengan mahram." Talita masih menatapnya. Ekspresi datar itu dan kalimat tegasnya yang disampaikan dengan suara lembut. "Maaf. Kami akan pergi, urusan kami juga sudah selesai." Rafael tersenyum mengambil tangan Talita, "Kita pergi sayang." Talita patuh tanpa kesadaran. Ia baru saja bertemu Tuannya, lelaki bermata biru itu tampak tidak mengenali Talita. Talita melepaskan diri saat Rafael membuka pintu. Entah ia penasaran atau bodoh, kaki Talita menjauh dari pintu yang mungkin bisa menyelamatkannya. "Mau ke mana?" Talita tidak menjawab, ia kembali ke tempat duduk tadi. Di sana lelaki itu sedang merapikan kembali kursi dengan lap meja. Talita berdiri di sisinya. "Ada yang terlupakan?" tanyanya tanpa melihat Talita. Talita menatapnya, mendongakkan kepala sepenuhnya. "Kau melupakan... aku?" Dia tersenyum, membalas tatapan Talita. "Tentu tidak. Talita Barsinu, calon ibu anakku." ❤️❤️❤️ Jesy sedang menyisir rambut setelah dzuhur. Ia baru akan menikmati makan siang sendiriannya saat ponsel bunyi. Jesy meraihnya dan melihat layar menyala itu menampilkan nama seseorang. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. William pulang kemarin. Hari ini dia baru bisa ikut makan malam bersama kita. Apa kalian bisa datang?" Sambutan yang tak terduga. Jesy bimbang. Ia senang, tapi juga sedih. Ia bermaksud tersenyum, namun gurat syarafnya cukup tegang. "Aku akan menanyakan dulu kepada Talita. Kami tidak saling bicara setelah Mami pulang hari itu." "Begitu." Ada jeda sesaat, lalu helaan napas yang cukup panjang menyela, "Baiklah, kau bisa meneleponku kapan saja." "Aku akan membujuknya," janji Jesy kemudian. Jesy melepas ponsel. Ia menerawang sesaat. Pantulan wajahnya di cermin sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan, hanya letih dan letih. Bukankah ini keinginannya? Tapi kenapa rasanya berat untuk melepas Talita. Selama ini Jesy banyak tidak menyukai putrinya itu. Dulu, Justin selalu memihak Talita dan setelah suaminya itu meninggal, Talita membenci Justin hingga kini. Tidak ada banyak alasan bagi Jesy untuk menyukainya, tapi rasanya terlalu berat melepas Talita segera. Jesy segera menyelesaikan sisiran rambutnya kemudian menuju ruang makan dan menikmati tanpa selera masakkannya. Rasanya cukup menyesakkan, tanpa seseorang yang bersedia mengomentari masakan. "Bu..." Jesy terlonjak. "Ibu melamun?" Jesy menghela napas sesaat. Ia melihat wajah penasaran Talita. "Baru pulang?" Talita langsung duduk. "Bu, Talita tidak ingin berdebat. Kenapa Ibu membuat janji seperti itu? Kenapa harus Talita yang menanggung kesalahan Ayah?" Jesy diam. Ia memang salah, tapi ada yang lebih salah. Wanita itu. Kenapa dia bersama Justin hari itu. Kenapa ada CCTV yang memperlihatkan mereka bersama. Dan kenapa mereka berdua meninggal bersamaan. Justin berjanji akan hidup lama dan bahagia bersamanya, tapi dia meninggalkan Jesy dengan cara yang membuatnya terlihat buruk bagi siapapun. Bukankah itu cukup aneh? "Bu..." Jesy mengerjap pelan, wajah putrinya menekuk memohon. "Talita, kau tidak menanggung kesalahannya. Ayahmu tidak salah." "Lalu kenapa perjanjian aneh itu ada, dan Talita yang harus kena imbasnya?" Jesy diam. Sebelumnya Talita tidak pernah bertanya seperti ini. Kali ini Jesy harus mengakui kesalahannya untuk menjawab pertanyaan itu. "Itu bukan perjanjian. Itu taruhan." "Kenapa Talita?" Jesy menatap Talita. Kalau saja Allah menganugerahkan ada keturunan lain yang lahir dari rahimnya selain Talita, mungkinkah semuanya akan berbeda. "Siapa lagi keluarga Barsinu selain dirimu? Ibu tidak mungkin menikah dengan William demi mengganti anaknya." Kini Talita yang diam. Dirinya hanyalah ibu pengganti? Betapa indah masa depan yang diatur oleh selain Tuhan untuknya. "Bukannya Ibu dengan Oom Erick bersahabat?" tanyanya lebih lembut. Jesy mengambil makanannya, "Itu cara kami berdua menyelesaikan perselisihan. Dia bertaruh untuk menantunya, dan aku untuk Ayahmu. Semua ini tergantung keputusan William. Dia korban sebenarnya, kehilangan istri dan anak." "Aku korban sebenarnya," kata Talita sinis. Jesy tahu putrinya keras kepala, seorang pembangkang yang ingin jadi anak berbakti. Kedengaran mustahil, tapi Talita benar-benar serius menjalaninya. Jesy melihat bagaimana hari-harinya setelah perjanjian itu. Talita tidak mendekati lelaki manapun, kecuali sahabatnya Rafael. Sayangnya, Jesy sebenarnya ingin lelaki itu yang paling jauh dari hidup Talita. Tidak ada orang tua yang sudi anaknya berakhir buruk setelah dididik sebaik mungkin dalam waktu yang lama. "Mami bilang William sudah pulang dari Arab." Jesy melirik putrinya yang diam. "Mami mengundang kita makan malam bersama. Kau mau melihatnya?" "Talita sudah membeli gaun baru dan perlengkapan lainnya," katanya masam sambil menunjuk kantong belanjaan. Jesy pikir Talita akan terkejut, tapi ia yang terkejut atas reaksi Talita. "Bagaimana kau tahu dia di sini? Apa kalian... bertemu?" Talita masam, "Ya, secara tidak sengaja dan bisa dipastikan dia akan melepaskan Talita." Dan semua itu lagi-lagi diperburuk oleh Rafael. Jesy pikir sikap Talita cukup aneh. Dia mempersoalkan alasan harus menikah dengan William, tapi bersikap sebaliknya. "Kau tidak senang dia melepaskanmu?" "Bukan. Talita akan ke salon sebelum kita pergi," katanya hendak beranjak. Talita jelas menghindar, yang Jesy duga adalah William kini berbeda dari lelaki muda yang mengamuk karena istrinya lima tahun lalu. "Makan malamnya setelah isya. Kita tidak perlu membuat mereka menunggu." "Talita ke salon setelah maghrib. Isyanya nanti selesai makan." Jesy melepaskan Talita yang menjauh. Ia yakin Talita berusaha menjaga janji yang Jesy buat dengan Erick, meski dengan batin yang berontak tertahan. Tapi Jesy tidak akan menarik kalimatnya, meskipun Talita membencinya. Suatu saat nanti anak itu akan menemukan kebenaran tentang ayahnya yang tidak mungkin berselingkuh. Atau, apa yang harus Jesy lakukan seandainya dirinyalah yang salah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD