Part 4

1455 Words
“Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” HR. Bukhari. ❤️❤️❤️ Talita melihat punggung Will menjauh. Masih terasa aura marah yang dipancarkannya saat pembicaraan tadi. Laki-laki itu membuatnya berdiri kaku, kini terasa lututnya lemas. Talita baru saja ditolak, yang rasanya begitu menyakitkan. Talita berharap Will akan menerimanya, mungkin menyiksanya dan nanti ia akan mati dengan tenang setelah membayar dosa keluarganya. Nenek berdiri dari duduknya dan mendekati Talita. "Maafkan cucuku, dia masih sekaku dulu." Talita menarik senyuman secara paksa. Will juga masih setampan dulu. "Bagaimana perjanjian itu Nek?" "Aku tidak tahu," jawab Nenek pasrah. "Will tidak ingin menyeretmu dalam janji yang tidak pernah disetujuinya." "Menurutku janji itu batal," sahut Jesy masih dari kursi makannya. Nenek dan Talita menatapnya meminta penjelasan. "Will korban dalam kejadian itu, kita tidak bisa mengorbankan dia lagi untuk hal ini. Mungkin nanti dia akan bertemu wanita lain yang bisa mematahkan sikap kakunya itu." Nenek memicing curiga, "Ada apa denganmu, sepertinya kau bertingkah aneh." Jesy mengangkat bahu pelan, "Tidak, aku objektif." "Talita setuju pendapat Nenek," katanya bersuara. "Ibu sedikit tidak seperti biasanya." "Aku seperti ini, biasanya seperti ini. Aku selalu mengutamakan kebahagiaan putriku. Will mungkin tidak hanya akan merusak Talita, dia tampak akan menyiksa wanita yang tinggal bersamanya, meski itu bukan Talita," jelasnya tanpa ragu. Talita juga berpikir begitu. Will seperti dalam dunianya sendiri, yang akan menyakitkan bagi orang lain kalau mereka memaksa masuk ke sana. "Dia tidak begitu," bantah Nenek yakin. "Will dulu memang begitu ketika bersama Marissa, tapi kehilangan wanita itu sudah merubahnya." "Aku ragu," kata Jesy ikut mendekat. "Aku suka Will yang dulu. Dirinya yang sekarang terlihat baik, tapi sebenarnya dia hanya ingin membenarkan semua tindakannya. Dia egois." Talita menyetir di sebelah ibunya. Ia diam sejak Jesy mengungkapkan perilaku kejamnya untuk kebahagiaan Talita. Talita nanti akan menyadarkan ibunya, bahwa yang memutuskan untuk bahagia itu adalah pilihan Talita sendiri. "Apa semuanya sungguh demi Talita?" "Yah, Justin pasti menginginkan yang terbaik untukmu. Dia tidak bisa lagi menjagamu, aku hanya menggantikannya." Talita tersenyum aneh. "Lalu menggunakanku sebagai taruhan. Itu sepertinya bukan termasuk kasih sayang." "Talita, kau jadi lebih pembangkang sejak sering bertemu Rafael," kata Jesy tajam. Talita hampir bosan dengan Rafael sebagai tersangka dalam tindakan membela diri Talita. "Dia benar-benar baik Bu. Jangan selalu menyalahkan dia..." "Memang dia. Setiap bertemu dengannya kau sering berbeda kostum sebelum pergi dan ketika pulang. Mungkin aku akan memaksanya menikahimu. Katakan padanya untuk datang besok malam." Talita tercengang. Bagaimana mungkin seorang ibu yang tadi memaksanya menikah dengan Will karena dosa ayah Talita sekarang akan memaksanya menikah dengan Rafael, sahabat Talita yang dibenci ibunya itu. "Bu, Talita dan Rafael bersahabat. Kami tidak melakukan apapun yang terlarang..." "Katakan padanya untuk datang." "Bu..." "Kalau dia baik seperti yang kau katakan, aku yakin dia akan senang hati menerimanya." Talita membungkm mulutnya. Tidak ada yang bisa ia cegah dari permintaan itu. Apalagi yang ia miliki dari hidupnya, selain Jesy dan permintaan sang ibu yang begitu keras kepala. Talita menelepon Rafael sesegera dirinya kembali ke kamar. Ia memang tidak suka rencana lain Jesy, tapi apa salahnya mengenalkan seorang sahabat kepada ibunya. Bunyi nada tunggu terdengar. "Apa kau tidak sedang berkencan?" "Dia baru saja tidur," jawab Rafael melihat wanita yang kini memeluk dadanya. "Tidak bisanya kau meneleponku lebih dulu. Sesuatu terjadi?" "Aku perlu sedikit sensasi kehidupan," jawab Talita malas. Benar, yang Talita butuhkan adalah membangkang, tapi ia takut menyesal nanti. Rafael tertawa. "Bagaimana kalau kita kencan? Aku janji bajumu aman." Talita tersenyum. "Kau perlu menunda kencanmu. Besok malam. Datanglah ke rumah. Ibuku ingin memeriksa apakah kau pantas sebagai sahabatku atau tidak." "Benarkah?" Rafael terlonjak senang. Sekarang ia menjauh dari wanita t*******g dalam selimutnya. "Bagaimana dengan lelaki tampan kemarin?" Talita menggeleng sendirian, "Kau harus berhenti bertanya hal yang tidak perlu." Itu kabar yang tepat ingin Rafael dengar. "Baiklah. Aku lebih suka begitu. Sampai bertemu besok malam." Talita memutuskan panggilan. Ia mendesah, menutup wajah karena malu akan diri sendiri. Ia sudah meminta Will, dan lelaki itu menolak. Talita heran, kenapa Will menolaknya. Marissa dulu tidak berjilbab, dan jelas sekali bukan wanita shaliha seperti yang Will syaratkan. Kalau itu benar-benar alasan Will menolak. Kini pegangan untuk hidupnya hilang. Talita benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan setelah begitu mudah menghapus dosa. Allah Maha Pengampun, kita hanya perlu bertaubat. Talita tidak bisa hanya menunggu sholat ke sholat berikutnya. Ia sudah memikirkan Will sejak selesai subuh hingga dzuhur. Dan memikirkan kemungkinan bersama Rafael selama dzuhur hingga ashar. Lalu menerka jalan pikiran ibunya dari ashar hingga maghrib. Talita tidak bisa memikirkan dirinya sendiri. Ia selama ini tidak hidup. Kenangan yang bisa ia putar hanya ingatan pahit. Bagaimana dulu polosnya Talita yang dianggap shaliha. Bagaimana akrabnya Talita dengan sang ayah. Suasana sekolah yang sebelumnya menyenangkan. Semua itu pahit dan semu kebohongan saja. Talita terlonjak oleh ketukan pintu. Ketika ia memutar tubuh dari pandangan jendela ke pintu kamar, kalimatnya langsung meluncur. "Rafael? Kenapa kau di sini?" Rafael mendekat, "Aku diundang, ingat?" Talita ingat, tapi bukan itu yang jadi pertanyaannya sekarang. "Maksudku, kenapa kau tahu kamarku, masuk kamarku. Apa ibuku..." "Beliau yang menyuruhku," potong Rafael santai sambil mengedarkan pandangan dalam ruangan kecil Talita. Talita terkejut atas jawaban itu. Ibunya mungkin sakit parah, atau terjadi hal lain yang lebih menakutkan. Sesuatu seperti permintaan aneh dari orang yang akan meninggalkanmu sendirian, selamanya. Jesy meminta Talita menikah, hanya menikah dan sepertinya sang ibu tidak cukup peduli siapa pasangan menikah Talita. "Kau tidak bereniat menyambutku? Aku mengenakan jas rapi, kau bahkan belum bersisir," rengut Rafael dengan mimik kecewa. Hal mengecewakan lainnya bahwa Talita di depannya, tapi wanita itu memikirkan hal lain. Talita mendahului Rafael, "Ayo, kita makan." Entah apa yang akan Jesy minta lagi, atau entah siapa yang akan ibu itu paksakan Talita menikah dengannya kalau Rafael juga menolak Talita. Talita bersumpah dalam hati, jika nanti dirinya jadi seorang ibu ia akan memperlakukan anaknya lebih baik. Suara lentingan sendok dan piring pelan terdengar. Sesuai undangan, Rafael datang untuk berkenalan dengan Jesy Barsinu, ibunda sahabatnya. Rafael sudah sering melihat raut kesal Jesy, juga wajah tidak sukanya. Malam ini wanita itu tersenyum, senyuman yang secantik Talita miliki. Kalimatnya juga menyenangkan untuk didengar. "Apa kalian bukan kekasih?" Rafael tersenyum, Talita tidak pernah mengakui dirinya kekasih. Tapi bagi Rafael wanita itu sungguh bukan sekedar sahabat. Orang-orang mengatakan tidak ada persahabatan antara laki-laki dan wanita, tanpa salah satu dari mereka yang menyimpan rasa. "Bu, kami hanya sahabat," jawab Talita dengan wajah kesal. "Benar," dukung Rafael seadanya. Meski ia segera ingin merubah status tersebut. "Tapi aku mencintainya." "Rafael!" Rafael menyunggingkan senyum karena permohonan itu. Sekarang tidak ada lagi alasan untuknya merelakan Talita. Rafael tahu, yang wanita itu butuhkan hanyalah kebebasan, kesenangan dan segala hal yang bisa melepaskan dirinya dari permintaan sang ibu yang pemaksa. "Kalau Ibu mengizinkan, aku ingin melamarnya," kata Rafael sopan. Jesy terkesan. Rafael tidak pengecut seperti perkiraannya. Pertemuan mereka kini mengungkapkan banyak rahasia. "Kau yakin, bisa membahagiakan Talita?" "Aku yakin." Talita beku. Entah bagaimana lagi harus dirinya menolak. Ia kenal Rafael, dan tahu kehidupan bebas yang dijalaninya berbahaya. Talita tidak suka membersihkan kekacauan lelaki itu lagi. Dan kalau Rafael benar mencintainya, akankah dia berubah demi membahagiakan Talita, dengan mengorbankan kebahagiaannya sendiri. "Kau bisa menentukan tanggal baiknya," kata Jesy setuju. Talita menubruk meja sambil berdiri, "Berhenti mengatur hidupku!" Jesy tersenyum remeh, "Duduklah Talita. Kami membicarakan kebahagiaanmu." Talita awalnya marah, tapi kebodohan lagi-lagi memaksanya untuk tunduk. Ia berangsur duduk tanpa bantahan. "Aku ingin menjadikannya ratuku. Aku hanya akan jadi pelayan yang paling setia mengabdi padanya," janji Rafael manis. Talita tidak tahu di mana sumber air matanya. Kalau dengan tersakiti, orang biasanya menangis, Talita bahkan tidak bisa menunjukkan kesakitan itu lagi. Kehendak atas dirinya dimiliki orang lain. Bahkan seorang b***k bisa kabur dari majikan kejam, tapi Talita untuk membantahpun ia rasa percuma. "Kau keberatan kalau kami membahas pernikahan?" tanya Rafael kepada Jesy. "Aku akan mengizinkan kalian bertemu seperlunya." Talita tidak lagi patut dianggap manusia. Harusnya Allah mencabut rasa dari dirinya, supaya adil dengan hidup yang ia jalani. Tapi apa hak Talita untuk mengatur kehendak Maha Pencipta. Talita berbaring di balik selimutnya. Rafael tersenyum dekat, lalu mengecup keningnya lembut. Seumur hidup Talita belum pernah seorang laki-laki menginjak kamarnya, kecuali Justin. Sekarang, Jesy bahkan mempersilakan Rafael tidur di kamarnya hanya karena mereka akan menikah. "Tidur tenang," bisik Rafael dengan senyum manis. "Aku tidak tahu tujuanmu, tapi kuharap kau masih waras untuk mengerti perasaanku," kata Talita memperingatkan. Rafael gemas, ia mendekat dan memaksa Talita menatapnya. "Kau milikku." Tidak ada perasaan takut, tapi Talita tidak suka laki-laki mendekatinya. "Aku memang bersahabat denganmu." "Kita akan barsahabat selamanya. Satu desakan napas, satu selimut dan satu tubuh." Talita membiarkan Rafael pergi dari kamarnya. Sedikit perasaan kesal Talita atas kepercayaannya. Harusnya Talita sudah kenal sahabat yang berapa tahun terakhir bersamanya itu pemain wanita, dan Talita memang bodoh mempercayai Jesy untuk bertemu dengan Rafael saat William sudah melepaskannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD