Part 3

2091 Words
“Sungguh, orang-orang yang mendatangkan cobaan (bencana, membunuh, menyiksa) kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan lalu mereka tidak bertobat, maka mereka akan mendapatkan azab j*****m dan mereka akan mendapat azab (neraka) yang membakar.” QS. Al Buruj : 10 ❤️❤️❤️ Will baru saja melewati pintu saat telinganya menangkap gemeletuk tongkat Nenek. Ia yakin asalnya dari sebelah kiri. Will segera menuju asal suara sambil memasang telinga, ruang makan dan wanita tua itu sudah duduk di kursinya dengan sikap anggun. "Kau tidak ganti baju dulu?" Will tersenyum kemudian duduk di kursi dekat Nenek. "Itu tidak penting. Aku bisa memakai pakaian apa saja yang kusuka." Nenek tersenyum menggoda, "Kau ingin pamer di depannya?" "Siapa?" tanya Will tak peduli. "Talita, tentu saja. Kau akan sedikit kecewa." Dia tampak kecewa, bahunya luruh dan helaan napasnya berat. Tatapan prihatin Nenek menghujam Will, "Dia sudah sedikit berubah dari yang terakhir kalian bertemu. Anak itu memberontak dengan cara yang salah." Will tidak bersimpati, "Itu pilihannya." Will sadar tatapan Nenek sedikit berubah heran kepadanya. Tapi Will memang tidak perlu peduli. Surga neraka disediakan bagi semua manusia dan jin. Kita sendiri yang memilih ingin berakhir di tempat yang mana, tentu saja tidak ada yang bisa memaksa tindakan kita dizaman modern dan merdeka saat ini. Tidak seperti orang mukmin dalam surah Al Buruj yang dibakar hidup-hidup karena mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan. "Setiap hari aku menunggu telepon darimu...." "Aku sering menelepon," putus Will cepat. Ia tahu dirinya harapan terakhir sang Nenek untuk keluarga Hartono, tapi Will juga ingin kehidupannya sendiri. "Sudahlah, aku sudah di sini, Nek." "Bukan, maksudku telepon dengan kabar kau akan menikah. Nenek yakin di mana pun kau berada, para wanita akan memperhatikanmu. Kau tampan, kaya dan cukup baik. Ah, kau terlalu kaku. Sepertinya itu harapan yang sia-sia," ceritanya dengan nada duka. Will geli. Sudah berapa kali singgungan masalah jodoh mendera telinganya. Bukankah semuanya jelas. Yang Will butuhkan hanya Marissa, istrinya. Dan kalau dia ada, cicit yang diharapkan neneknya juga akan hadir dengan senang hati, dengan ridha Allah. "Kau jangan menertawaiku," tegur beliau masam. "Kau benar-benar akan melibatkan Talita dengan kebencianmu itu?" Pembicaraan ini mulai serius. Will menggeleng, ia sudah merelakan semuanya. Memupuk ilmu yang berhasil menentramkan hidupnya selama lima tahun terakhir sudah cukup. Lagipula mana bisa ia melampiaskan kesalahan Justin kepada Talita. Mengherankan, ada hak waris untuk sebuah dosa. "Tidak, jawabanku masih sama." "Tapi kenapa kau belum menikah?" Will malah menampakkan wajah tak mengerti, "Sudah jelas, bukan?" "Tidak ada yang jelas selagi kau tidak menjelaskannya," protesnya mulai kesal. Will sudah menjelaskan itu beberapa kali setiap pertemuan, dan ia mulai malas mengulang cerita yang sama. Will mengalihkan mata ke hidangan yang memenuhi meja, "Apa kita akan kedatangan tamu? Ini akan tersisa banyak kalau untuk kita berdua. Mubazir itu temannya syaitan." Nenek tampak mengehala napas. Dia tentu paham perbedaan William yang dulu dan sekarang. "Talita dan Ibunya akan datang. Mungkin sebentar lagi..." "Assalamu'alaikum." Will menoleh ke asal suara. Jesy dan wanita yang tadi siang mengacau di restorannya mendekat dan tersenyum ramah. "Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh." "Maaf kami terlambat," kata Jesy kepada Nenek. "Duduklah, kami juga belum makan." Kedua wanita itu mengenakan pakaian sopan dan rapi, Talita mungkin menata rambutnya dan Will sedikit bertanya-tanya kenapa wanita itu membiarkan rambut indahnya terekspos untuk siapa saja. Talita dulunya manis, sopan dan ceria, sekarang... dia berbeda. "Kenapa kau menggeleng? Tidak suka makanannya?" tegur Nenek heran. Will mengangkat kepala, ketiga pasang mata itu menatapnya. "Bukan. Semua rejeki ini patut untuk disyukuri. Alhamdulillah." "Jangan bilang kau sedang terpesona kecantikan Talita?" goda Nenek jahil. Will tersenyum lucu, "Bagaimana aku bisa terpesona, oleh wanita yang tidak memesona?" Udara dalam ruangan itu seketika berat. Will sadar kejujurannya sedikit tidak tepat untuk disampaikan. Sayang sekali, lisan yang biasanya ia gunakan untuk dzikir masih belum bisa tumpul untuk tidak menyakiti orang lain. "Rasullah memang tidak melarang berbicara ketika makan. Tapi jangan merusak seleraku dengan percakapan yang bisa dibicarakan lain waktu," kata Will sedikit canggung kepada tiga wanita di sekitarnya. Nenek menggeleng geli, Talita tersenyum, meski Jesy kelihatan pucat. "Apa Rasulullah sekaku dirimu," komentar Nenek sambil menyembunyikan senyumnya. "Bagaimana dengan adab menyambut tamu?" Will mengangkat tangan berdoa. Tamu biasanya masuk setelah dipersilakan oleh tuan rumah, jadi menurutnya mereka bukanlah tamu secara wajar. "Lihat, kau bahkan mengabaikan orang tua," tambah Nenek geli. Ketika Will akan mengangkat tangan untuk menyentuh nasi di piringnya, suara tawa Talita pelan terdengar. Will sedikit terganggu, juga heran. "Ada yang lucu?" Wanita itu diam segera. Cepat-cepat dia mengambil sendoknya. "Maaf." Will mengambil nasi dengan tangan kosong, "Aku minta maaf. Makan langsung dengan tangan itu sunnah. Kalau cara makanku merusak selera kalian, kalian yang harus makan di tempat lain." "Apa restoranmu juga tidak menyediakan sendok?" tanya Talita polos. Will sesaat menatapnya, Talita tidak menunjukkan wajah mengejek, dia tampak penasaran. "Tidak semua orang biasa melakukannya." Will merindukan masakan rumah, ia makan dengan lahap. Ia tidak memperhatikan wanita di sekelilingnya. Mereka juga tidak terlalu banyak bercakap-cakap kecuali tentang majelis taklim yang Nenek ikuti. "Sayang sekali, jarang anak muda sekarang menaruh minat dalam kegiatan yang akan menambah keimanan mereka," keluhnya tua. "Mami tidak sedang menyindirku, bukan?" tanya Jesy ragu. "Tidak, tentu saja. Aku berbicara secara garis besarnya." "Sekarang gadget lebih diminati Nek. Cara belajarnya pun berbeda. Dakwah-dakwah banyak disebarkan lewat media sosial. Lebih efisien waktu," kata Talita dengan penuh pengertian. Will mengangkat wajah, "Tapi lebih utama menghadiri majelis ilmu langsung. Pahalanya lebih besar, kemungkinan bersosialisasi dengan orang-orang berakhlak baik lebih banyak dan doa para malaikat untuk para penuntut ilmu sayang untuk dilewatkan. Keutamaan yang Rasulullah sabdakan, Allah turunkan ketentraman dalam hati mereka. Mendapat naungan para malaikat. Dalam naungan kasih sayang Allah. Nama mereka akan Allah sebutkan di hadapan para penduduk langit." Talita menatapnya, seolah tertegun tapi tidak mengatakan apa-apa. Will juga tidak penasaran, ia kembali melanjutkan makannya. "Apa kau berencana jadi ustad?" tanya Nenek serius. "Sepertinya kau bisa mendapatkan pahala jariyah dari pelajaranmu beberapa tahun terakhir." Will tersenyum lagi, "Tidak perlu jadi ustad untuk sebuah pahala jariyah. Berbagi ilmu bermanfaat juga tidak perlu menunggu status ustad dulu. Saling mengingatkan sesama muslim itu salah satu kewajiban seorang muslim." "Tidak hanya perkataan, cerminan seorang muslim itu juga bisa dilihat dari sikap perbuatannya," tambah Talita lugas. "Menunjukkan sikap baik dan dijadikan contoh oleh orang lain juga termasuk amal." Kali ini Will tertegun. Dia terlihat seperti Talita yang dulu, senyuman manisnya yang tampak segala hal berjalan sebaik yang dia inginkan. Will diam menikmati makanannya sambil sesekali memasukan ke hati percakapan mereka. Will dan Talita tidak dekat meski ayah dan ibu mereka bersahabat. Saat usia kanak-kanak hingga remaja Will tinggal bersama keluarga di London. Terakhir, Will bertemu Marissa saat ulang tahun pernikahan Jessica dan Justin Barsinu di Jakarta, kemudian memilih tinggal bersama Nenek setelah menjalin hubungan dengan Marissa. Dulu Will terpikat pesonanya yang manis malu-malu, citra wanita asia yang jauh berbeda dengan remaja London. "Alhamdulillah," suara Nenek samar terdengar setelah beliau melepas gelas minum. Jesy bekernyit heran dengan gelas pendek yang berisi air di dekatnya. "Airnya berbeda Mi?" "Itu air Zam-zam. Sejak Will di sana, dia seringkali mengirimnya untukku." Nenek melirik Will, "Manfaatnya akan sesuai dengan niat yang meminum. Aku berniat semoga Will segera menikah." Will mengangguk diam tanpa komentar. Harusnya Will menjelaskan bahwa manfaat yang dimaksud bukan termasuk doa untuk orang lain. Hanya berlaku untuk yang meminum. Will menahan lidah karena ia paham itu sekedar pancingan untuk membahas perjodohan lagi. "Aku sempat melihat daftar menu kemarin, di sana juga ada, air zam-zam. Meski aku tidak sempat memesan apa-apa," kata Talita kecewa. Nenek dan Jesy menatapnya. Kemudian Talita malah melihat Will dengan pandangan meminta maaf. "Em, kami tidak sengaja bertemu." "Will tidak mengatakan apa-apa," timpal Nenek dengan kekecewaan melihat cucunya tersebut. "Aku belum sempat cerita," koreksi Will santai. "Lagi pula itu bukan hal penting." Will meneguk minum, kemudian lekas berdiri sebelum Neneknya berhasil memaksa Will beramah-tamah lebih lama. "Aku istirahat dulu. Selamat malam semuanya." Langkahnya berhenti saat Will mendengar suara kursi terdorong kasar di belakangnya. Ia berbalik dan Talita berdiri canggung melihatnya. "Ada apa Talita?" tanya Jesy. "Will, bisa kita bicara sebentar?" pinta Talita kepada Will ragu. Will sebenarnya tidak ingin dekat-dekat dengan wanita berkedok polos itu, tapi ia sungguh perlu sedikit menyenangkan hati Neneknya yang rapuh. "Bicaralah." Talita mendekat pelan, "Berdua maksudku," katanya serupa berbisik. Will bekernyit, "Haram berduaan tanpa mahram." "Baiklah, bisa kita menjauh sedikit." Talita memimpin langkah mendekat ke jendela ruang makan, tampat pemandangan malam terlihat di taman samping. "Apa yang ingin kau bicarakan?" Talita menunduk. "Aku minta maaf tentang yang terjadi siang tadi. Dia sahabatku." Will merasa aneh. Apa pedulinya dengan kehidupan pribadi Talita. "Maaf, tapi itu bukan urusanku." Talita mendongak, "Maksudmu..." "Itu kehidupanmu. Kau tidak perlu memberitahuku." "Kau... akan menikah denganku?" Will tergelak. Ia sama sekali tidak berniat seperti itu. Selalu ada Marissa di dalam hatinya, dan itu berlaku sampai kapanpun. "Aku tidak merencanakan itu." "Will, bukannya kau tahu tentang perjanjian itu?" Will tahu. Ia hanya pernah bersumpah tidak akan memaafkan Justin. Ia tidak pernah menyetujui perjanjian Erick dan Jesy untuk mengikatnya bersama Talita. Tapi kini pemaafan itu ternyata membuat hatinya lebih lapang, jadi Will sungguh lebih tenang kalau Talita tidak mendekatinya. "Kalau tidak ingin bersamaku, bagaimana aku bisa menebus kesalahan Ayahku?" Talita kemudian menunduk lagi, "Kau tidak bisa punya keturunan tanpa menikah." "Bukan berarti aku harus menikah denganmu," kata Will merasakan amarah memanasinya. Will sudah lupa kapan terakhir kali ia marah, dan ada harapan di hatinya untuk lebih sabar dari sebelumnya. Talita tampak berpikir. "Lalu kenapa belum?" Will memandang taman, mereda sedikit emosinya. "Aku tidak bisa menjadikanmu atau siapapun sebagai istriku. Aku masih mencintainya." "Keluarga