“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” QS. At Taghabun : 11
Rafael tiba-tiba mengajak Talita ke suatu tempat. Talita dipaksanya berpakaian minim, lalu masuk klub yang hingar-bingar dan gelap penuh sesak. Talita risih, sementara Rafael berpadu dengan teman-temannya yang lain. Talita tanpa pamit menyelamatkan dirinya dari kemaksiatan tersebut. Talita tidak mabuk, tapi senggolan kiri-kanan yang bergoyang membuatnya terhuyung berantakan. Talita ditangkap seseorang, dan lelaki mabuk itu langsung menariknya ke dalam pelukan keringat. Talita mendorongnya kuat, lalu meninggalkan tempat itu dengan dandanan tak secantik ketika ia datang. Talita berdiri di samping jalan, coba menghentikan taksi tapi malah mobil lain yang berhenti.
"Berapa tarifmu?" tanya lelaki di balik kemudi setelah menurunkan kaca mobil.
"Aku mencari taksi," kata Talita dan meninggalkan mobil itu.
Tapi lelaki itu keluar dan mengejarnya. Talita lari secepat kakinya bisa, dan ia tersungkur jatuh tak sesuai harapan. Lelaki itu menarik rambutnya, dan memukul Talita lalu ia diseret untuk naik ke mobil lelaki itu. Talita takut, ia berteriak mengharapkan pertolongan yang sia-sia. Meski beberapa mobil melewatinya, tak satupun diantara mereka yang peduli. Kemudian Rafael keluar dan memukul lelaki yang akan membawa Talita.
"Kenapa kau pergi?" tanya Rafael saat lelaki itu kabur.
"Aku tidak suka tempat ini," kata Talita setengah membantak.
Rafael memeluknya, dan Talita segera mendorong tubuh itu menjauh. "Aku akan tunjukkan kesenangan lain, aku jamin kau menyukainya."
Talita sangsi, Rafael punya cara menyenangkan yang berbeda dari yang bisa Talita bayangkan. "Aku ingin pulang."
Rafael bertolak pinggang, "Kau lebih suka bersama ibumu yang kejam itu?"
Talita mengangguk. Bersama Jesy ia punya kamar, dan Talita bisa tidur tanpa harus merasakan diseret seperti binatang peliharaan.
"Baiklah, terserah kau." Rafael bersedekap, "Kau mungkin akan bertemu lelaki seperti tadi. Kecuali kau bersedia masuk dan menungguku mengantarmu."
Talita tidak bodoh untuk tahu itu ancaman lembut. Tapi ia punya cara lain yang tidak harus menuruti Rafael. "Masuklah."
Rafael tampak kesal, "Aku ingin mencicipimu ketika kau masih perawan. Tapi kalau kau ingin menikmati yang lebih buruk dariku, kau bisa melanjutkan rencanamu."
Talita melihat Rafael kembali ke klub. Kemudian ia sendiri segera mengambil ponsel dan menelepon sopir keluarganya, tapi tidak ada jawaban. Talita juga langsung mendapatkan penolakan saat ia menyebutkan tempatnya kepada supir taksi lain. Talita berjalan kaki menuju arah rumahnya, sementara cuaca malam mulai menyapa kulit terbukanya yang halus tak tertutupi.
Sebuah mobil berhenti di sisinya, "Perlu tumpangan?"
Talita tidak mengenal orang itu, ia memilih menolak. Beberapa mobil juga melakukan hal yang sama, bahkan beberapa diantaranya ada yang berisi wanita dan laki-laki lain. Talita terus berjalan, saat kakinya mulai lelah sebuah mobil melaju pelan seolah mengikutinya. Talita mulai khawatir saat mobil itu berhenti. Ia membawa kakinya berlari, lalu dengan putus asa ia memasrahkan hidupnya saat mobil itu hampir menabraknya. Talita menghalau pandangan di depan lampu mobil yang menyorortinya. Pintu pengemudi terbuka, seseorang keluar dari sana.
"Apa kau melupakanku lagi?"
Talita terlonjak, "Will?!"
Will kesal saat ia harus mengantri lama di sebuah bengkel kecil dan terpencil untuk mengganti ban yang bocor. Sampai ia harus merelakan pahala jamaahnya karena tidak bisa menjangkau masjid dengan jalan kaki. Will heran dirinya harus melewati jalanan yang tepat untuk para pencinta malam. Will pernah berada di sana, ia mengenal setiap sudutnya dan Will malas saat selesai perbaikan mobilnya sudah larut malam dan para penjaja diri berdiri menyapa pengendara. Will melihat seseorang berjalan kaki meski beberapa mobil menawarinya singgah. Karena penasaran Will mengikutinya pelan. Dan ia hampir melaju kencang saat mengenali wanita itu sebagai Talita. Pakaian pendeknya tampak menggoda sempurna dengan kulit mulus yang halus, serta bentuk tubuh mungilnya yang berlekuk indah. Will meghentikan mobil, tapi Talita berlari. Will berhasil mengejarnya, wajah Talita tampak ketakutan.
"Apa kau melupakan aku lagi?" tanya Will heran.
"Will?!" pekiknya.
Will hanya bersikap biasa. "Aku antar kau pulang."
Talita segera masuk dan duduk di sebelahnya. Will sedikit memandangi pakaian terbuka Talita. Juga gerakan tangan itu yang terus menarik roknya turun, "Boleh kupinjam sorbanmu?"
Will melepas dan memberikannya. Talita membungkus pahanya dengan kain terebut. Mereka hanya diam melewati jalan sepi itu yang gelap dan basah oleh hujan. Will tidak melirik lagi, bahkan ia tidak menganggap ada wanita di sisinya. Will sekedar menunjukkan sikap baik kepada sesama umat bersaudara karena secara kebetulan mereka saling kenal.
"Kenapa kau lewat tempat itu? Seingatku restoranmu jauh dari sini."
"Hanya kebetulan."
"Kau sepetinya tahu tempat itu."
"Setiap orang punya masa lalu, Talita. Aku tidak lahir dan langsung menjadi besar."
Talita mengangguk. "Aku berterimakasih atas tumpanganmu."
Will tersenyum ramah tapi tidak mengatakan apa-apa. Jalanan mulai ramai, dan tujuan mereka semakin dekat. Ia berharap tidak akan ada masalah lain yang mengaitkan dirinya dan Talita lagi. "Aku suka dirimu yang dulu," kata Will mengungkapkan rasa kecewanya. "Kenapa kau berubah begitu banyak?"
"Seseorang selalu punya masa lalu. Aku tidak lahir dan langsung besar," katanya mengulang kalimat Will.
Will tersenyum geli. Perasaan sukanya dengan mimik Talita yang serius dan tak peduli sedikit menyegarkan. Kehidupan mungkin mengajarkan beberapa hal baginya, seperti yang Will dapatkan. Talita turun di pagar rumahnya sementara Will segera pergi.
Will kembali ke rutinitasnya. Tapi beberapa kali Talita hadir dalam mimpi Will yang tertidur saat dirinya bertahajjud. Ia sebenarnya tidak mengerjakan tahajjud sengaja untuk berdo'a minta jodoh seperti kebanyakan orang, Will hanya begitu menyukai percakapannya bersama Sang Kekasih. Will seperti biasa melangkah menuju masjid untuk dhuha. Sepagi itu ia kembali melihat Talita, yang pakaiannya sobek di mana-mana. Dia kelihatan baik meski dengan kondisi seperti itu. Wajahnya masih cantik, dengan ekspresi kaku. Will melihat seorang laki-laki mengejarnya, lelaki yang dulu datang mengacau bersama Talita di restorannya. Talita tampak menolak bujukan laki-laki itu untuk memaafkan, tapi tidak menolak pelukannya. Will menggeleng heran. Harusnya pandangan itu tidak menghambat ibadahnya. Ia berjalan lagi. Dan sengaja memutar jalan lain untuk mengindar. Namun Will kembali berjumpa Talita. Kali ini ada dua wanita lain bersamanya. Salah satu dari mereka membawa gunting dan menyayat baju Talita. Talita diam tanpa perlawanan meski kepalanya juga di dorong kasar dan beberapa bagian tubuhnya disentuh dengan kebencian dan iri. Wanita-wanita itu seperti menaruh dendam kepada Talita. Dan entah ke mana perginya laki-laki tadi.
"Dia akan menikah denganmu? Kau pikir itu masuk akal?!"
"Dia milik kami. Milik bersama. Kau tidak bisa menguasainya sendiri."
Will mendengar, bukan niatnya menguping. Suara mereka yang terlalu jelas. Sedikit informasi itu membuatnya penasaran. Tapi ia ingat, bahwa Talita bukan urusannya. Will sekali lagi memutar ke jalan semula. Duhanya tertunda cukup lama. Will lega saat tidak ada Talita menghadang jalannya lagi. Ia berhasil masuk masjid dan melupakan kejadian tersebut.
Will segera kembali. Ia tertegun saat Talita memasuki area masjid dengan pakaian penuh sobekan. Nampak Talita dihadang oleh seseorang lain yang baru selesai duha. Talita diusir sangat jelas. Tapi dia masih tampak kaku wajahnya. Tidak marah atau memaksa. Talita keluar dan berjalan menjauh. Ia kemudian mengadah langit. Tanpa mengatakan apapun Will memperhatikannya dengan minat. Talita tampak terbuang. Senyum Talita muncul kemudian berjalan lebih pasti. Dan Will kembali ke restorannya. Siangnya, Will hendak membeli sorban baru. Ia mengikhlaskan yang pernah Talita pinjam. Dan ketika berada di sana. Will bertemu laki-laki yang pernah bersama Talita sedang membeli kaos kaki.
"Aku ingat kau. William Hartono. Aku sekarang calon suami Talita."
"Semoga segera menjadi suaminya."
Will melanjutkan niatnya sementara laki-laki tadi juga pergi. Will mengantri, dan seorang wanita berhijab lebar sedang membayar di depannya.
"Maaf, aku tidak jadi membelinya. Uangku ternyata kurang."
"Ah, tapi ini sudah..."
"Maaf."
"Ambillah, akan kubayar," kata Will peduli.
"Terimakasih. Semoga Allah memberkahi rezekimu."
Will tersenyum, "Aamiin."
Will membayar miliknya dan gamis tadi. Ia lalu meninggalkan toko segera.
Will lagi ke restorannya. Ia segera di sambut ramah oleh salam dan sebuah bungkusan yang berisi sorbannya yang dipinjam Talita. "Apa yang dikatakannya?"
"Hanya menitip ini dan berterimakasih."
"Bagaimana penampilannya?"
"Dia tidak berjilbab, dan pakaiannya tidak menutup aurat. Ada sobek di mana-mana."
Will mengangguk dan meneruskan pekerjaannya.
Will hendak pulang, tapi diperjalanan ia kembali menemukan Talita. Mereka berdiri di depan sebuah hotel. Will melihat laki-laki itu lagi, dan dua wanita yang beberapa hari lalu menjahati Talita. Will melihat pula penolakan Talita yang tidak ingin masuk hotel bersama mereka tapi dia tampak dipaksa. Kedua wanita itu mengepungnya dan Talita juga menendang Rafael. Will tidak peduli, tapi ia terpaksa turun saat seorang polisi berdiri di samping mobilnya.
"Saya sedang menunggu teman," kata Will beralasan.
"Siapa?"
Will memanggil Talita. Dan melihat Will bersama polisi mereka tampak melepaskannya. Talita mendekati Will dengan wajah merah marah dan benar kesal. "Mau kuantar pulang?"
"Ya, aku minta tolong," katanya tampak setengah hati.
Will tersenyum dengan ide menakjubkan untuk melamar Talita yang menyedihkan. Mereka awalnya tidak membicarakan apapun sampai Talita membuka suara.
"Sekali lagi, boleh kupinjam sorbanmu?" pinta Talita risih akan diri sendiri. Masih sanggup ia tahan mata orang lain mencemoohnya tapi bukan mata Will. Talita tidak bisa merasa baik-baik saja saat mata tajam Will menjalari tubuhnya yang menyedihkan.
Will melepasnya dan menyodorkan pada Talita. "Kau baru mengembalikan tadi pagi, yang satu ini ambil saja untukmu."
"Akan kukembalikan. Untuk apa aku menyimpan pakaian laki-laki."
Will tersenyum ingat pertemuannya dengan Rafael. "Dia, bukannya dia calon suamimu?"
Talita merengut, "Ibuku mulai pikun. Setelah kau menolakku, dia ingin menikahkanku dengan siapa saja."
"Bukan siapa saja," kata Will menyangkal santai. "Pertama kali kita bertemu kau sedang bersamanya. Aku paham kalau kalian pacaran. Meskipun itu haram. Apa gunanya neraka diciptakan kalau semuanya patuh dan masuk surga."
Talita tertegun bukan karena setuju. Ia hanya bingung kalau Will bisa juga bersikap objektif dan tenang seperti itu. "Kau mau jadi guruku?"
"Gurumu?"
"Aku merasa hidupku berubah sangat banyak. Rasa kecewa, lalu rasa hampa dan kadang kupikir percuma saja hidup kalau hatiku mati."
"Hatimu mati? Tapi masih peka dengan perasaan kecewa, hampa itu? Mungkin hatimu sekedar sakit."
"Mungkin kau benar. Karena kepergianmu dan waktu yang harus kutunggu. Sekali kau kembali, kau langsung mencampakkan aku."
Will tersenyum, "Kau sama sekali berbeda dengan dirimu yang dulu."
Talita tahu kalimat itu benar. Tapi harusnya lelaki di sebelahnya sadar, kalau dialah sebab perubahan dalam diri Talita. "Will, nikahi aku."
"Aku tidak bisa," tolak Will segera tanpa berpikir.
"Kenapa?"
"Karena aku masih belum bisa melepaskan dia dari hatiku."
Talita bersungut remeh, "Kau tentu harus mencontoh Rasulullah. Beliau menikah, meski tanpa mencinta."
Will bekernyit. Aneh sekali wanita di sampingnya. "Kau juga mulai pikun. Kau membandingkan aku dengan Rasulullah?"
"Aku hanya berpendapat. Kau sepertinya sangat agamis. Dalam diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang terbaik. Aku pernah membaca kalimat itu dalam terjemahan Alquran."
Will terdiam. Ia pikir Talita berubah, tapi tidak benar-benar seperti itu. Talita masih menarik seperti dulu. Hanya saja dia bukan Talita yang muda dan ceria, kini wanita itu murung, sinis dan putus asa.