kita perlu pewaris. Itulah alasan aku belum boleh menikah. Selagi kau belum menikah, aku tidak bisa melihat lelaki lain." Will kasihan. Ia menunduk untuk memperhatikan Talita lebih teliti. Dia tidak cantik, kurang tinggi dan sepertinya lemah. "Aku tidak pernah memintamu menungguku." Talita, matanya berkilat, "Tapi Ayahku sudah merenggut anak dan istrimu, jadi aku yang..." "Dengan tubuhmu? Begitukah?" Will heran, "Ada tujuh amal jariyah..." "Salah satunya anak shaliha," potong Talita. Dia menunduk dalam, "Aku bukan salah satunya. Tapi, semoga menebus kesalahan ayahku akan sedikit meringankan bebannya." Will juga tidak bisa mengakui dirinya anak yang shalih, tapi niat Talita tampak seperti anak yang sangat berbakti. Will tidak ingin merasa bersalah karena menyakitinya, tapi ia juga tidak ingin terikat lebih lama dengan Talita. "Aku mencari istri yang shaliha." Will memang berbohong. Ia dulu menikah dengan Marissa bukan karena agama, tapi sebab cinta. Will pernah tahu bahwa cinta bisa mendekatkan dirinya dengan Allah, tapi Will belum seutuhnya yakin menikah karena agama bisa membuat imannya lebih kuat. Talita juga diam dengan pikirannya. "Kalau begitu, tidakkah kau ingin berbuat kebajikan?" "Terikat denganmu?" tanya Will terperangah. "Amalan yang paling lama masanya adalah menikah. Dan nikahkanlah... dalam hadist yang lain juga menyebutkan, sesungguhnya Rasulullah menyukai ramai umatnya. Maaf, aku tidak cukup baik menghapal," katanya malu. "Bahkan salah satu Imam besar, menikah dimalam hari istrinya meninggal. Kau tidak berpikir, menduda itu penting?" "Aku tahu," kata Will. Ia benar-benar tahu perbedaan Marissa dan Talita. Talita berpikiran keras seperti remaja London meski tampilannya sangat Asia. "Tapi aku lebih nyaman begini." "Munafik," sentak Talita kasar. "Ketika berbicara dusta, berjanji ingkar dan bila dipercaya dia khianat." Will terlalu bingung. Ia bertanya-tanya tentang kemungkinan sebuah perasaaan yang Talita pendam selama ini untuknya. "Kenapa kau ingin menikah denganku?" Talita gagap. Nampak kepercayaan dirinya goyah sesaat. "Untuk merasakan sensasi hidup, kurasa. Ah, kehidupan yang baru." Will sedikit paham. Tidak ada arti kehidupan tanpa tujuan. Ketika tidak mengenal agama kesenangan hanyalah euforia. "Kau sudah tahu aku tidak mencintaimu. Pernikahan seperti apa yang kau inginkan dariku?" "Cukup menikah, kau sah sebagai suamiku." "Hanya itu?" "Ya. Memangnya apa lagi?" Will sungguh terkesan. Kalau saja Talita lahir di London dan menjadi seorang lady, tentu Will bisa membaca riwayat hidupnya sekarang, sebagai lady pemberontak. "Bagaimana dengan nafkah? Batin yang kumaksud. Tentunya membicarakan keturunan kau sudah siap dengan resikonya." "Emmm..." Talita tahu untuk itulah dirinya bertahan, tapi haruskah. "Lagi pula kalau kau menikah denganku, kau perlu jadi istri shaliha. Aku tidak ingin ditarik malaikat Zabaniyah karena dirimu. Kau tahu? Kerjakan segala rukun yang wajib, taati suaminu dan masuklah kamu dari pintu surga yang mana saja yang kamu inginkan. Terdengar mudah, tapi kau perlu mempertimbangkan AKU yang menjadi suamimu." Will tdak heran kalau dirinya hampir marah. Ia mengibaskan tangan karena panas. Ia perlu menyelesaikan pembicaraan ini dan segera wudu. Talita benar-benar sudah berubah. Dulu dia juga manis, dan memang punya pemikiran keras kepala. Tapi memaksa dalam hal ini, dan Will terseret di dalamnya itu meresahkan. Ia dan Talita hanya bertanya jawab tentang satu hal, tapi itu rasanya menguras tenaga. Bagaimana bisa Will akan menghadapi wanita itu di ruangan tertutup. Kamar, meja makan, dan rumah. Di mana tempat damai untuknya nanti, kalau semuanya berisi Talita. Lalu Marissa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD